Jejak Dualisme Partai Politik: Tragedi Berdarah di Ibu Kota (Bagian Kedua)
Dualisme Partai Demokrasi Indonesia menjadi pembuka di awal reformasi. Peristiwa Kudatuli pada 27 Juli 1996 menjadi catatan kelam konflik internal partai politik yang tak lepas dari intervensi kekuasaan.
Memasuki era Orde Baru, partai tidak begitu memainkan peranan sebagai katalisator perubahan politik, terutama setelah fusi yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1973. Walakin, riak dalam internal partai tetap terjadi jelang pengujung pemerintahan Soeharto. Konflik ini berujung pada kerusuhan di Ibu Kota.
Setelah pucuk pimpinan negara berganti dari Soekarno ke Soeharto, peta politik di Indonesia mengalami perubahan yang cukup fundamental. Kestabilan yang sempat goyah pada tahun 1965, perlahan mulai ditata kembali dengan cara pelibatan militer di dalam roda pemerintahan.
Selain dalam kubu pemerintahan, perubahan mendasar juga terlihat dari eksistensi partai politik. Pemilu 1971 adalah pemilu pertama sekaligus terakhir di periode Orde Baru yang diikuti oleh 10 partai politik. Sejak 1977, gelaran pemilu hanya diikuti oleh tiga partai politik, yakni Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kecuali Golkar, munculnya PDI dan PPP tidak terlepas dari kebijakan pemerintah untuk melakukan fusi atau penggabungan bagi partai politik. Tujuannya adalah untuk mencapai stabilitas politik sehingga program pembangunan dapat berjalan tanpa hambatan yang berarti.
Setelah Pemilu 1971, fusi partai politik memang menjadi perbincangan hangat. Amir Machmud yang saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri menekankan bahwa kaderisasi menjadi sistem kepartaian yang dianut dalam konsep fusi partai. Harapannya, partai hasil fusi akan memiliki kader hingga tingkat desa yang siap ikut serta dalam program pembangunan nasional (Kompas, 25 Maret 1972).
Setelah melalui serangkaian diskusi, fusi pertama berhasil terbentuk pada 5 Januari 1973. Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) sepakat untuk bergabung dalam satu wadah baru yang bernama Partai Persatuan Pembangunan.
Fusi kedua terbentuk pada 10 Januari 1973. Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), yang sebelumnya tergabung dalam kelompok Demokrasi Pembangunan, resmi bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Sejak 1973 hingga 1997, praktis hanya ketiga partai ini yang berhak ikut serta dalam pemilihan umum. Di tengah dominasi Golkar dalam kancah politik maupun pemerintahan, riak dalam internal PDI dan PPP dapat diredam sehingga tidak mencuat ke permukaan sebagai suatu persoalan yang mengganggu stabilitas.
Baca juga : Jejak Dualisme Partai Politik: Riak Jelang Kemerdekaan (Bagian Pertama)
Guncangan awal
Namun, setelah menjalani fusi selama dua dekade, riak dalam kepengurusan internal partai akhirnya tidak dapat terhindarkan. PDI, yang dalam empat kali pemilu sejak 1977 hingga 1992 selalu memperoleh suara terkecil setelah Golkar dan PPP, tampak mulai goyah sejak tahun 1993.
Pada 23 Juli 1993, dalam Kongres IV PDI di Medan, Sumatera Utara, Ketua Umum DPP PDI Soerjadi kembali terpilih untuk mengisi jabatan yang sama untuk masa bakti 1993-1998. Soerjadi terpilih di tengah ketegangan yang sempat mewarnai kongres.
Pelaksanaan kongres memang tidak berjalan mulus. Jelang kongres, sempat muncul wacana dari DPP PDI Peralihan untuk melakukan kongres tandingan. DPP PDI Peralihan dibentuk sejak Agustus 1991 di bawah kepemimpinan Achmad Subagyo yang menganggap kepemimpinan Soerjadi telah demisioner.
Selain kongres tandingan, ketegangan lainnya juga sempat mewarnai jalannya kongres. Beberapa jam setelah kongres dibuka oleh Presiden Soeharto, kerusuhan sempat terjadi karena kelompok 17 PDI yang tidak diberi tempat dalam ruangan kongres.
Kelompok 17 adalah kader PDI yang dipecat. Menurut catatan arsip Kompas, sejak 1991, kelompok ini memang kerap muncul sebagai wujud perlawanan politik terhadap PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi.
Jelang pelaksanaan kongres di Medan, Sumatera Utara, 1993, muncul gagasan dari internal partai untuk mengundang kelompok ini agar dapat membela diri setelah diberhentikan sebagai anggota PDI. Namun, hal ini urung dilakukan sehingga menimbulkan protes dari sebagian pihak.
Setelah memilih ketua umum di tengah ketegangan yang sempat terjadi, pemerintah belum sepenuhnya menerima hasil kongres tersebut karena akan melihat kesesuaian prosedur dan tata tertib dari PDI. Dari sini, mulai terlihat adanya suatu persoalan dalam internal kepengurusan PDI.
