Jejak Dualisme Partai Politik: Benteng Pertahanan yang Terkoyak (Bagian Keempat)
Partai Persatuan Pembangunan menorehkan jejak dualisme kepengurusan dalam perjalanan politiknya. Pada saat yang sama, sosok ketua umum terjerat korupsi turut mewarnai perjalanan partai hasil fusi ini.
Setelah mencoba mempertahankan stabilitas dalam internal partai sejak 1973, Partai Persatuan Pembangunan akhirnya terlibat dalam pusaran konflik yang berlarut-larut. Pertahanan yang dibangun selama empat dekade akhirnya goyah dalam dualisme kepengurusan partai.
Setelah PKB berhasil melalui konflik kepengurusan partai pada 2001-2008 secara estafet, polemik serupa dialami oleh partai lainnya, salah satunya Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sekali lagi, konflik ini memiliki pola yang nyaris serupa seperti polemik dualisme kepengurusan partai-partai sebelumnya.
Sebagai partai hasil fusi, PPP adalah partai yang telah memiliki pengalaman untuk menengahi berbagai perbedaan pemikiran dalam internal partai. Pengalaman ini terbilang wajar mengingat PPP adalah gabungan dari Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti). Sebagai partai hasil fusi, sejumlah perbedaan pandangan dan guncangan tentu mewarnai kepengurusan partai ini.
Salah satu guncangan dalam internal PPP adalah saat NU mengadakan muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, pada tahun 1984. Saat itu, NU memutuskan tidak lagi memiliki ikatan dengan organisasi politik mana pun. Keputusan ini melahirkan jarak antara NU dan PPP (Kompas, 11 Juni 1987).
Kondisi ini cukup merugikan bagi PPP. Pasalnya, warga NU adalah basis massa besar yang dimiliki oleh PPP. Sebelum fusi 1973, NU adalah partai kedua dengan raihan suara terbanyak setelah Golkar (18,7 persen). Namun, kondisi ini berhasil dilalui oleh PPP. Pemilu demi pemilu tetap diikuti oleh PPP meski tanpa dukungan langsung dari NU.
Dalam buku Prahara Partai Islam: Komparasi Konflik Internal PPP dan PKS (Nurdin, dkk, 2019) dituliskan, riak dalam internal juga pernah terjadi jelang Pemilu 2009. Saat itu, perbedaan pandangan terjadi terkait koalisi dalam pencapresan.
Ketua Majelis Pertimbangan Partai Bachtiar Chamsyah, yang juga berasal dari Parmusi, mendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Padahal, pada saat yang sama, Ketua DPP PPP Suryadharma Ali tengah melakukan penjajakan dengan calon presiden lain dalam program PPP mendengar. Kondisi ini cukup menggambarkan keterbelahan dalam internal PPP.
Meski dihadapkan oleh berbagai riak dalam kepengurusan, PPP tetap dapat mempertahankan soliditas dalam kepengurusan partai, setidaknya sampai 40 tahun partai ini berdiri. Saat partai hasil fusi lainnya, PDI, harus mengalami dualisme dalam kepengurusan partai, jelang akhir Orde Baru, PPP masih mampu menjaga kondisi internal partai dari segala perbedaan pandangan yang mencuat.
Baca juga : Jejak Dualisme Partai Politik: Riak Jelang Kemerdekaan (Bagian Pertama)
Pemilu 2014
Namun, pertahanan yang dibangun oleh PPP selama empat dekade untuk menjaga soliditas dalam internal partai akhirnya terkoyak pada tahun 2014. Salah satu embrionya adalah jelang pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres).
Saat itu, secara mengejutkan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali tiba-tiba hadir dalam kampanye Partai Gerindra di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 23 Maret 2014. Dalam kegiatan kampanye itu, Suryadharma juga turut berorasi dan memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai calon presiden (Kompas, 24 Maret 2014).
Kehadiran Suryadharma secara mendadak dalam kampanye Gerindra berbuntut pada konflik internal. Pada 13 April 2014. Sebanyak 26 dari 34 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP meminta Dewan Pimpinan Pusat PPP melaksanakan rapat pleno guna mendengarkan pertanggungjawaban Suryadharma Ali.
Kehadiran Suryadharma dalam kampanye Partai Gerindra dituding sebagai penyebab gagalnya PPP meraih target 12 persen suara dalam pemilu legislatif pada 9 April 2014. Saat itu, PPP hanya meraih 6,5 persen suara.
