Korupsi yang merajalela menciptakan ekonomi berbiaya tinggi dan menghadirkan ketidakpastian berusaha. Investor yang bersih akan berpikir ribuan kali untuk menanamkan modal di negara yang korup.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah untuk menggenjot investasi melalui berbagai langkah deregulasi tidak akan efektif selama korupsi tidak kunjung diatasi. Korupsi yang merajalela serta penegakan hukum yang lemah akan memunculkan ketidakpastian berusaha dan menghambat masuknya aliran modal ke dalam negeri.
Investasi membutuhkan ekosistem berusaha yang sehat dan stabil. Sementara, mengacu pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) 2020, Indonesia mengalami penurunan skor persepsi korupsi dari level 40 dan ranking ke-85 di dunia pada 2019 menjadi level 37 dan peringkat ke-102 pada tahun 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, Rabu (8/12/2021), mengatakan, pekerjaan rumah untuk meningkatkan investasi di tengah tingginya praktik korupsi masih sangat besar.
”Meski IPK kita sempat mengalami perbaikan (pada 2019), tetapi tahun 2020 terjadi penurunan. Kita masih jauh dari persepsi negara yang respectable dari sisi antikorupsi,” katanya dalam acara Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021 yang diadakan Kementerian Keuangan.
Ia mengatakan, korupsi adalah penyakit berbahaya yang dapat merusak iklim investasi dan menurunkan kinerja ekonomi. Sekaya apa pun suatu negara akan sumber daya alam, selama korupsi masih tinggi, pertumbuhan ekonominya akan terus terhambat dan masyarakatnya terjebak dalam kemiskinan.
”Korupsi dapat meniadakan kegiatan investasi. Sebab, siapa pun yang punya modal akan berpikir 1.000 kali apakah bisa melakukan kegiatan produktif tanpa menjadi korban dari korupsi yang merajalela,” kata Sri.
Mengacu pada IPK 2020, penurunan skor terbesar terlihat pada indikator ekonomi dan investasi. Data Global Insight Country Risk Ratings oleh IHS Markit Economics, misalnya, yang menurun 12 poin dibandingkan tahun 2019, serta data PRS International Country Risk Guide oleh PRS Group yang menurun 8 poin.
Sebagai gambaran, Global Insight Country Risk menganalisis risiko suap dan praktik korup lainnya yang harus dihadapi pelaku usaha saat berusaha atau berinvestasi di suatu negara. Sebagai contoh, proses pengurusan kontrak bisnis dan perizinan ekspor-impor.
Sedangkan, International Country Risk Guide menganalisis korelasi antara korupsi finansial dengan sistem politik. Sebagai contoh, praktik korupsi di sektor bisnis, seperti nepotisme, suap, relasi patron-klien antara politisi dan pebisnis, proteksi korporasi oleh polisi, dan urusan perpajakan.
Peneliti Center of Industry Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, korupsi menciptakan ekonomi berbiaya tinggi dan memunculkan ketidakpastian berusaha.
Bagi investor, kepastian berusaha sangat diperlukan untuk memprediksi efisiensi dan keuntungan dari suatu investasi. Keputusan investor untuk menanamkan modal di suatu negara akan sangat bergantung pada kajian tersebut.
Sementara, modus-modus korupsi dan praktik pungutan liar sepanjang proses perizinan berusaha membuat iklim berusaha tidak pasti. ”Investor butuh iklim investasi yang stabil, bukan hanya insentif. Mereka harus bisa mengukur berapa kira-kira biaya investasi yang mereka keluarkan dan berapa keuntungan mereka. Kalau ada biaya di luar itu yang tidak bisa ditebak, itu akan mengganggu perencanaan bisnis,” kata Heri.
Laporan Global Competitiveness Report 2017-2018 oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) memetakan, faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, disusul dengan inefisiensi birokrasi, infrastruktur tidak memadai, dan kebijakan yang tidak stabil. Aturan perburuhan, yang banyak diubah lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, masuk dalam urutan terbawah faktor penghambat investasi.
Heri menilai, untuk saat ini, sulit untuk mengukur kondisi berinvestasi di dalam negeri. Masih ada dampak pandemi Covid-19 yang membuat kinerja investasi belum bisa dipastikan pasca keluarnya Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, ia menilai, investor asing masih tertarik berinvestasi di Indonesia karena tergiur ukuran pasar yang besar.
”Pemerintah bisa melakukan perubahan regulasi, tetapi investor punya pertimbangan lain. Mereka punya persepsi tersendiri dengan melihat kondisi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di negara tujuan. UU Cipta Kerja juga belum pasti, apakah penerapannya akan efektif atau tidak," katanya.
Sampai September 2021, realisasi investasi di Indonesia mencapai 73,3 persen dari target tahun 2021 sebesar Rp 900 triliun. Capaian investasi sempat turun di triwulan III-2021 karena merebaknya varian delta dan gelombang kedua pandemi Covid-19.
Kementerian Investasi mencatat, realisasi investasi pada triwulan III-2021 sebesar Rp 216,7 triliun, turun 2,8 persen dibandingkan capaian triwulan II-2021. Terjadi penurunan investasi yang masuk dari luar negeri. Penanaman modal asing (PMA) turun 11 persen dari triwulan II-2021 dan turun 2,7 persen dari periode yang sama tahun lalu.