Pemerintah melalui Mendagri Yogie Suardi Memet pada 4 Agustus 1993 akhirnya menekankan bahwa telah terjadi kevakuman kekuasaan politik dalam internal PDI. Artinya, secara tersirat pemerintah tidak lagi mengakui Soerjadi sebagai ketua umum PDI berdasarkan hasil kongres sebelumnya.
Pandangan ini segera dibantah oleh Sekjen DPP PDI periode 1986-1993 Nico Daryanto. Menurut Nico, hingga Agustus 1993, ia masih memegang jabatan sebagai Sekjen DPP PDI.
Setelah melalui serangkaian perdebatan dan pembentukan caretaker, PDI pada November 1993 akhirnya sepakat melakukan kongres luar biasa pada 1-6 Desember di Asrama Haji Embarkasi Surabaya.
Sejumlah nama sempat mencuat ke permukaan sebagai calon ketua umum PDI. Megawati Soekarnoputri, Budi Hardjono, dan Ismunandar adalah deretan nama yang saat itu disebut memiliki peluang untuk mengisi posisi sebagai ketua umum PDI. Dari kubu DPP PDI Peralihan dan kelompok 17, nama Achmad Subagyo dan Imam Kadri juga mencuat.
Sayangnya, kongres diwarnai sejumlah ketegangan. Pihak yang ditunjuk sebagai caretaker DPP PDI pada hari terakhir sidang meninggalkan arena kongres tanpa adanya penjelasan resmi. Hingga pukul 23.56 atau empat menit jelang kongres dibubarkan oleh pihak keamanan, Megawati akhirnya menyatakan dirinya secara de facto sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 (Kompas, 7 Desember 1993).
Status Megawati sebagai ketua umum akhirnya memiliki kejelasan secara de jure setelah lahirnya keputusan dalam Rapat Paripurna I Musyawarah Nasional PDI di Garden Hotel Jakarta pada 22 Desember 1993. Pertemuan yang dihadiri oleh utusan 27 DPD seluruh Indonesia memutuskan memilih Megawati secara aklamasi sebagai ketua umum DPP PDI periode 1993-1998.
Baca juga : Damai di Kala Beda, Kisah Perdebatan Para Pendiri Bangsa
Perlawanan
Terpilihnya Megawati sebagai ketua umum PDI ternyata tidak serta-merta menghilangkan konflik dalam internal partai. Pada Juni 1996, konflik internal kembali mencuat, bahkan berujung pada dualisme kepemimpinan partai.
Konflik ini bermula dari penyelenggaraan kongres di Asrama Haji Pangkalan Mashur, Medan, pada Juni 1996. Kongres diprakarsai oleh Ketua DPP PDI Fatimah Achmad.
Megawati sejak awal tidak bersedia hadir karena menilai pelaksanaan kongres tidak konstitusional. Hal ini salah satunya terlihat dari pimpinan kongres yang telah dibebastugaskan oleh DPP PDI pimpinan Megawati. Meski menurut Megawati kongres ini tidak konstitusional, sejumlah perwakilan pemerintah hadir dalam pembukaan kongres, seperti Mendagri Yogie Suardi Memet dan Panglima ABRI (Pangab) Jenderal TNI Feisal Tanjung.
Kongres ini sebelumnya sempat dinilai sebagai produk intervensi dari ABRI. Namun, hal ini dibantah oleh Pangab saat memberikan kata sambutan dalam pembukaan kongres PDI.
Dalam kongres ini, Megawati dinilai gagal dalam menyelesaikan beberapa konflik dalam internal partai. Selain itu, ketua umum partai juga dinilai tidak mampu membentuk majelis permusyawaratan partai dan dewan pertimbangan pusat (Kompas, 21 Juni 1996).
Kongres yang berlangsung pada 20-22 Juni 1996 ini berakhir dengan hasil Wakil Ketua MPR/DPR Soerjadi ditetapkan sebagai Ketua Umum DPP PDI 1996-1998. Penetapan ini sebelumnya sudah diduga mengingat Soerjadi adalah sosok terkuat sebagai calon ketua umum.
Pada 2 Juli 1993, Mendagri menegaskan bahwa kongres di Medan bersifat final dan sah. Artinya, pemerintah hanya mengakui PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi. Sejak saat itu, PDI terbelah menjadi dua kubu, yakni PDI Soerjadi dan PDI Megawati.
Dukungan pemerintah terhadap PDI kubu Soerjadi semakin terlihat saat Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid menilai mimbar bebas yang dilakukan oleh pendukung PDI kubu Megawati di kantor DPP PDI Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat, tidak lagi mencerminkan kepentingan partai. Syarwan juga berharap Soerjadi dapat bernegosiasi untuk mengambil alih kantor DPP PDI di tengah dualisme kepemimpinan yang masih terjadi.
