Prabowo di Antara Jokowi dan Megawati
Keinginan Prabowo merangkul PDI-P bisa jadi terganjal dengan semakin merenggangnya relasi di antara Megawati dan Jokowi.
Pertemuan calon presiden peraih suara terbanyak di Pemilihan Presiden 2024, Prabowo Subianto, dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri tak kunjung terwujud meski kedua belah pihak berulang menyatakan tak ada problem dalam relasi kedua figur itu. Relasi Megawati dengan Presiden Joko Widodo yang kian merenggang ditengarai sebagai batu ganjalan pertemuan.
Di tengah menyeruaknya isu pertemuan Prabowo dan Megawati sejak sekitar dua pekan terakhir, Presiden Joko Widodo bertemu berulang dengan Prabowo. Saat hari pertama Idul Fitri, Rabu (10/4/2024), Prabowo mendapat kesempatan lebih awal di antara para pejabat pembantu Presiden yang bisa bersalaman dan mengucap Idul Fitri pada Presiden, di Istana Negara, Jakarta.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Di hari kedua, Kamis (11/4/2024), di tempat yang sama, Jokowi bahkan mengundang Prabowo sarapan bersama. Jokowi ditemani Ny Iriana Jokowi, serta putranya, Kaesang Pangarep dan istrinya, Erina Gudono sedangkan Prabowo ditemani putranya, Didit Hediprasetyo.
Adapun di kediaman Megawati, di Teuku Umar, Jakarta, Presiden Jokowi tak kunjung terlihat di antara tamu yang hadir meski di Lebaran sebelumnya, Jokowi tak pernah absen di rumah ketua umum partai politik pengusung utamanya di Pilpres 2014 dan 2019 tersebut. Isu akan adanya kunjungan dari Prabowo untuk silaturahmi Idul Fitri sekaligus memupus rivalitas di Pilpres 2024 pun tak terlihat realisasinya. Di Idul Fitri kali ini, Megawati memutuskan membatasi tamu yang hadir dengan hanya membuka pintu bagi para sahabatnya semata.
Baca juga: Akhir Penantian Prabowo Subianto
Khusus Jokowi, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, menyampaikan, pertemuan kembali dengan Megawati sulit terwujud. Ia menyebut saat ini, ada "pagar pembatas" antara Megawati dan Jokowi.
”Diketok pintunya saja susah karena itu hal yang sangat fundamental. Dan ini bukan karena PDI Perjuangan, tetapi ini karena prinsip-prinsip pengkhianatan terhadap konstitusi dan demokrasi yang berkedaulatan rakyat dan tata nilai bangsa,” ujarnya.
Pernyataan Hasto salah satunya merujuk pada adanya pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah persyaratan pencalonan presiden-wakil presiden. Putusan ini melapangkan jalan bagi putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju di Pilpres 2024, berdampingan dengan Prabowo Subianto.
Baca juga: Relasi Jokowi-Megawati Semakin Renggang
Sementara pertemuan antara Megawati dan Prabowo, Hasto kembali menegaskan relasi keduanya selama ini terjalin baik. Maka, pertemuan hingga peluang kerja sama pasca-pilpres tetap terbuka.
Namun, di luar itu, berhembus pula informasi bahwa pertemuan tak kunjung terwujud karena terkait relasi Jokowi dan Megawati yang merenggang. Megawati dan PDI-P belum mau bertemu Prabowo apalagi sampai bergabung dalam gerbong Koalisi Indonesia Maju selama Jokowi memiliki pengaruh dan kendali pada pemerintahan Prabowo-Gibran. Luka akibat Pilpres 2024 yang masih menganga menjadi penyebabnya. Sebaliknya, tidak mudah bagi Prabowo untuk lepas dari Jokowi karena besarnya kontribusi Jokowi dalam kemenangannya.
