Jejak Dualisme Partai Politik: Beringin dalam Badai Reformasi (Bagian Kelima)
Daya tahan Partai Golkar teruji sepanjang era reformasi. Ujian internal konflik kepengurusan yang melahirkan dualisme juga melanda partai ini.
Setelah berdiri kokoh selama separuh abad, Golkar, yang identik dengan simbol pohon beringin, harus berhadapan dengan kuatnya terpaan badai di era reformasi. Keterbelahan dukungan dalam Pilpres 2014 berujung pada dualisme dalam internal partai.
Sepanjang era Orde Baru, posisi Golkar tak tergoyahkan dalam setiap gelaran pemilihan umum. Golkar menyapu bersih semua gelaran pemilu sejak 1971 hingga 1997.
David Reeve, sejarawan sekaligus peneliti dari University of New South Wales, Australia, dalam bukunya Golkar: Sejarah yang Hilang (2013), menuliskan, sepanjang sejarah pendiriannya, Golkar memang tidak luput dari konflik dan kritikan meskipun selalu berhasil menjadi partai penguasa di era Orde Baru.
Pada awal dekade 1970-an, misalnya, Golkar pernah diharapkan memainkan peranan penting dalam kancah politik era Orde Baru. Namun, harapan ini tidak terwujud sehingga bermuara pada kritikan bahwa Golkar adalah organisasi pasif yang tidak memiliki vitalitas mandiri. Eksistensi Golkar saat itu dianggap hanya bergantung pada lembaga pemerintah dan militer.
Terlepas dari apapun kritikan dan persoalan yang dialami Golkar, yang jelas, partai ini selalu melenggang sebagai partai papan atas dalam setiap pemilu di Indonesia. Bahkan, hingga reformasi, Golkar tidak pernah kehilangan pengikutnya di tengah munculnya partai penguasa lainnya dalam pemilu seperti PDI-Perjuangan dan Partai Demokrat.
Kuatnya basis massa yang dimiliki, hingga pengalaman Golkar dalam mengendalikan konflik, menjadi salah satu modal utama yang dimiliki oleh partai ini untuk terus eksis. Eksistensi tersebut masih dirasakan hingga ke pelosok daerah yang masih akrab dengan lambang pohon beringin dalam setiap pemilu.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Riak Jelang Kemerdekaan (Bagian Pertama)
Fragmentasi
Namun, jiwa zaman yang dihadapi oleh Golkar di era reformasi tentu sangat berbeda dengan Orde Baru. Di alam reformasi, Golkar harus bersaing dalam mimbar bebas untuk merebut suara publik. Iklim demokrasi yang kian hidup, bergerak linier dengan semakin banyaknya konflik kepentingan yang dihadapi.
Jika Golkar diibaratkan pohon beringin, maka kekokohannya mulai diuji melalui terpaan angin, bahkan badai yang semakin sering muncul secara tiba-tiba ketika periode reformasi. Salah satu riak yang dihadapi adalah saat Golkar ditinggalkan oleh sejumlah tokoh untuk membentuk partai baru.
Fragmentasi dalam tubuh Golkar mulai terlihat pada tahun-tahun awal reformasi. Pada tahun 2002, misalnya, saat R Hartono mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa. Kondisi yang sama juga terjadi pada tahun 2006 saat Wiranto mendirikan Partai Hanura, dan Surya Paloh mendirikan Partai Nasdem pada tahun 2011.
Pada satu sisi, lahirnya partai baru dari rahim Golkar secara tidak langsung adalah legitimasi bagi eksistensi partai ini dalam menghasilkan kader-kader berpengaruh. Namun, di sisi lain, fragmentasi yang terjadi juga merupakan wujud goyahnya internal partai dalam menghadapi semangat demokrasi yang kian bergelora di alam reformasi.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Tragedi Berdarah di Ibu Kota (Bagian Kedua)
Setelah 50 tahun
Angin reformasi yang terus berhembus dalam internal Golkar, akhirnya semakin kuat menggoncang kokohnya batang beringin. Puncaknya adalah jelang ulang tahun ke-50 Golkar pada tahun 2014. Kala itu, internal Golkar terbelah dalam mendukung calon presiden.
Keterbelahan ini tidak terlepas dari keputusan Jusuf Kalla, ketua umum Golkar 2004-2009, untuk mendampingi Joko Widodo dalam Pilpres 2014. Pada saat yang sama, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie mengarahkan dukungannya kepada Prabowo Subianto.
