logo Kompas.id
RisetIndonesia Beragam, ”Indonesia ...
Iklan

Indonesia Beragam, ”Indonesia Bertahan”

Mampu bertahan sebagai suatu negara dengan aneka latar belakang identitas sosial membuat perjalanan bangsa Indonesia ibarat mukjizat. Menurut Azyumardi Azra, keragaman itulah yang menjadi modal persatuan bangsa.

Oleh
Andreas Yoga Prasetyo
· 10 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/h7scIxuvX3A8LE1JUcaU27cG_sE=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2FIMG_4199_1561812679.jpg
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Penari dengan pakaian tradisional Jawa Barat membawa bendera dari negara-negara sahabat Konferensi Asia Afrika dalam Asia Africa Festival (AAF) 2019, Bandung, Sabtu (29/6/2019). Selain menjalin solidaritas dengan sesama negara Konferensi Asia Afrika, kegiatan ini juga memperkenalkan keberagaman budaya Indonesia.

Memiliki banyak perbedaan di latar belakang sosial membuat bangsa Indonesia menghadapi situasi states of conflict-prone politics atau negara yang rentan dengan konflik politik. Namun karena kemajemukan yang luar biasa itulah bangsa dan negara Indonesia dapat bertahan hingga sekarang.

Mampu bertahan sebagai suatu negara dengan keragaman latar belakang identitas sosial (suku bangsa, tradisi, adat istiadat, serta agama) membuat perjalanan bangsa Indonesia ibarat mukjizat.  Sejak merdeka pada 17 Agustus 1945 hingga saat ini, Indonesia bertahan di tengah berbagai gejolak politik, sosial budaya,  dan konflik pemeluk agama.

Walau Indonesia pernah mengalami krisis yang berat pada awal kemerdekaan 1945, pemberontakan G30S-PKI pada 1965, gejolak reformasi 1998, tetapi negara ini tetap utuh bersatu. Dorongan untuk menjaga keutuhan negara menjadi keajaiban yang dimiliki bangsa Indonesia.

Atas kondisi itu, sulit membayangkan kemampuan Indonesia dapat bertahan sampai saat ini. Lalu apa yang membuat keajaiban keutuhan Indonesia tersebut?

Kata pengantar yang disampaikan Azyumardi Azra dalam buku terbarunya Indonesia Bertahan dari Mendirikan Negara hingga Merayakan Demokrasi menjawab pertanyaan tersebut. Justru karena kemajemukan yang luar biasa itulah bangsa dan negara Indonesia dapat bertahan hingga saat ini.

https://cdn-assetd.kompas.id/-zznI0T_15mdpMNf52XA7lkwVow=/1024x1952/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F11%2F20181126_GKT_Warisan-Budaya-Takbenda-Indonesia-Kompas-ID-mumed-W_1543226424.png

Bukan tanpa alasan, penekanan kemajemukan dipilih penulis menjadi pembuka buku ini. Sejarah pergolakan bangsa, fenomena konflik politik, dan penyebaran berita bohong yang mengadu domba identitas sosial masyarakat terus membayangi perjalanan bangsa Indonesia.

Sebagian pengamat Indonesia atau Indonesianis khawatir, bahkan ada yang meramalkan Indonesia yang terpecah belah. Mereka mencemaskan Indonesia yang begitu heterogen dari sisi ras, etnis, agama, budaya, tradisi, bahasa, dan stratifikasi sosial. Keragaman dan perbedaan ini dapat menjadi potensi Indonesia untuk terpecah belah.

Bahkan, penulis Inggris J.S. Furnivall pada 1939 pernah mengajukan skenario kiamat bagi Indonesia setelah era kolonial Belanda berakhir. Ia melihat Indonesia yang saat itu bernama Hindia Belanda bakal terpecah belah karena pluralitasnya dan tidak ada faktor pemersatu.

