Jejak Dualisme Partai Politik: Menanti Muara Keterbelahan Berkarya dan Demokrat (Bagian Ketujuh)
Partai Berkarya dan Partai Demokrat menjadi dua partai yang dilanda konflik dan dualisme paska Pemilu 2019. Pada akhirnya, ujian politik kedua partai ini akan ditentukan pada proses hukum
Saat ini, Partai Berkarya dan Demokrat berada dalam lingkaran dualisme kepengurusan. Jika melihat jejak kasus dualisme partai sebelumnya, muara kisah konflik kedua partai tampaknya belum akan terlihat dalam waktu dekat mengingat panjangnya jalur konsolidasi yang harus ditempuh.
Lahirnya putusan Mahkamah Agung pada Mei 2019 tentang polemik dualisme kepengurusan Partai Hanura ternyata bukanlah akhir dari kisah keterbelahan kepemimpinan dalam internal partai di Indonesia. Tidak lama berselang, publik dihadapi oleh suguhan konflik serupa dari Partai Beringin Karya (Berkarya).
Partai Berkarya adalah satu partai baru dengan wajah lama yang hadir dalam Pemilu 2019. Disebut baru, karena partai ini baru dideklarasikan pada 15 Juli 2016. Namun, secara badan hukum partai ini bukanlah partai baru karena merupakan fusi dari Partai Nasional Republik dan Partai Beringin Karya.
Sementara wajah lama cukup mudah mudah ditemui dalam jajaran kepengurusan partai ini seperti pendiri partai, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014 dari Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, mantan Menkopolhukam pemerintahan Jokowi tahun 2014-2015, Tedjo Edhy, serta mantan kader Golkar, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto.
Jelang Pemilu 2019, partai ini menjual gagasan trilogi pembangunan yang terdiri dari stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Gagasan yang pernah digaungkan era Orde Baru ini sengaja digaungkan sesuai dengan target elektoral Partai Berkarya yang menyasar kelompok pemilih usia di atas 39 tahun.
Pertimbangannya, kelompok pemilih usia ini diyakini memiliki pengalaman hidup di era Orde Baru sehingga dapat melabuhkan pilihannya kepada Partai Berkarya jika masih merindukan masa-masa saat berada di bawah kepemimpinan Soeharto.
Namun, gagasan yang ditawarkan ternyata tidak begitu disambut oleh publik. Dalam Pemilu 2019 lalu, Partai Berkarya justru menjadi partai gurem atau partai yang hanya meraup suara kecil dalam pemilu. Dari total suara sah, partai berlambang pohon beringin ini hanya meraup 2,09 persen suara.
Dengan iklan yang tidak begitu masif, Berkarya sesungguhnya mampu menandingi raihan suara dari PSI (1,89 persen), maupun Hanura (1,54 persen). Padahal, PSI cukup masif berada di ruang publik melalui iklan kampanyenya. Sementara Hanura adalah partai yang telah dua kali lolos ke parlemen pada 2009 dan 2014.
Namun, capaian ini belum cukup bagi Berkarya yang tetap gagal mengirimkan wakilnya ke parlemen karena tidak memenuhi ambang batas raihan suara sebesar empat persen.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Riak Jelang Kemerdekaan (Bagian Pertama)
Konflik internal
Kegagalan Partai Berkarya dalam Pemilu 2019 ternyata berbuntut panjang dalam internal partai. Kondisi ini dijadikan alasan oleh sebagian internal partai untuk membentuk Presidium Penyelamat Partai Berkarya. Pada tanggal 12 Maret 2020, presidium resmi dibentuk dengan agenda penyelamatan partai agar dapat ikut serta dalam Pemilu 2024.
Presidium yang dibentuk kemudian menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub) di Jakarta pada 11-12 Juli 2020. Pertemuan ini kemudian menghasilkan kesepakatan untuk menunjuk Muchdi Purwoprandjono sebagai ketua umum partai menggantikan Tommy Soeharto.
