Jejak Dualisme Partai Politik: Bergelut di Tengah Kemelut (Bagian Keenam)
Konflik partai menjadi pemicu dualisme kepengurusan. Kondisi ini juga melanda Partai Hanura yang pada akhirnya harus mambuat partai ini terseok dan keluar dari gelanggang politik nasional di Pemilu 2019.
Setelah lebih dari satu dekade berada dalam percaturan politik di Tanah Air, Partai Hanura akhirnya mengikuti jejak partai pendahulu lainnya yang bergelut dalam dualisme kepemimpinan partai. Kondisi ini harus dihadapi oleh Hanura di tengah kemelut persiapan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Keputusan Wiranto keluar dari Golkar dan membentuk Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura pada 2006 cukup menjadi sorotan publik jelang penyelenggaraan Pemilu 2009. Saat itu, Hanura secara perlahan mencoba merebut ceruk suara di tengah euforia reformasi yang masih cukup kental dirasakan, terutama dalam jagat politik di Tanah Air.
Reposisi politik yang dilakukan Wiranto di tengah kuatnya dominasi Golkar sekaligus menggambarkan adanya misi khusus yang dibawa dalam pembentukan Hanura. Hal ini akhirnya terjawab dalam Pemilu 2009 saat Wiranto mendampingi Ketua Umum Golkar 2004-2009 dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Hadirnya sosok Wiranto sebagai calon wakil presiden saat itu tentu menjadi angin segar bagi Hanura. Sebagai partai yang baru mengikuti pemilu untuk pertama kalinya, Hanura telah mampu mengirimkan tokohnya dalam arena pertarungan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sejak saat itu, Hanura mulai diperhitungkan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Bahkan, raihan suara Hanura mengalami peningkatan dari 3,8 persen pada Pemilu 2009 menjadi 5,3 persen dalam Pemilu 2014. Secara nominal, raihan suara Hanura juga meningkat hingga 68 persen dari 3,9 juta suara pada 2009 menjadi 6,5 juta suara pada 2014.
Kondisi ini menggambarkan bahwa Hanura mulai berhasil memperluas jangkauan basis massa pada berbagai daerah. Meski belum mendominasi kursi di parlemen, setidaknya Hanura telah berhasil mengukuhkan posisinya sebagai partai besar yang selalu lolos ke parlemen dalam dua pemilu berturut-turut sejak partai ini pertama kali didirikan.
Baca Juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Riak Jelang Kemerdekaan (Bagian Pertama)
Kemelut
Walakin, tren positif ini tidak berlangsung lama. Di tengah sejumlah raihan yang berhasil dicapai oleh Hanura, partai ini harus bergelut dengan persoalan dualisme dalam kepemimpinan partai.
Kisah dualisme ini terjadi pada 2018, jelang penyelenggaraan pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019. Praktis saat itu konsentrasi partai terbelah antara pemilu dan penyelesaian konflik internal.
Kisruh ini dimulai terkait dugaan permintaan mahar politik. Bagi kubu Sarifuddin Sudding, hal ini diduga dilakukan oleh Oesman sebagai syarat bagi kandidat yang ingin diusung oleh Hanura dalam Pilkada 2018. Sebaliknya, bagi Oesman, mahar justru diduga diminta oleh Sudding.
Dugaan ini berbuah keputusan untuk saling pecat antara pimpinan partai. Pada 14 Januari 2018, Oesman memecat Sekretaris Jenderal (Sekjen) Hanura Sarifuddin Sudding dan menunjuk Heri L Siregar sebagai Sekjen Hanura. Oesman beralasan Sudding telah memicu kegaduhan dan merusak marwah Hanura. Keputusan ini diumumkan oleh Oesman seusai menggelar rapat dengan DPP Hanura di Jakarta pada 15 Januari 2018.
Sementara di lokasi yang berbeda, DPP Hanura lainnya juga menyampaikan mosi tidak percaya kepada Oesman. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Hanura Nurdin Tampubolon, mosi ini disampaikan setelah adanya dukungan dari 27 dewan pimpinan daerah (DPD) dan lebih dari 400 dewan pimpinan cabang (DPC) Hanura di Indonesia.
Selain persoalan Mahar, menurut Nurdin, Oesman dinilai melakukan berbagai kebijakan yang merusak soliditas partai. Sementara menurut Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura Dadang Rusdiana, Oesman telah melakukan pemecatan beberapa ketua DPD tanpa prosedur yang benar. Sebagai tindak lanjut, Wakil Ketua Umum Partai Hanura Daryatmo lalu ditunjuk sebagai pelaksana tugas ketua umum (Kompas, 16 Januari 2018).
Puncak dari persoalan ini adalah penyelenggaraan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) Partai Hanura kubu Sarifuddin Sudding di Jakarta pada 18 Januari 2018. Munaslub ini melahirkan keputusan untuk memberhentikan Oesman Sapta sebagai ketua umum dan menunjuk Daryatmo sebagai ketua umum Hanura. Hanura akhirnya terbelah dalam dua kepengurusan.
Baca Juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Tragedi Berdarah di Ibu Kota (Bagian Kedua)
Upaya penyelesaian
Konflik ini menjadi batu sandungan bagi Hanura jelang menghadapi pemilu. Upaya penyelesaiannya pun berkejaran dengan waktu sebelum penyelenggaraan Pilkada 2018 tanggal 27 Juni dan penyelenggaraan pemilu pada 17 April 2019.
Pada 17 Januari 2018, atau dua hari setelah Oesman memecat Sarifuddin Sudding, Menteri Hukum dan Ham Yasonna H Laoly menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2018 tentang Restrukturisasi, Reposisi, dan Revitalisasi Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat Masa Bakti 2015-2020.