Baca juga : Kudatuli, Luka Demokrasi, dan Penantian atas Sikap Negara
Kudatuli
Dualisme ini ternyata berujung pada tragedi memilukan pada 27 Juli 1996. Bentrokan terjadi sesama massa PDI antara pendukung Soerjadi dan pendukung Megawati. Pangkal masalahnya adalah perebutan kantor DPP PDI.
Sabtu pagi pada pukul 06.20 WIB, massa PDI pendukung Soerjadi tiba di kantor DPP PDI dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini. Diskusi sempat berlangsung dengan massa PDI pendukung Megawati yang meminta kantor PDI dinyatakan dalam status quo. Namun, kesepakatan tidak tercapai dan bentrokan pun tidak terelakkan.
Pada pukul 08.45 WIB, aparat keamanan yang telah mengambil alih kantor DPP PDI membawa sekitar 50 pendukung PDI kubu Megawati yang masih tertahan di dalam gedung. Beberapa di antaranya terluka dan harus diangkut oleh ambulans.
Hingga tengah hari, jumlah massa yang berada di Jalan Diponegoro semakin membesar. Bentrokan kembali terjadi hingga aparat keamanan menambah pasukan untuk memukul mundur massa.
Massa yang terpukul mundur mulai tersebar ke arah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Jalan Salemba. Kerusuhan semakin membesar dengan adanya pembakaran gedung, bus kota, dan satu bus tingkat.
Berdasarkan catatan arsip Kompas, Senin, 29 Juli 1996, kerusuhan akhirnya bisa dikendalikan jelang malam hari bermodalkan pengerahan kekuatan lima panser, tiga kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk, dan sejumlah kendaraan militer lainnya. Massa akhirnya membubarkan diri dari sekitar kawasan Jalan Diponegoro dan Jalan Salemba.
Tragedi ini dikenal dengan sebutan kerusuhan 27 Juli atau Kudatuli. Menurut laporan Komnas HAM, tragedi ini menyebabkan 5 orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang dengan total kerugian mencapai Rp 100 miliar. Dualisme politik berujung pada tragedi memilukan.
Baca juga : Menanti Solusi PDI-P Pasca-27 Juli 1996
Reformasi
Setelah tragedi ini, PDI tetap terbelah dalam dua kubu. Kondisi ini berdampak pada merosotnya suara PDI dalam Pemilu 1997. Jika dalam Pemilu 1992 PDI berhasil meraup 14,89 persen suara, dalam Pemilu 1997 partai ini hanya meraup 3,06 persen suara. Kondisi ini mirip dengan hal yang dialami oleh PNI dalam Pemilu 1971 setelah mengalami keterbelahan dalam internal partai pada tahun 1965.
Usai mundurnya Soeharto sebagai presiden, keterbelahan masih terjadi dalam internal PDI. Pada 26 Agustus 1998, PDI kubu Soerjadi menggelar Kongres V PDI di Palu, Sulawesi Tengah. Budi Hardjono terpilih sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003, menggantikan Soerjadi.
Tidak lama berselang, PDI kubu Megawati Soekarnoputri menggelar Kongres V PDI di Grand Bali Beach Hotel, Sanur, Bali, pada 10 Oktober 1998. Dalam pertemuan itu, Megawati terpilih untuk memimpin PDI periode 1998-2003.
Dalam Pemilu 1999, kedua kubu ini akhirnya bersaing secara terbuka. PDI kubu Megawati mendeklarasikan nama PDI Perjuangan di Stadion Utama Gelora Bung Karno atau Stadion Utama Senayan, Jakarta, pada 14 Februari 1999.
Deklarasi ini dihadiri lebih dari 200.000 pendukung. Inilah kali pertama PDI menggelar kegiatan akbar di Stadion Utama Senayan setelah terlepas dari bayang-bayang Orde Baru.
Pemilu 1999 menghasilkan raihan suara yang cukup jauh antara PDI Perjuangan pimpinan Megawati dan PDI kubu Budi Hardjono. PDI Perjuangan berhasil mengukuhkan diri sebagai partai pemenang pemilu dengan raihan 33 persen suara.
Sementara PDI Budi Hardjono hanya meraih kurang dari 1 persen suara. Sejak saat itu, PDI Perjuangan semakin mencapkan dominasinya sebagai partai besar di Indonesia dan secara perlahan menyingkirkan PDI Budi Hardjono.
Meski dualisme PDI telah berakhir, kisah tentang keterbelahan kepengurusan partai politik belum usai. Memasuki periode reformasi, riaknya justru semakin kuat hingga menjadi beberapa gelombang yang dialami oleh partai lainnya. Setelah PNI pada pengujung Orde Lama dan PDI pada akhir Orde Baru, partai apa yang selanjutnya mengalami keterbelahan di awal periode reformasi? (LITBANG KOMPAS)
Baca tulisan selanjutnya : Jejak Dualisme Partai Politik: Antara Batu Tulis dan Kuningan (Bagian Ketiga)