Rentan Dikorupsi, Investasi Sektor Pengairan Perlu Dievaluasi
Investasi pengairan perlu dievaluasi karena rentan dikorupsi dan meminggirkan warga setempat dari pengambilan kebijakan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil mendesak agar peningkatan investasi di bidang pengairan dievaluasi kembali, baik oleh investor maupun pemerintah. Sebab, pembangunan di ranah tersebut tak hanya rentan dikorupsi, tetapi juga meminggirkan warga setempat dari proses pengambilan kebijakan yang terkait.
Investasi di bidang pengairan nasional meningkat seiring dengan adanya kesepakatan kerja sama antara Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dan K-Water, perusahaan air minum asal Korea Selatan.
Kesepakatan investasi senilai Rp 2,4 triliun itu dicapai dalam rangkaian acara Forum Air Sedunia (World Water Forum) yang tengah diselenggarakan di Bali pada 18–25 Mei 2024. Menurut rencana, investasi bakal digunakan untuk mendanai pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM).
Terkait dengan peningkatan investasi tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar para investor mengevaluasinya kembali. Sebab, investasi besar di ranah pengairan rentan dikorupsi.
”Penting untuk diingat, pada tahun 2018 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menangani kasus suap pembangunan SPAM di Kementerian PUPR yang melibatkan mantan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Rizal Djalil. Selain Rizal, ada 8 orang dari unsur pemerintah dan swasta yang turut ditetapkan sebagai tersangka,” kata peneliti ICW, Seira Tamara, melalui keterangan tertulis, Kamis (23/5/2024).
ICW mencatat bahwa sepanjang periode 2016–2023 terdapat 128 kasus korupsi yang terkait dengan proyek di sektor pengairan. Proyek tersebut, di antaranya, peningkatan jaringan irigasi, pembangunan saluran air bersih, dan instalasi jaringan pipa perusahaan daerah air minum (PDAM).
Modus yang digunakan pun beragam, mulai dari proyek fiktif, penyalahgunaan anggaran, hingga penggelapan. Dari total kasus tersebut, kerugian negara mencapai Rp 455 miliar.
”Alih-alih menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam mengelola sektor perairan, Indonesia sebagai tuan rumah Forum Air Sedunia justru menunjukkan kepada negara-negara peserta bahwa pengelolaan sektor air masih sarat praktik korupsi,” kata Seira.
Rentan dikorupsi
Tak hanya rentan dikorupsi, tambahnya, investasi besar di sektor pengairan juga belum mampu memenuhi kebutuhan warga. Di banyak daerah, warga masih harus membeli air bersih dengan harga mahal. Lebih dari itu, warga juga tak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan terkait sektor air.
Contohnya, agenda Forum Air untuk Rakyat (People’s Water Forum/PWF) yang semestinya digelar di Bali pada akhir pekan lalu bersamaan dengan rangkaian acara World Water Forum batal dilaksanakan. Para aktivis yang menginisiasi forum tersebut mendapatkan ancaman dan kekerasan, baik dari aparat negara maupun sesama warga.
Adapun PWF merupakan wadah bagi masyarakat sipil untuk mengkritik penyelenggaraan Forum Air Sedunia oleh pemerintah yang dinilai hanya didasarkan pada kepentingan modal tanpa melibatkan warga.
”Represivitas yang menyasar kelompok masyarakat sipil—khususnya pejuang lingkungan dan pejuang hak atas air—merupakan bentuk nyata tindakan pemerintah dan aktor berpengaruh nonnegara lainnya untuk menutup ruang partisipasi publik. Hal ini tentu dapat mempengaruhi terhadap upaya warga dalam mengawasi proyek pembangunan pemerintah yang cenderung korup, serta menciptakan suasana ketakutan,” ujar Seira.
Catatan Kompas, intimidasi tak hanya terjadi pada 20 Mei 2024, tetapi juga masih berlanjut hingga Rabu (22/5/2024). Hotel tempat penyelenggaraan PWF dijaga sekelompok orang yang memasang palang yang menghambat akses ke tempat tersebut. Sejumlah panitia yang telanjur berada di dalam pun tak bisa keluar (Kompas, 22/5/2024).
Sebelumnya, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro mengatakan, telah menerima pengaduan mengenai intimidasi tersebut. Komnas HAM juga menerima informasi adanya permintaan agar acara PWF dibubarkan.
Represivitas yang menyasar kelompok masyarakat sipil—khususnya pejuang lingkungan dan pejuang hak atas air—merupakan bentuk nyata tindakan pemerintah dan aktor berpengaruh nonnegara lainnya untuk menutup ruang partisipasi publik.
Untuk menindaklanjutinya, Komnas HAM pun berkoordinasi dengan Polda Bali dan Markas Besar Polri, serta mengirimkan surat untuk meminta jaminan keamanan bagi penyelenggaraan PWF.
Komnas HAM juga meminta kepolisian untuk memproses hukum pelaku kekerasan serta mendalami dugaan keterlibatan aparat hukum dalam rangkaian peristiwa tersebut.
”Forum Air untuk Rakyat di Bali sebagai inisiatif masyarakat sipil merupakan bentuk hak berkumpul secara damai, hak berekspresi dan berpendapat, dan bentuk partisipasi publik, yang diakui dan dilindungi konstitusi ataupun konvensi internasional,” kata Atnike.