Pandangan itu kembali berkembang ketika Indonesia mengalami transisi demokrasi pada 1998. Krisis ekonomi yang merembet menjadi krisis multidimensi dipandang menjadi pemicu Indonesia terpecah belah seperti negara-negara di wilayah Balkan era 1990-an.

Lebih lanjut diungkapkan, skenario Balkanisasi atau Indonesia yang terpecah berkeping-keping masih terus membayangi sampai saat ini. Gerakan separatisme seperti yang terjadi di Papua memberi contoh nyata gambaran tantangan menjaga keutuhan bangsa Indonesia.

https://cdn-assetd.kompas.id/mTjT7T5kfaLNIsuFDoblwzu3qfA=/1024x1274/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20200517-ARS-Polling-Refleksi-Reformasi-mumed_1589707970.png

Benua maritim

Pada satu sisi, Indonesia adalah harapan karena merupakan negara berwilayah luas yang stabil secara politik, keamanan, dan ekonomi dalam beberapa dasawarsa terakhir.

Meski dalam beberapa peristiwa, stabilitas itu sempat guncang, seperti pada era reformasi 1998, itu tidak berlangsung lama. Kestabilan itu membuat Indonesia dapat melakukan pembangunan secara berkelanjutan dan menjaga pertumbuhan ekonomi.

Dalam bahasan topik ”Harapan Indonesia”, Azyumardi juga menyebutkan optimisme dan harapan masih ada pada bangsa Indonesia. Pertama, terkait posisi Indonesia sebagai salah satu negara besar di dunia, dengan populasi keempat terbanyak di dunia dan sekaligus penduduk Muslim terbesar di dunia.

Aspek selanjutnya adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dan masuk kategori 10 besar ekonomi di dunia. Memiliki potensi-potensi tersebut, berbagai lembaga internasional memprediksi Indonesia bakal masuk menjadi lima besar negara terkuat di dunia.

Namun untuk memenuhi prediksi dan harapan tersebut, ada sejumlah prasyarat yang harus diwujudkan pemerintah dan masyarakat Indonesia. Syarat tersebut melengkapi modal dasar keragaman yang sudah dimiliki bangsa Indonesia. Prasyarat utama adalah menjaga stabilitas politik dan keamanan yang berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.

Meski sangat majemuk, dari aspek tradisi dan sosial, budaya masyarakat Indonesia sangat cair berkat kenyataan sebagai benua maritim. Kondisi ini memungkinkan pelayaran dari satu tempat ke tempat lain sehingga berbagai suku bangsa dapat berinteraksi dan bertukar budaya.

Demikian pula dengan faktor agama. Berbagai agama di benua maritim Nusantara bukan memecah belah masyarakat, tetapi sebaliknya menumbuhkan ikatan solidaritas yang melewati batas etnis dan tradisi sosial budaya.

https://cdn-assetd.kompas.id/QztEsYnX2uhQiv_ivjF0LRWAncY=/1024x588/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F1a6e900d-3a50-4cb1-8071-445c84bc1a70_jpg.jpg
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Atraksi liong dan tanjidor ditampilkan di jalur pedestrian Taman Dukuh Atas, Jakarta, untuk memeriahkan Tahun Baru Imlek, Kamis (23/1/2020). Acara yang digelar di ruang publik tersebut dapat dinikmati warga Jakarta sebagai salah satu bentuk sikap saling menghargai keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia.

Tantangan bangsa

Buku ini berisi kumpulan tulisan yang menelusuri pasang surut perjalanan demokrasi dan pergulatan kebangsaan Indonesia. Ragam tantangan terus dilalui oleh bangsa yang majemuk, antara lain dari konflik politik, penyebaran hoaks yang mendegradasi nalar politik, dan  keinginan mengganti ideologi bangsa.

Ini yang membuat Indonesia rentan dengan konflik politik, konflik antarmasyarakat, antaretnis, dan antaragama. Salah satu contoh ketegangan politik terjadi di seputar pemilihan presiden pada 2014.