Terkait hal ini, Hasto hanya mengatakan diskursus di publik saat ini bukan pada persoalan siapa mau bertemu siapa, tetapi bagaimana berbagai tantangan yang dihadapi bangsa saat ini mampu diatasi. Setidaknya ada lima tantangan yang diingatkan PDI-P, yakni persoalan ekonomi, melemahnya kohesi sosial, dampak pemanasan global, pertarungan geopolitik, dan krisis kepemimpinan global.
"Pada saat bersamaan, pemilu yang seharusnya menghadirkan pemimpin yang mumpuni, ternyata legitimasinya rendah akibat penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Jokowi. Publik saat ini juga bertanya, apakah kepimpinan ke depan mampu menghadapi berbagai tantangan bangsa dalam situasi ketika supremasi hukum dan demokrasi telah dirusak oleh ambisi kekuasaan," tambahnya.
Ketidaksepakatan
Sementara politikus Gerindra, Maruarar Sirait, yang baru beberapa waktu lalu bertemu Presiden Jokowi, yakin betul potensi pertemuan hingga kerja sama antara Prabowo dan Megawati, Koalisi Indonesia Maju dan PDI-P, tidak terpengaruh merenggangnya hubungan Jokowi dan Megawati. Jokowi dan Megawati bahkan diklaimnya menjalin hubungan baik meski terdapat ketidaksepakatan di antara keduanya.
”Komunikasi saya pikir baik, apalagi bangsa kita musyawarah. Walaupun dalam pembicaraan output-nya bisa saja sepakat, bisa tak sepakat. Ini hal sangat manusiawi, tapi komunikasi berjalan baik,” ujarnya.
Ia pun menegaskan Jokowi dan Prabowo merupakan sosok independen, mandiri, dan pilihan rakyat. Maruarar membantah Prabowo berada dalam bayang-bayang Jokowi.
"Saya baru bertemu Jokowi dan Prabowo, secara terpisah. Ngobrol cukup lama, Pak Jokowi adalah presiden yang mandiri. Yang dipilih rakyat bukan boneka dari siapa pun, bukan bayang-bayang dari siapa pun. Tentunya Prabowo juga seperti itu,” katanya.
Saat ditanya apakah Prabowo kini tengah bimbang menentukan di antara memilih Jokowi atau Megawati, ia pun membantahnya. Ia berpandangan Prabowo bakal bersikap tegas, sama seperti Presiden Jokowi saat mengajak Prabowo bergabung dalam pemerintahan Jokowi walau ada pihak yang tak setuju. Walaupun begitu, Prabowo memang perlu mendengarkan berbagai masukan, entah itu dari Jokowi, pimpinan parpol, dan kalangan masyarakat.
Baca juga: Panas Dingin Relasi ”Anak Nakal” dan ”Ibu”-nya
Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin pun membantah bila Presiden Jokowi disebut menjadi batu ganjalan pertemuan serta kerja sama di antara Prabowo dan Megawati atau Koalisi Indonesia Maju dan PDI-P. "Semua masih menunggu hasil MK," ujarnya.
Ia pun meminta spekulasi bahwa Prabowo berada di antara tarikan pengaruh Jokowi dan Megawati untuk diabaikan saja. "Abaikan itu semua, insya Allah info dari Bang Ali valid. Validitasnya jangan diragukan," tambahnya.
Kebimbangan Prabowo
Meski demikian, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes melihat ada dua kebimbangan yang dihadapi Prabowo saat ini. Pertama, Prabowo pasti menghitung apakah langkah politiknya untuk membangun komunikasi dengan Megawati akan memengaruhi hubungannya dengan Jokowi.
"Jadi, ketika isu (pertemuan Megawati dan Prabowo) berembus kencang terutama dua sampai tiga hari belakangan, makanya Prabowo sampai dua kali, kan, ketemu Pak Jokowi. Nah, mungkin ini juga, Pak Prabowo betul-betul menghitung apakah langkah-langkah politiknya untuk membangun komunikasi dengan Ibu Mega akan memengaruhi hubungannya dengan Pak Jokowi atau tidak," ujar Arya.
