Koalisi Masyarakat Sipil Ingatkan DPR Hati-hati Bahas Revisi UU TNI
Sejumlah usulan perubahan revisi UU dinilai tidak menyumbang terhadap agenda reformasi TNI sehingga mengancam demokrasi.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti adanya upaya di DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Sejumlah usulan perubahan di dalam revisi UU TNI dinilai sama sekali tidak kontributif terhadap agenda reformasi TNI. Mereka pun mengingatkan DPR dan pemerintah agar berhati-hati karena jika berhasil disahkan, konsekuensinya demokrasi Indonesia berada dalam keadaan terancam dan bahaya.
Peneliti Hak Asasi Manusia dan Sektor Keamanan Setara Institute Ikhsan Yosarie mengatakan, pihaknya memperoleh informasi ada rencana pembahasan revisi UU TNI di DPR pada 22 Mei 2024. Pembahasan revisi UU TNI di DPR itu dikhawatirkan akan minim akuntabilitas dan transparansi sebab saat ini belum ada naskah akademik ataupun draf revisi UU TNI yang bisa diakses oleh masyarakat sipil.
”Minimnya akuntabilitas dan transparansi dalam revisi UU TNI berpotensi melegitimasi regresi reformasi TNI yang telah terjadi, serta memperlihatkan keberpihakan pemerintah dan DPR tidak pada reformasi TNI,” ujar Ikhsan dalam diskusi publik secara daring sekaligus peluncuran Kajian/Critical Review RUU TNI versi Koalisi Masyarakat Sipil pada Minggu (19/5/2024).
Ikhsan mengatakan, sejauh ini, masyarakat sipil hanya memperoleh dokumen terkait usulan revisi UU TNI yang pernah dibahas di level Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI pada April 2023. Pihaknya menyoroti sejumlah usulan perubahan pasal dalam revisi UU TNI. Usulan perubahan dinilai mencerminkan tidak seiramanya revisi UU TNI dengan agenda reformasi TNI, bahkan cenderung kontradiktif.
Ikhsan menggarisbawahi dua wacana revisi UU TNI, yakni potensi perluasan peran militer pada wilayah sipil melalui peran penambahan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) serta penempatan TNI di dalam jabatan sipil.
Ketika revisi UU TNI memberikan lebih banyak ruang untuk TNI menduduki jabatan di instansi sipil kementerian dan lembaga, hal itu membuat Dwi Fungsi ABRI kembali lagi. Di sisi lain, menempatkan militer di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara juga akan memperlemah profesionalisme militer itu sendiri.
”Misalnya lagi usulan perubahan pada Pasal 7 Ayat 2 mengenai Operasi Militer Selain Perang dengan mengganti diksi membantu menjadi mendukung. Usulan perubahan tersebut juga masih belum memiliki aturan yang detail, seperti batasan ruang lingkup, waktu pelaksanaan, akuntabilitas dan transparansi, dan lainnya,” papar Ikhsan.
Ikhsan khawatir, usulan perubahan tersebut bisa mengakibatkan kekurangan pengawasan DPR melalui mekanisme hubungan kerja pemerintah dan DPR, misalnya, pada rapat konsultasi dan rapat kerja. Padahal, mekanisme ini sangat penting sebagai bagian dari potret kontrol sipil terhadap militer.
”Jika hal-hal demikian dibiarkan dan terjadi pada masa-masa mendatang, potensi yang muncul adalah agenda reformasi TNI akan berjalan mundur,” ujar Ikhsan.
Teo Reffelsen, perwakilan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, menyoroti usulan penambahan usia pensiun TNI terkait Pasal 53 UU TNI. Usulan penambahan pensiun TNI ini tampaknya dipaksakan dan tidak menyelesaikan permasalahan surplus perwira TNI berstatus non-job.
”Penambahan usia pensiun TNI ini justru menjadi beban baru organisasi di TNI. (Hal ini) Karena surplus TNI tidak terselesaikan bahkan akan menambahkan penumpukan di beberapa level jenjang karier serta juga menimbulkan pembengkakan anggaran,” ucap Teo.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al A'raf menambahkan, revisi UU itu akan membuka kotak pandora sebab fungsi TNI akan diperluas seperti pada masa Orde Baru. Masyarakat sipil perlu mengingatkan dan menyadarkan DPR terhadap berbagai dampak bahaya yang ditimbulkan jika UU TNI resmi direvisi.
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Dave Laksono, saat dihubungi membantah adanya rencana pembahasan revisi UU TNI di DPR dalam waktu dekat ini. Menurut dia, belum ada agenda pembahasan mengenai hal tersebut di DPR. ”Belum ada jadwal pembahasannya, ya,” ucap Dave.
Revisi UU Peradilan Militer
Sementara itu, Gina Sabrina dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) menyarankan hal lain ketimbang merevisi UU TNI dengan usulan perubahan yang tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI.
Alih-alih merevisi UU TNI, menurut Gina, adalah lebih baik membangun dan mengakselerasi pembahasan untuk peraturan perundangan lainnya yang selama ini mandek, salah satunya revisi UU Peradilan Militer. Revisi UU Peradilan Militer mendesak dilakukan ketimbang merevisi UU TNI.
”Pemerintah dan anggota DPR harusnya melihat bahwa revisi UU Peradilan Militer itu mendesak dilakukan, karena kita sampai saat ini punya masalah kasus-kasus pelanggaran di luar militer supaya dapat diadili di pengadilan umum,” kata Gina.
Berdasarkan catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), selama periode Oktober 2021-September 2022 terdapat 65 perkara tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI dengan melibatkan 152 terdakwa. Namun, hukuman yang diberikan kepada terdakwa relatif ringan dengan mayoritas vonis hanya berupa penjara dalam hitungan bulan.
”Kita masih ingat kasus korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi sempat jadi polemik karena rebut-rebutan apakah akan dilakukan pengadilan umum atau di pengadilan militer. Akhirnya, kan, diambil oleh pengadilan militer,” tutur Gina.