Tidak lama setelah permintaan pertanggungjawaban disuarakan, Suryadharma Ali pada 16 April 2014 menandatangani surat pemecatan untuk Wakil Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan lima unsur pimpinan DPW PPP.
Pimpinan DPW yang dipecat terdiri atas empat ketua DPW PPP, yakni Rachmat Yasin (Jawa Barat), Musyaffa Noer (Jawa Timur), Amir Uskara (Sulawesi Selatan), dan Fadli Nursal (Sumatera Utara). Sementara satu unsur pimpinan lainnya adalah Sekretaris DPW Kalimantan Tengah Awaludin Noor.
Suharso dipecat dengan alasan sibuk mengurusi proses pencalegan istrinya di Jawa Barat saat menjabat Ketua Badan Pemenangan Pemilu PPP. Sementara lima unsur pimpinan DPW PPP diberhentikan dengan alasan berada di Jakarta untuk urusan pencapresan saat kader di daerah masih sibuk bertarung sebagai caleg (Kompas, 17 April 2014).
Setelah melakukan pemecatan, Suryadharma pada 18 April 2014 mendeklarasikan dukungannya kepada Prabowo Subianto di kantor DPP PPP. Keputusan ini segera ditanggapi oleh Wakil Ketua Umum DPP PPP Emron Pangkapi yang menegaskan bahwa koalisi partainya dengan Gerindra adalah ilegal.
Kondisi ini segera disikapi oleh PPP dengan menggelar rapat pimpinan nasional (rapimnas) di kantor DPP PPP pada 19-20 April 2020. Rapat yang tidak dihadiri oleh ketua umum PPP ini melahirkan keputusan pemberhentian sementara Suryadharma Ali sebagai ketua umum serta menunjuk Emron Pangkapi sebagai pelaksana tugas ketua umum partai.
Suryadharma menilai penyelenggaraan rapimnas dan keputusan yang dihasilkan ilegal. Pasalnya, pengangkatan sebagai ketua umum diputuskan melalui muktamar yang bersifat lebih tinggi daripada rapimnas. Artinya, rapimnas dinilai tidak cukup kuat dijadikan alasan untuk memberhentikan ketua umum.
Ketegangan ini bermuara pada pelaksanaan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) III PPP di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, untuk menyelesaikan konflik internal partai. Saat itu, Suryadharma, yang juga masih menjabat menteri agama, hadir dan secara terbuka meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan.
Konflik internal PPP berakhir dengan islah atau damai. Dalam Rapimnas II PPP di Jakarta pada Mei 2014, PPP akhirnya sepakat berkoalisi dengan Gerindra dalam Pilpres 2014.
Baca juga : Jejak Dualisme Partai Politik: Tragedi Berdarah di Ibu Kota (Bagian Kedua)
Dualisme kepengurusan
Meski konflik jelang Pilpres 2014 berujung damai, kondisi ini menimbulkan suatu celah kesenjangan dalam kepengurusan PPP. Kesenjangan ini semakin dirasakan saat Suryadharma Ali berurusan dengan proses hukum terkait dana haji. Internal partai saat itu kembali mulai bergejolak terkait rencana pemberhentian Suryadharma sebagai ketua umum.
Riak suara dalam internal partai akhirnya bermuara pada pemberhentian Suryadharma Ali sebagai ketua umum PPP. Keputusan ini diambil dalam rapat pengurus harian DPP PPP pada 9-10 September 2014. Wakil Ketua Umum PPP Lukman Hakim Saifuddin saat itu menegaskan, keputusan ini sudah sesuai dengan AD/ART partai.
Namun, Suryadharma menolak keputusan pemberhentian dirinya sebagai ketua umum. Sebagai tindak lanjut, ia memecat tiga wakil ketua umum PPP, yaitu Emron Pangkapi, Suharso Monoarfa, dan Lukman Hakim Saifuddin, serta Sekretaris Jenderal PPP M Romahurmuziy pada 12 September 2004.
Posisi Suryadharma resmi digantikan oleh Emron Pangkapi. Dalam Rapimnas PPP di Hotel Aryaduta, Jakarta, pada 15 September 2014 Emron ditunjuk sebagai pelaksana tugas hingga ketua umum definitif terpilih dalam muktamar partai.