Saat itu ada dua koalisi partai politik yang berhadapan,  Koalisi Merah Putih dengan Koalisi Indonesia Hebat.  Bahkan, menjelang Pemilu Presiden 2014, kekisruhan internal telah melanda Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golkar. Konflik  bermula karena adanya perbedaan sikap dalam memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Azyumardi mencermati konflik politik muncul karena konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terwujud. Reformasi lembaga politik, termasuk partai politik, sudah terjadi sejak 1998. Namun, reformasi politik tersebut belum maksimal terjadi pada budaya politik. Budaya politik lama semacam otoritarianisme dan nepotisme terus bertahan dalam berbagai ekspresinya.

Budaya politik demokratis belum sepenuhnya terwujud dalam parpol. Oligarki cenderung menguasai parpol yang tidak memberikan ruang bagi dialog dan akomodasi terhadap pendapat yang berbeda. Demikian pula dengan kepemimpinan parpol juga cenderung nepotistik atau menciptakan ”dinasti” pemerintahan daerah dan keanggotaan legislatif.

Politik parpol makin terjerumus ke dalam oligarki keluarga dan kelompok. Perbedaan dan pertikaian internal bukan diselesaikan secara demokratis, melainkan sering berujung pada perpecahan dan pembentukan partai baru.

https://cdn-assetd.kompas.id/hD82aVNWjbfFaBv3c2M6j1d-HMc=/1024x609/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F1ef83a2a-1cdb-47d4-800f-94857d46d666_jpg.jpg
Kompas/Bahana Patria Gupta

Siswa menggunakan pakaian adat Bali saat parade ”Culture Day” di Sekolah Pembangunan Jaya Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (15/2/2020). Selain untuk belajar menghargai keberagaman, kegiatan ini dilakukan untuk menumbuhkan semangat cinta budaya Indonesia.

Nalar politik

Keutuhan bangsa juga menghadapi tantangan lain berupa penyesatan nalar sehat publik melalui penyebaran hoaks, disinformasi, manipulasi data dan fakta. Fenomena ini marak terjadi menjelang pemilu.

Iklan

Dicontohkan penyebaran hoaks tentang beredarnya tujuh kontainer berisi sekitar 70 juta kartu suara yang telah dicoblos untuk pasangan capres-cawapres tertentu pada awal Januari 2019.  Verifikasi cepat kemudian dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan memastikan kabar tersebut  hoaks yang diedarkan pihak tertentu untuk menciptakan kehebohan politik, dan sekaligus sebagai upaya delegitimasi Pilpres 2019.

Penyebaran politics of unreason menjadi kerisauan serius yang diangkat dalam buku ini. Salah satu faktornya adalah frekuensi peningkatannya dalam dua dasawarsa terakhir. Setidaknya ada tiga perkembangan yang mendorong peningkatan politik tanpa nalar.

Pertama, peningkatan penyebaran demokrasi dengan kian banyaknya negara yang mengadopsi demokrasi. Kedua, kebangkitan politik identitas terkait krisis ekonomi dan sosial-budaya di beberapa negara maju. Terakhir, peningkatan teknologi informasi dengan media instan yang memungkinkan penyebaran konten secara cepat dan masif.

Ketiga faktor ini berkombinasi mendorong tumbuhnya politik tanpa nalar, yang juga bisa disebut post truth politics. Dalam keadaan di mana fakta tidak lagi penting, sebaliknya emosi dan kepercayaan personal yang sering dipengaruhi hoaks menjadi lebih menentukan sikap politik warga. Pada tahap ini politik dengan nalar sehat seolah tidak mampu lagi membentuk keadaban politik masyarakat.

https://cdn-assetd.kompas.id/40UAQZBnLi_VNxpoXxPHmBppuTY=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2Fa3284d9d-864f-434a-b48f-048f163daf85_jpg.jpg
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Seorang warga di Jalan Lawang Saketeng, Kota Bogor, Jawa Barat, mengenakan masker bernuansa merah putih, Sabtu (8/8/2020).