Sebab, bagaimana pun, Prabowo berhutang budi pada Jokowi. Ditambah lagi, Jokowi masih menjabat presiden hingga Oktober mendatang. "Jadi, setidaknya Pak Jokowi masih punya power," katanya.
Kebimbangan kedua Prabowo kemungkinan terkait tarik-ulur di internal Koalisi Indonesia Maju (KIM) dengan potensi bergabungnya anggota baru. Prabowo menyadari gabungan kursi di parlemen dari partai di koalisinya saat ini tidak sampai 50 persen. Jika dihitung, perolehan kursi partai-partai pendukung Prabowo-Gibran di parlemen hanya 48,3 persen. Dengan dukungan yang tidak dominan itu, sangat tidak menguntungkan secara politik bagi pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan.
"Apalagi Gerindra bukan partai pemenang. Perolehan kursinya kalah dengan Golkar. Tak heran, Golkar memasang harga yang mahal. Ini bisa dilihat ketika Golkar sempat minta jatah lima kursi menteri ke Prabowo," kata Arya.
Untuk bisa memastikan kursi di parlemen setidaknya di atas 50 persen, Prabowo bisa saja menarik partai koalisi pendukung capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau Partai Nasdem, yang sudah melempar sinyal kemungkinan bergabung dengan kubu Prabowo-Gibran. Hanya saja, kedua parpol pasti sadar akan kebutuhan Prabowo sehingga bisa saja mereka menuntut jatah menteri yang berlebih.
Tuntutan yang sama mungkin akan diajukan oleh PDI-P. Namun, jika PDI-P berhasil ditarik, kelangsungan jalannya pemerintahan Prabowo bisa lebih dipastikan karena raihan kursi PDI-P di DPR hasil pemilu lalu diperkirakan yang terbanyak di antara delapan parpol yang lolos ambang batas parlemen. Sebagai pemilik kursi terbanyak, PDI-P pun berhak mendudukkan anggotanya sebagai Ketua DPR.
Jika situasi ini dikaitkan dengan relasi Megawati dan Jokowi, Arya meyakini Prabowo akan lebih memilih PDI-P. Sebab, pilihan itu lebih menguntungkan bagi Prabowo untuk mendapatkan dukungan politik yang riil. Lagi pula, setelah Oktober 2024, Jokowi sudah tak lagi menjabat sebagai presiden. "Kalau menggunakan indikator soal kekuatan dukungan politik, tentu di masa depan membangun hubungan dengan partai, dianggap lebih menguntungkan secara politik," tuturnya.
Namun, Arya meyakini, Prabowo juga telah mengungkapkan kebimbangan-kebimbangannya itu ke Jokowi. Prabowo pun harus berusaha meyakinkan Jokowi bahwa merangkul PDI-P merupakan pilihan yang baik demi mengamankan berbagai program unggulannya, yang tak dimungkiri salah satunya adalah program lanjutan Jokowi juga, pembangunan Ibu Kota Nusantara.
"Jadi, pilihan merangkul PDI-P ini tidak hanya bagi Pak Prabowo sendiri tetapi juga bagi Pak Jokowi. Namun, saya kira PDI-P juga akan menghitung seberapa besar peran Jokowi dalam pembentukan kabinet dan pemerintahan ke depan. Bila dianggap terlalu besar, mungkin akan mengurungkan diri untuk bergabung," tegas Arya.
Baca juga: Sudahkah Prabowo Merindukan Nasi Goreng Megawati?
Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan, sependapat dengan Arya. Sebenarnya, saat ini Prabowo lebih berkepentingan dengan Megawati sebagai ketua umum partai yang memiliki jumlah kursi terbanyak. Tinggal bagaimana kini Prabowo dan timnya membangun komunikasi secara intens dengan PDI-P untuk meyakinkan bahwa kepemimpinannya ke depan adalah kepemimpinan Prabowo sebagai presiden yang berdiri di atas kepentingan kelompok atau sektoral.