Keterbelahan PPP kian terlihat dalam konflik ini. Pada 15-18 Oktober 2014, Muktamar VIII PPP diselenggarakan di Surabaya, Jawa Timur. Dalam pertemuan itu, Romahurmuziy terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PPP.
Hasil muktamar ini diakui oleh pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Menkumham Nomor M.HH.07.AH.11.01 Tahun 2014 tanggal 28 Oktober 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan DPP PPP.
Suryadharma saat itu segera merespons. Selain menggugat SK Menkumham ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), respons lain ditunjukkan dengan mengadakan muktamar di Jakarta pada 30 Oktober-2 November 2014. PPP kubu Suryadharma memilih Djan Faridz sebagai Ketua Umum PPP. Dengan demikian, PPP memiliki dua pucuk pimpinan partai dan akhirnya benar-benar berada dalam lingkaran keterbelahan.
Ketegangan di antara kedua kubu segera dirasakan di ruang publik. Mirip dengan peristiwa 27 Juli 1996 saat kedua kubu PDI yang terbelah berebut kantor DPP, kondisi ini kembali terjadi pada 2 Desember 2014. Puluhan orang yang mengatasnamakan kubu Romahurmuziy datang ke kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro, Jakarta, dengan tujuan untuk menempati gedung tersebut. Ketegangan terjadi antara massa Romahurmuziy dan petugas di dalam gedung yang berasal dari kubu Djan Faridz.
Perebutan kantor DPP PPP berujung pada kesepakatan pemanfaatan kantor bersama-sama oleh kedua kubu. Beruntung, tragedi berdarah 27 Juli 1996 tidak terulang.
Baca juga : Jejak Dualisme Partai Politik: Antara Batu Tulis dan Kuningan (Bagian Ketiga)
Upaya islah
Hari-hari berikutnya adalah waktu yang amat panjang bagi kedua kubu untuk menyelesaikan konflik internal. Sejak 2015, langkah hukum ditempuh oleh PPP kubu Romahurmuziy ataupun Djan Faridz demi memperoleh legitimasi.
Kisah ini dimulai pada 25 Februari 2015 saat PTUN Jakarta mengabulkan gugatan Suryadharma Ali tentang pengesahan kepengurusan DPP PPP kubu Romahurmuziy oleh pemerintah. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan Menkumham Yasonna Laoly tidak melaksanakan semua mekanisme dalam menghadapi konflik PPP.
Pengesahan kepengurusan Romahurmuziy akhirnya batal secara hukum. Namun, Romahurmuziy menyatakan banding sehingga dualisme dalam internal PPP masih jauh dari kata selesai.
Harapan untuk damai sempat mencuat dalam Muktamar Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) di Batam, Kepulauan Riau, pada 13 Maret 2015. Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta Djan Faridz dan Wakil Ketua Umum PPP versi Muktamar Surabaya Emron Pangkapi sama-sama sepakat untuk mengakhiri dualisme kepengurusan di partai. Bahkan, keduanya juga satu suara untuk membawa PPP sebagai partai pendukung pemerintah (Kompas, 14 Maret 2015).
Namun, pernyataan ini baru sekadar wacana. Hanya tiga hari berselang, pengurus PPP kubu Djan Faridz segera mendesak Menkumham Yasonna Laoly segera mengesahkan kepengurusan PPP hasil Muktamar Jakarta. Desakan ini disuarakan dalam unjuk rasa di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta.
Pada Juni 2015, konflik kedua partai masih belum mereda. PPP kubu Djan Faridz saat itu telah menyiapkan proposal islah untuk diserahkan kepada moderator. Namun, islah yang diajukan tidak diprioritaskan kepada PPP kubu Romahurmuziy, tetapi perdamaian dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Hal ini seolah menjadi pesan politik tersirat bahwa kedua kubu masih sama-sama berupaya untuk memperoleh legitimasi (Kompas, 11 Juni 2015).
Titik terang penyelesaian persoalan ini akhirnya mulai terlihat saat Mahkamah Agung (MA) menguatkan putusan PTUN 25 Februari 2015 terkait kepengurusan partai. Keputusan ini menguntungkan bagi PPP Djan Faridz. Menyikapi putusan MA, PPP pimpinan Romahurmuziy mengajukan banding.
Menyikapi putusan MA, pemerintah mengesahkan kembali kepengurusan PPP hasil Muktamar VII Bandung tahun 2011, atau muktamar terakhir sebelum pelaksanaan muktamar oleh kedua kubu pada 2014. Kepengurusan ini juga memiliki wewenang untuk membentuk panitia penyelenggara muktamar atau muktamar luar biasa PPP.