Tantangan lain adalah mendirikan negara baru. Sejak era awal berdirinya negara Indonesia hingga saat ini ada kelompok, atau organisasi yang ingin mengganti negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan ”negara” lain berbasis ideologi berbeda.

Azyumardi mencontohkan munculnya Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang menghebohkan pada 2016. Kehebohan mengenai Gerakan Fajar Nusantara tidak hanya menyangkut menghilangnya sejumlah orang dan keluarga, tetapi juga terkait ajaran dan praksisnya.

Melihat adanya cabang dari Aceh sampai Ternate, terindikasi gerakan indigenous tersebut menyebar cukup luas. Hasil penyelidikan Polri menyatakan, Gafatar bertujuan membentuk negara sendiri.

Di luar Gafatar juga ada organisasi atau kelompok  berorientasi transnasional yang ingin mendirikan negara lain di Indonesia. Mempertimbangkan kelatenan gagasan dan praksis indigenous di Tanah Air dan pengaruh geopolitik luar negeri yang menjadi raison d’etre gerakan transnasionalisme untuk penciptaan negara sendiri, fenomena tersebut masih  bisa terjadi lagi di masa depan.

Karena itu, Azyumardi juga mengingatkan kepada pemerintah dan umat arus utama yang berkomitmen penuh pada negara-bangsa Indonesia, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, perlu mencermati dan mewaspadai dinamika yang berkembang di berbagai kelompok seperti Gafatar.

Ia juga menyebut mendirikan negara sendiri dengan mengorbankan negara-bangsa Indonesia, adalah utopian. Sejarah Indonesia sepanjang abad ke-20 dan menempuh abad ke-21 membuktikan komitmen mayoritas absolut warga bangsa pada negara Indonesia. Kesetiaan tersebut masih terus bertahan meski Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah, seperti ketidakadilan serta korupsi yang merajalela.

https://cdn-assetd.kompas.id/sm6F-2h4mQUjCm4DA-u6FCd31hY=/1024x655/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_27650202_13_0.jpeg
Kompas

Upacara wisuda guru-guru peserta Sekolah Guru Kebhinekaan dalam balutan pakaian daerah pada 19 November 2016.

Budaya politik

Mukjizat merupakan kejadian atau peristiwa ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Bertahannya negara Indonesia dengan keragamannya hingga saat ini merupakan karunia yang harus diyukuri dan harus dipertahankan.

Namun, untuk bertahan di masa mendatang, karunia keajaiban perlu disertai tindakan-tindakan perubahan pada bangsa Indonesia. Mewariskan suatu budaya politik dan martabat politik merupakan dua dari sekian hal yang menurut Azyumardi harus dibenahi bangsa Indonesia.

Justru karena kemajemukan yang luar biasa itulah, bangsa dan negara Indonesia dapat bertahan hingga saat ini.

Budaya politik atau political culture menjadi hal yang disorot khusus dalam buku. Ini karena budaya politik merupakan aspek reformasi politik yang tidak berkembang signifikan sepanjang masa transisi dan konsolidasi demokrasi Indonesia selama hampir dua dasawarsa terakhir. Akibatnya, demokrasi Indonesia pasca-Soeharto masih ditandai kelemahan mendasar yang membuatnya cacat (flaw democracy).

Berbagai aspek budaya politik, seperti sikap, kepercayaan, dan sentimen, yang menciptakan tatanan dan makna pada proses politik sering tidak cocok dengan demokrasi. Budaya politik yang juga terkait asumsi dan tata aturan yang membentuk perilaku politik dalam sistem politik acap kali tidak selaras dengan demokrasi.

Azyumardi mengungkapkan, Indonesia boleh bangga dengan pencapaian demokrasi lewat pemilihan umum yang terselenggara sejak 1999. Namun di sisi lain, penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut juga diwarnai ketegangan dan peningkatan suhu politik. Penyebabnya sering bukan murni politik, melainkan karena penggunaan isu keragaman, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam kontestasi politik.

https://cdn-assetd.kompas.id/o9XXtXUrRe_fD0AfSSEosE18lJY=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F0dffb8e4-f491-4694-8d89-ce24f3ddf94a_jpg.jpg
Kompas/AGUS SUSANTO

Penjual buah keliling melintas di depan mural keberagaman di kolong jalan layang Rawa Panjang, Kota Bekasi, Jawa Barat, Jumat (7/8/2020).