Hasil munaslub ini diakui oleh pemerintah. Pada 30 Juli 2020, Menkumham Yasonna H Laoly menerbitkan dua surat keputusan. Pertama adalah SK nomor M. HH-16.AH.11.01 tahun 2020 tentang pengesahan perubahan AD/ART Partai Berkarya. Keputusan kedua adalah SK nomor M. HH-17.AH.11.01 tahun 2020 tentang pengesahan perubahan susunan DPP Partai Berkarya periode 2020-2025.
Hasil munaslub ini ditolak oleh Tommy Soeharto. Pada 10 Agustus 2020, ia menulis surat pernyataan yang menegaskan bahwa munaslub pada 11-12 Juli 2020 adalah ilegal. Artinya, Partai Berkarya terbelah menjadi dua kubu antara Muchdi Purwoprandjono dan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Tragedi Berdarah di Ibu Kota (Bagian Kedua)
Keputusan penolakan hasil munaslub ditindaklanjuti oleh Berkarya pimpinan Tommy Soeharto dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait SK Menkumham tentang kepengurusan dan AD/ART partai. Menurut catatan dalam laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara PTUN, gugatan ini didaftarkan pada 21 September 2020.
Setelah menunggu cukup lama, pada 16 Februari 2021 PTUN mengabulkan permohonan Berkarya kubu Tommy Soeharto. Dalam putus majelis hakim, Menkumham diwajibkan untuk mencabut SK tentang pengesahan perubahan susunan pengurus Partai Berkarya dan perubahan AD/ART partai.
Putusan ini segera direspons oleh kepengurusan Berkarya kubu Muchdi Purwoprandjono dengan mengajukan banding pada 1 Maret 2021. Hal serupa juga dilakukan oleh Menkumham Yasonna H Laoly tiga hari setelahnya.
Hingga kini, belum ada keputusan apapun terkait proses banding yang diajukan. Artinya, masih butuh waktu untuk menanti muara dari konflik Partai Berkarya. Apalagi, jika melihat jejak dualisme partai sebelumnya, putusan tingkat banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) bisa berbeda dengan putusan PTUN. Demikian pula hasil putusan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung yang juga dapat berbeda dengan PTTUN.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Antara Batu Tulis dan Kuningan (Bagian Ketiga)
Konflik Demokrat
Selain Berkarya, konflik lainnya saat ini juga tengah dialami oleh Partai Demokrat. Dualisme kepemimpinan terjadi antara Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Demokrat pimpinan Moeldoko.
Aroma kudeta dalam internal partai telah terendus oleh Agus pada 1 Februari 2021 lalu. Saat itu, Agus mengumumkan adanya upaya kudeta yang akan dilakukan pihak internal dan eksternal partai. Dugaan ini bahkan juga dilaporkan oleh Agus kepada Presiden Joko Widodo.
Sepanjang bulan Februari, internal Demokrat cukup gaduh menanggapi isu tentang kudeta kepemimpinan partai. Bahkan, pada 24 Februari lalu, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan siap turun gunung untuk menghadapi persoalan kudeta partai.
Internal Demokrat juga segera merapatkan barisan. sehari sebelum pernyataan SBY yang menegaskan untuk siap turun gunung, sebanyak 34 ketua DPD Demokrat menyatakan ikrar kesetiaan kepada partai di bawah pimpinan Agus. Kondisi ini menegaskan bahwa segala lini dari Demokrat telah bersiap untuk menghadapi kudeta.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Benteng Pertahanan yang Terkoyak (Bagian Keempat)
Konflik dalam internal Demokrat semakin meruncing saat mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Marzuki Alie dan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Jhoni Allen Marbun, diberhentikan secara tetap dengan tidak hormat pada akhir Februari lalu. Selain itu, lima kader Demokrat lainnya juga dipecat, yaitu Darmizal, Yus Sudarso, Tri Yulianto, Syofwatillah Mohzaib, dan Ahmad Yahya.