Perdebatan tentang arah koalisi dari Golkar telah berlangsung dalam internal partai jauh sebelum deklarasi pencalonan presiden 2014. Perdebatan ini diakhiri dalam Rapimnas Golkar VI pada 18 Mei 2014 yang menyerahkan arah koalisi Partai Golkar dalam Pilpres 2014 kepada Aburizal Bakrie.
Keputusan Golkar untuk berkoalisi semakin terlihat saat Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa mendeklarasikan diri sebagai capres dan cawapres dalam Pemilu 2014. Golkar memutuskan masuk ke dalam koalisi pendukung Prabowo.
Keputusan ini berbuntut panjang. Internal Golkar yang tidak sepakat dengan keputusan Aburizal Bakrie, secara terang-terangan menyatakan dukungannya kepada pasangan Jokowi-JK. Keterbelahan dalam internal Golkar mulai meruncing jelang Pilpres 2014.
Suasana dalam internal Golkar kian memanas saat Aburizal Bakrie memecat tiga kader Golkar pada 23 Juni 2014 karena tidak mengikuti keputusan partai untuk mendukung Prabowo-Hatta.
Ketiga kader yang dipecat adalah Ketua DPP Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita, Wakil Bendahara DPP Golkar Nusron Wahid, serta Poempida Hidayatulloh yang juga merupakan anggota DPR RI. Selain itu, Ketua DPD I Partai Golkar Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh, yang juga Gubernur Sulawesi Barat, juga dinonaktifkan dari kepengurusan partai.
Keputusan ini menimbulkan beragam reaksi. Jusuf Kalla menilai keputusan pemecatan ini adalah berlebihan. Menurut Kalla, pemecatan akibat beda pandangan politik tidak pernah dilakukan selama dirinya menjadi ketua umum Partai Golkar (Kompas, 25 Juni 2014).
Reaksi juga disampaikan oleh tiga organisasi pendiri Partai Golkar atau Trikarya, yakni Kosgoro 1957, MKGR, dan SOKSI. Menurut Ketua Umum Kosgoro 1957 Agung Laksono yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar, keputusan itu harus dianulir (Kompas, 26 Juni 2014).
Gejolak dalam internal Golkar terus berlanjut dengan dideklarasikannya "Penyelamatan Partai Golkar” oleh sejumlah tokoh Golkar. Deklarasi ini dipimpin oleh politikus senior Golkar, Ginandjar Kartasasmita. Turut pula hadir Andi Mattalatta, Fahmi Idris, hingga kader muda Golkar seperti kader muda Andi Sinulingga dan Indra J Piliang.
Salah satu desakan yang disuarakan adalah penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) Golkar. Kepengurusan Golkar dalam menghadapi Pileg 2014 dinilai lebih buruk karena hanya memperoleh 91 kursi, lebih rendah dibandingkan lima tahun sebelumnya sebanyak 106 kursi.
Puncak dari konflik ini adalah penyelenggaraan Munas Golkar jelang akhir 2014. Rapat pleno DPP Partai Golkar untuk persiapan musyawarah nasional pada 24-25 November 2014 berakhir ricuh. Bahkan, massa Angkatan Muda Partai Golkar saling mengejar dan melempar batu di dalam pagar Kantor DPP Partai Golkar.
Presidium Penyelamat Partai Golkar akhirnya dibentuk dan diketuai Wakil Ketua Umum Agung Laksono. Presidium ini berencana menggelar musyawarah nasional yang terpisah dengan penyelenggaraan versi Aburizal Bakrie.
Dualisme dan kisruh dalam internal Golkar bermuara pada penyelenggaraan munas dalam dua tempat yang berbeda. Kubu Aburizal Bakrie menggelar munas di Bali pada 30 November-4 Desember 2014. Kader Golkar dalam pertemuan ini memilih Aburizal Bakrie sebagai ketua umum serta memecat 17 kader partai karena bergabung dalam Presidium Penyelamat Partai Golkar.