Surat ini sekaligus mengesahkan kepengurusan Hanura versi Oesman Sapta. Pada hari yang sama, Oesman menegaskan bahwa SK dari Menkumham telah diterima sebagai wujud legitimasi terhadap kepengurusan baru Hanura.
Menanggapi surat keputusan ini, Hanura kubu Daryatmo-Sarifuddin Sudding mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 22 Januari 2018. Gugatan ini dikabulkan oleh PTUN. Dalam putusan sela pada 19 Maret 2019, Menkumham diminta menunda pemberlakukan SK terkait kepengurusan Hanura versi terbaru.
Selain melalui jalur hukum, upaya untuk mendamaikan kedua kubu juga ditempuh oleh Ketua Dewan Pembina Hanura Wiranto. Pada 23 Januari 2018 atau satu hari setelah Hanura pimpinan Daryatmo mengajukan gugatan ke PTUN, Wiranto bertemu dengan kedua kubu kepengurusan untuk membahas penyelesaian masalah.
Pertemuan ini berbuah kesepakatan untuk segera menyelesaikan masalah dualisme kepemimpinan. Harapannya, persoalan ini dapat diselesaikan sehingga tidak berdampak pada keikutsertaan Hanura dalam Pemilu (Kompas, 24 Juni 2018).
Baca Juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Antara Batu Tulis dan Kuningan (Bagian Ketiga)
Meski telah berbuah kesepakatan untuk menyelesaikan persoalan, upaya hukum tetap dijalankan. Hanura kubu Daryatmo sempat mengajukan permohonan tentang pengesahan kepengurusan ke Kemenkumham. Namun, permohonan ini tidak dijawab oleh pemerintah sehingga membutuhkan legitimasi dari PTUN. Namun, dalam putusannya pada 17 Mei 2018, PTUN menolak permohonan keputusan fiktif positif terkait pengesahan kepengurusan Hanura kubu Daryatmo.
Upaya hukum masih terus berlanjut. Terkait gugatan yang diajukan oleh Hanura pimpinan Daryatmo tentang SK Menkumham, PTUN akhirnya mengabulkan gugatan pada 26 Juni 2018. Pengadilan mewajibkan Menkumham mencabut surat keputusan yang menetapkan kepengurusan partai di bawah Ketua Umum Oesman Sapta Odang dan Sekretaris Jenderal Heri L Siregar. Keputusan ini ditanggapi pemerintah dengan mengajukan banding pada 29 Juni 2018.
Pada tingkat banding, majelis hakim justru membatalkan putusan dari PTUN. Artinya, kewajiban untuk membatalkan SK Menkumham tentang kepengurusan Hanura versi Oesman Sapta gugur. Putusan banding ini dikeluarkan pada 26 November 2018.
Putusan pada tingkat banding ini merugikan bagi Hanura kepengurusan Daryatmo karena tidak memiliki legitimasi dalam hal kepengurusan. Sebagai upaya terakhir, Daryatmo mengajukan kasasi terkait pembatalan putusan PTUN.
Pada 13 Mei 2019, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh Hanura kubu Daryatmo. Dengan demikian, Hanura pimpinan Oesman Sapta memegang legitimasi sebagai kepengurusan yang sah.
Baca Juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Benteng Pertahanan yang Terkoyak (Bagian Keempat)
Pemilu
Dualisme kepengurusan Hanura yang baru bermuara pada putusan Mahkamah Agung seusai Pilpres 2019 tentu berdampak pada hajatan pemilu. Dalam verifikasi faktual terkait pilkada, Komisi Pemilihan Umum merujuk pada SK yang diterbitkan oleh Menkumham tentang kepengurusan Hanura kubu Oesman Sapta.
Hal ini merujuk dalam aturan saat itu yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bagi partai yang mengalami sengketa atau persoalan dalam kepengurusan, maka yang diakui adalah kepengurusan yang telah didaftarkan dan disahkan melalui SK Menkumham.
Persis seperti partai sebelumnya yang berkonflik, dampak dari dualisme ini juga bermuara pada penurunan penguasaan suara oleh Hanura. Kondisi ini juga pernah dialami oleh PNI, PDI, dan PKB saat berhadapan dengan dualisme kepengurusan partai yang berujung pada kemerosotan suara dalam pemilu.
Dalam Pemilu 2019, Hanura hanya memperoleh 2,1 juta suara atau merosot hingga 67 persen dibandingkan raihan suara dalam Pemilu 2014. Dengan raihan 1,54 persen suara pada 2019, Hanura dipastikan gagal lolos ke parlemen untuk pertama kalinya sejak partai ini terbentuk karena gagal meraih ambang batas parlemen minimal sebesar 4 persen suara.
Baca Juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Beringin dalam Badai Reformasi (Bagian Kelima)
Konflik yang dialami Hanura menegaskan bahwa persoalan internal partai dapat terjadi dalam kondisi apa pun tanpa diduga. Hanura yang mencatatkan performa positif dalam pemilu sebelumnya akhirnya harus bergelut dengan persoalan kepemimpinan partai.
Selain Hanura, konflik yang tidak terduga setelahnya juga harus dihadapi oleh Partai Berkarya dan Partai Demokrat. Saat ini, kedua partai tersebut masih berkutat dengan dualisme kepengurusan. Bagaimana akhir dari kisah dualisme internal kedua partai yang lahir dari rahim reformasi ini? (LITBANG KOMPAS)
Baca tulisan selanjutnya:
Jejak Dualisme Partai Politik: Menanti Muara Keterbelahan Berkarya dan Demokrat (Bagian Ketujuh)