Marzuki Alie dipecat karena dinilai terbukti menyatakan secara terbuka kebencian dan permusuhan kepada Partai Demokrat terkait organisasi, kepemimpinan, dan kepengurusan yang sah. Sementara enam kader lainnya dipecat terkait gerakan pengambilalihan kepemimpinan Partai Demokrat secara inkonstitusional (Kompas, 27 Februari 2021).
Konflik dalam internal Partai Demokrat akhirnya bermuara pada penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) di The Hill Hotel and Resort Sibolangit, Deli Serdang, Deli Serdang, Sumatera Utara, pada tanggal 5-7 Maret 2021. KLB ini dibuka oleh pendiri Partai Demokrat Etty Manduapessy. Kongres juga dihadiri oleh Jhoni Allen Marbun dan Marzuki Alie yang sebelumnya dipecat oleh Demokrat kepengurusan Agus.
Dalam KLB, terdapat dua nama yang diajukan sebagai ketua umum, yakni Moeldoko dan Marzuki Alie. Dalam pemilihan, Moeldoko akhirnya dipercaya sebagai ketua umum, sementara Marzuki Alie ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pembina.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Beringin dalam Badai Reformasi (Bagian Kelima)
Menanggapi kondisi ini, Agus menegaskan KLB di Deli Serdang sebagai sebuah dagelan, ilegal, dan inkonstitusional. KLB dinyatakan ilegal karena tidak memenuhi klausul utama sesuai AD/ART Demokrat. Klausul yang dimaksud antara lain adalah penyelenggaraan KLB harus disetujui, didukung, dan dihadiri oleh minimal 2/3 ketua dewan pimpinan daerah dan minimal setengah dari jumlah ketua dewan pimpinan cabang. Selain itu, pelaksanaan KLB juga harus disetujui oleh Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.
Agus juga menegaskan telah memegang surat penolakan KLB dari para ketua DPD dan DPC Demokrat di seluruh Indonesia. Meskipun ada sejumlah ketua DPC yang hadir dalam KLB, Agus memastikan mereka yang hadir telah diberhentikan sebagai pimpinan cabang (Kompas, 6 Maret 2021).
Menyikapi konflik ini, Menkumham Yasonna Laoly berjanji akan bersikap obyektif dan profesional saat Demokrat di bawah kepemimpinan Moeldoko mengajukan hasil kongres untuk disahkan. Komitmen ini tentu dibutuhkan oleh Demokrat kubu Agus mengingat posisi Moeldoko yang saat ini berada dalam pemerintahan sebagai Kepala Staf Kepresidenan.
Persoalan ini bermuara pada ranah hukum. Partai Demokrat di bawah pimpinan Agus menggugat 10 orang yang terlibat dalam penyelenggaraan KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara. Gugatan diajukan karena kesepuluh orang ini dianggap telah melanggar Undang-Undang Partai Politik dan AD/ART Demokrat.
Konflik yang dialami oleh Demokrat sekaligus melengkapi kisah partai pemenang pemilu di Indonesia. Sebelumnya, PNI dan Golkar telah mengalami persoalan serupa. PDI-P juga pernah berhadapan dengan konflik dualisme jelang Pemilu 1999. Dengan demikian, semua partai pemenang pemilu di Indonesia telah memiliki jejak pengalaman sejarah dalam menghadapi dualisme kepemimpinan.
Sama halnya dengan Berkarya, jika menengok jejak konflik partai lainnya, tampaknya masih butuh waktu cukup lama untuk menanti muara dari konflik Partai Demokrat. Apalagi, jika konflik ini bermuara pada ranah hukum, tentu butuh waktu untuk menunggu putusan pada masing-masing tingkatan. Bagaimana ujung konflik kepengurusan kedua partai ini? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Bergelut di Tengah Kemelut (Bagian Keenam)