Sementara Golkar kubu Agung Laksono menggelar Munas di Ancol, Jakarta. Pertemuan ini memberikan kepercayaan kepada Agung Laksono terpilih sebagai Ketua Umum Golkar. Dengan demikian, Golkar terbelah dalam dua kepengurusan.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Antara Batu Tulis dan Kuningan (Bagian Ketiga)
Upaya penyelesaian
Sama seperti konflik partai politik sebelumnya, dualisme kepemimpinan Golkar juga berujung pada ranah hukum. Golkar pimpinan Agung Laksono mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 5 Desember 2014.
Dalam gugatannya, Agung meminta hakim menyatakan Munas IX Partai Golkar di Bali tidak sah. Sementara Golkar pimpinan Aburizal Bakrie mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 12 Januari 2015.
Gugatan ini menghasilkan putusan yang sama. PN Jakarta Pusat dan Jakarta Barat sama-sama meminta kedua kubu menyelesaikan konflik melalui mekanisme internal. Artinya, Mahkamah Partai diharapkan mampu menjadi jalan tengah untuk mengatasi dualisme kepengurusan. Atas putusan PN Jakarta Barat, Golkar kubu Aburizal mengajukan kasasi.
Namun, Mahkamah Partai Golkar justru juga terbelah dalam dua putusan. Pada 3 Maret 2015, dua hakim dalam putusan Mahkamah Partai mengakui DPP Golkar hasil Munas Jakarta di bawah pimpinan Agung Laksono.
Dua hakim lainnya menunggu hasil dari permohonan kasasi yang diajukan oleh DPP Golkar hasil Munas Bali ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Namun, permohonan kasasi justru dicabut oleh Golkar kubu Aburizal dua hari setelah putusan mahkamah partai.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan keputusan tentang kepengurusan Golkar pada 10 Maret 2015. Menkumham Yasonna H Laoly mengumumkan DPP Partai Golkar versi Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono sebagai pengurus yang sah. Keputusan ini segera direspons oleh Golkar kubu munas Bali dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Gugatan Golkar pimpinan Aburizal Bakrie membuahkan hasil. Dalam putusannya, pada 18 Mei 2015 PTUN akhirnya membatalkan SK Menkumham Yasonna Laoly terkait pengesahan kepengurusan DPP Partai Golkar Munas Ancol versi Agung Laksono. Usai keputusan dibacakan, giliran Agung Laksono yang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Pada tingkat banding, PTTUN membatalkan putusan PTUN pada 18 Mei 2015 tentang pembatalan SK Menkumham terkait kepengurusan DPP Partai Golkar Munas Ancol. Putusan ini memberikan angin segar kepada kepengurusan Golkar pimpinan Agung Laksono.
Sebagai upaya terakhir, kasasi akhirnya diajukan oleh kepengurusan Golkar kubu Aburizal Bakrie ke Mahkamah Agung (MA). Upaya ini membuahkan hasil karena pada 20 Oktober 2015 MA mengabulkan kasasi yang diajukan. Golkar yang sah versi putusan MA adalah hasil Munas Riau 2009 dengan Ketua Umum Aburizal Bakrie dan Sekjen Golkar Idrus Marham.
Putusan MA ini menjadi awal dari rekonsiliasi Partai Golkar. Sebagai tindak lanjut, pada 15-17 Mei 2016, Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar diselenggarakan di Bali dan menghasilkan kesepakatan untuk memilih Setya Novanto sebagai ketua umum Golkar. Dari sinilah semangat rekonsiliasi digaungkan dalam penyusunan kepengurusan partai yang baru.
Baca juga: Jejak Dualisme Partai Politik: Benteng Pertahanan yang Terkoyak (Bagian Keempat)
Orde Baru dan Reformasi
Kisruh yang dialami oleh Golkar sekaligus melengkapi kisah dualisme partai politik yang telah lahir sejak Orde Baru. Setelah PDI dan PPP, Golkar akhirnya berhasil melewati persoalan serupa. Hal ini menegaskan bahwa sejarah panjang sebuah partai bukanlah jaminan soliditas dalam internal kepengurusan.
Selain Golkar, konflik berikutnya dialami partai yang dilahirkan pada masa reformasi oleh mantan tokoh Golkar lainnya, yakni Partai Hanura. Setelah lebih dari satu dekade berada dalam kancah politik di tanah air, kemelut akhirnya tidak terelakan. Apa yang menyebabkan kepengurusan Hanura terbelah? (LITBANG KOMPAS)
Baca tulisan selanjutnya: Jejak Dualisme Partai Politik: Bergelut di Tengah Kemelut (Bagian Keenam)