PPP akhirnya kembali melakukan muktamar di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada April 2016. Romahurmuziy secara aklamasi dipilih sebagai ketua umum dalam pertemuan ini. Namun, kepengurusan PPP berdasarkan muktamar ini kembali digugat oleh PPP kubu Djan Faridz.
Pada 22 November 2016, PPP kubu Djan Faridz memenangi gugatan yang diajukan ke PTUN. Menkumham diperintahkan untuk membatalkan surat keputusan yang mengesahkan kepengurusan DPP PPP pimpinan Romahurmuziy. Keputusan ini kembali direspons oleh PPP kubu Romahurmuziy dengan mengajukan banding.
PPP pimpinan Romahurmuziy akhirnya memenangi banding terkait kepengurusan partai. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) pada Juni 2017 memutuskan untuk membatalkan putusan PTUN pada 22 November 2016 yang memenangkan gugatan PPP kubu Djan Faridz.
Ketegangan di antara kedua kubu berlanjut meskipun putusan banding telah dibacakan. Pada 16 Juli 2017, tragedi perebutan kantor DPP PPP kembali terulang. Pendukung kedua kubu terlibat bentrokan yang menyebabkan kaca gedung pecah dan seorang penjaga keamanan terluka.
Baca juga : Saatnya Berkonsolidasi
Ketegangan mereda
Memasuki tahun 2018, ketegangan di antara kedua kubu mulai mereda. Humphrey R Djemat menggantikan posisi Djan Faridz sebagai pemimpin sementara PPP kubu Muktamar Jakarta. Pada kepengurusan Humphrey, niat islah akhirnya dikemukakan.
Niat ini ditunjukkan dengan keputusan Humphrey untuk menemui Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj. Humphrey, yang datang bersama Suharso Monoarfa, meminta Said Aqil untuk menjadi jembatan atau mediator islah di antara kedua kubu PPP.
Niat islah ini secara resmi disampaikan oleh Humphrey pada 18 November 2018 dalam Musyawarah Kerja Nasional PPP kubu Djan Faridz. Dalam pertemuan ini, Humphrey dikukuhkan sebagai Ketua Umum PPP menggantikan Djan Faridz.
Pada Desember 2019, DPP PPP menegaskan tidak ada muktamar islah karena kepengurusan PPP sudah diakui negara. Jika PPP kubu Humphrey ingin bergabung, harus menyesuaikan dengan aturan AD/ART partai.
Keterbelahan ini akhirnya berakhir dengan bergabungnya Djan Faridz ke dalam kepengurusan PPP yang diakui oleh negara sebagai anggota Majelis Kehormatan PPP. Kepengurusan ini telah disahkan oleh Kemenkumham, Selasa, 9 Maret 2021.
Baca juga : Langkah Awal Konsolidasi PPP Menuju Pemilu 2024
Dampak
Persis seperti partai-partai sebelumnya yang berkonflik, PPP juga mengalami dampak yang sama, yakni penurunan raihan suara dalam pemilu. Setelah berhasil menaikkan raihan suara dari 5,3 persen saat Pemilu 2009 menjadi 6,5 persen dalam Pemilu 2014, capaian ini turun pada Pemilu 2019 menjadi 4,5 persen suara. Secara persentase, raihan suara ini adalah yang terendah sepanjang sejarah keikutsertaan PPP dalam pemilu.
Memang, konflik internal bukanlah satu-satunya faktor penurunan raihan suara sebuah partai. Namun, fakta sejarah membuktikan bahwa partai yang berkonflik selalu mengalami penurunan raihan suara dalam pemilu. Hal ini sebelumnya dialami oleh PNI, PDI, dan PKB.
Konflik berkepanjangan yang dialami oleh PPP sejak 2014 adalah gambaran bahwa pengalaman panjang dalam mengelola partai bukanlah sebuah jaminan untuk terbebas dari konflik internal. Selain PPP, kisah serupa juga dialami oleh Golkar. Setelah menancapkan akarnya selama separuh abad di penjuru negeri, mengapa badai reformasi mampu menggoyahkan batang beringin? (LITBANG KOMPAS)
Baca tulisan selanjutnya: Jejak Dualisme Partai Politik: Beringin dalam Badai Reformasi (Bagian Kelima)