Dari sisi masyarakat, budaya politik warga pemilih kian terkontaminasi politik uang. Walau tidak banyak dikupas dalam buku ini, uraian tentang politik uang dan korupsi yang diangkat menunjukkan gambaran kontaminasi buruk tersebut dalam ajang pemilu.

Praktiknya melalui penggunaan uang (money politics) yang lazimnya berupa ”bantuan sosial” bagi organisasi atau kelompok masyarakat tertentu serta perbaikan jalan atau rumah ibadah. Amplop berisi lembaran uang juga dibagikan buat warga pemilih oleh mereka yang berkontestasi dalam pemilu untuk ”pengganti biaya transpor”.

Selain perbaikan budaya politik, hal lain yang juga disorot buku ini adalah menghadirkan politik yang bermartabat. Menumbuhkan politik keadaban merupakan tantangan yang perlu direspons elite politik, elite keagamaan, dan elite sosial lainnya. Azyumardi memberikan beberapa rekomendasi untuk penguatan politik keadaban dan keadaban politik.

Pertama, bersikap adil dan beradab terhadap lawan politik; tidak menampilkan sikap pokok-e atau zero-sum-game untuk menghabisi lawan politik tanpa kompromi. Kedua, mengakui nilai-nilai yang dipegangi bersama demi kemaslahatan publik tanpa mengorbankan posisi politik masing-masing.

Selanjutnya, menghindari labelisasi dan generalisasi yang tidak sesuai fakta dan realitas lawan politik. Terakhir, mempertimbangkan masak-masak konsekuensi pernyataan yang dikeluarkan atas dasar prinsip tanggung jawab dan akuntabilitas pribadi dan publik.

https://cdn-assetd.kompas.id/mRqjmhYbmaFLcVP-iuPR_MCHUFE=/1024x636/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2F20200814_ARJ_data_buku_mumed_1597399542.png

Tetap ada

Buku ini terbit pada Mei 2020, bersamaan dengan situasi sulit yang dialami bangsa Indonesia yang ikut dirundung kelabu pandemi Covid-19. Judul buku ini seakan mengingatkan seluruh komponen bangsa untuk tetap bergandeng tangan agar Indonesia tetap bisa bertahan.

Menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia, ulasan yang ditampilkan dalam buku ini juga menjadi ajakan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk menggali kembali makna persatuan dari perjalanan sejarah bangsa. Kajian historis yang banyak ditampilkan Profesor Sejarah UIN Syarif Hidayatullah tersebut memaknai berbagai peristiwa politik sekaligus menjadi refleksi pergulatan bangsa sejak berdirinya negara Indonesia.

Azyumardi menegaskan Indonesia beruntung karena para pendiri republik ini telah mengadopsi politik pengakuan saat mereka memproklamasikan kemerdekaan. Eksistensi politik pengakuan itu bisa dilihat pada Pancasila sebagai dasar negara. Dengan Pancasila sebagai dasar negara, khususnya melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia menerapkan politics of recognition kemajemukan agama.

Baca juga: Menjaga Keberagaman Surabaya

Politik pengakuan negara juga ada dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Negara memberikan pengakuan pada setiap dan semua suku dengan adat dan tradisi berbeda yang membentuk negara-bangsa Indonesia.

Sepanjang sejarah perjalanan bangsa hingga memasuki usia 75 tahun, proses Indonesia untuk bertahan terus menguat. Dengan begitu, sekali lagi, meski masih menghadapi banyak masalah, bangsa Indonesia boleh optimistis akan tetap bertahan dalam kemajemukan dan kesejahteraan. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Arah Bisnis Energi

Editor:
totosuryaningtyas
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000