Panas Dingin Relasi ”Anak Nakal” dan ”Ibu”-nya
Hubungan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo kadang-kadang panas, hangat, dan dingin. Kali ini, sindiran keras disampaikan Megawati. Mungkinkah akan ada ”happy ending”?
”Republik ini penuh dengan pengorbanan, tahu tidak? Mengapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru”.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pernyataan ini disampaikan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam Rapat Koordinasi Nasional Relawan Ganjar-Mahfud di Jakarta Internasional Expo, Jakarta, Senin (27/11/2023). Megawati seakan menyindir Presiden Joko Widodo yang saat ini berkuasa dan dianggapnya sudah menggunakan cara-cara yang tidak benar, mengangkangi hukum dan lembaga seperti rezim Soeharto untuk mempertahankan dan melebarkan ambisi kekuasaannya sejak 1968-1998.
Jokowi memang memilih jalan yang berbeda dengan Megawati dalam Pemilu Presiden 2024. Putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang sebelumnya juga kader PDI-P, memilih menjadi calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Prabowo Subianto. Adapun PDI-P mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD dalam Pemilu Presiden 2024.
Megawati tampak emosional saat menyerukan sindirannya itu. Sebelumnya, dia pun mengatakan sangat jengkel. Padahal, sejak menetapkan dan mengumumkan Mahfud MD, Megawati terlihat tenang-tenang saja, bahkan cenderung dingin. Dan, menurut kalangan di PDI-P, Megawati tidak akan bereaksi, kecuali jika diusik.
Presiden Jokowi memilih tidak menjawab ketika ditanya terkait pernyataan Ketua Umum PDI-P Megawati yang menyebut penguasa saat ini mau bertindak seperti zaman Orde Baru. Namun, Presiden Jokowi, yang ditanya saat doorstop interview (wawancara cegat) di Hutan Kota JIEP Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta, Rabu (29/11/2023), justru merespons saat ditanya soal kritik dari calon presiden Anies Baswedan. Waktu itu, Anies menyebut pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur justru akan menimbulkan ketimpangan baru.
Mengapa Presiden Jokowi enggan menanggapi Megawati? Padahal, selama ini hubungan Megawati-Jokowi dalam PDI-P diibaratkan ibu dan anak. Sementara, dengan Anies, capres yang notabene mengusung gagasan perubahan yang berseberangan dengan pemerintahannya, Jokowi justru memberikan tanggapan spontan.
Baca juga: Megawati Ingatkan Politik Hati Nurani
Selama ini, Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, pada acara konsolidasi pemenangan Pemilu 2024 di Stadion Jatidiri, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada 25 Agustus 2023, misalnya, menyebut kecintaan Ketua Umum PDI-P kepada kader terbaiknya, yakni Presiden Jokowi, tidak akan pernah luntur layaknya seorang ibu kepada anaknya. Bahkan, Puan juga meminta kader-kader ”Banteng” agar tidak memusuhi Jokowi, dan sebaliknya, meminta mendukung setiap kebijakan dan programnya.
Megawati sendiri menunjukkan keakrabannya dengan Presiden Jokowi di Istana berkali-kali. Setelah makan siang bersama dengan menu sayur lodeh khas Istana beberapa waktu lalu, Megawati juga menyempatkan hadir sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saat pengukuhan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Istana negara walaupun beberapa hari sebelumnya Presiden Jokowi intens menunjukkan kedekatan dan keakrabannya dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga disebut-sebut bakal sebagai capres Partai Gerindra.
Mengapa Presiden Jokowi enggan menanggapi Megawati? Padahal, selama ini hubungan Megawati-Jokowi dalam PDI-P diibaratkan ibu dan anak.
”Anak nakal”
Belakangan, seiring dengan memanasnya konstelasi politik menjelang Pemilihan Presiden 2024, pascapenetapan Mahfud MD—yang ketika itu Presiden tengah melakukan kunjungan kerja ke China dan Arab Saudi—hingga kini Jokowi juga belum pernah bertemu dengan Megawati di Istana ataupun dalam kesempatan apa pun.
Megawati yang biasanya hadir pada acara-acara pelantikan pejabat negara belakangan tidak lagi kelihatan sosoknya di Istana Negara, sejak pelantikan Menteri Pertanian Amran Sulaiman hingga pelantikan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada 22 Oktober 2023 dan pelantikan Kepala Staf Angkatan Darat Maruli Simanjuntak pada 29 Oktober 2023.
Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana membantah keretakan hubungan Megawati-Jokowi. ”Ya, baik-baik sajalah, kan tidak ada masalah,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (1/12/2023), saat ditanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Dwipayana pun menyebutkan tiadanya tanggapan Presiden Jokowi karena hal tersebut adalah domain Megawati.
Hubungan Megawati-Jokowi memang naik turun. Adakalanya tampak hangat, kadang-kadang terasa dingin, terkadang bahkan terkesan membara. Jokowi pernah menyebut hubungannya dengan Megawati seperti relasi ibu dan anak.
Dalam sebuah keluarga besar, jelas, kan? Bahwa dalam perjalanan anak, ada yang bandel, ada yang nakal, biasa. Saya bilang wajar, jangan ditarik ke mana-mana.
”Dalam sebuah keluarga besar, jelas, kan? Bahwa dalam perjalanan anak, ada yang bandel, ada yang nakal, biasa. Saya bilang wajar, jangan ditarik ke mana-mana,” tuturnya saat hadir dalam peresmian Masjid At-Taufiq yang dibangun untuk mengenang suami Megawati, Taufiq Kiemas, Jakarta, 8 Juni 2022.
Presiden Jokowi hanya tertawa saat wartawan menanyakan apakah dia tergolong anak yang bandel.
Saat itu, Megawati juga menyebut hubungannya sangat baik dengan Jokowi, bahkan menyebut wartawan senang ”menggoreng” isu hubungannya dengan Jokowi.
”Wartawan itu, kalian semestinya punya kode etik jurnalistik. Saya merasa media sekarang itu tidak lagi mempergunakan hal-hal seperti itu. Jadi ini koreksi. Ada Pak Jokowi, ada Ibu (Iriana), bahwa kami dari dulu adalah kekeluargaan. Istilahnya digoreng-goreng. Menurut saya, jangan kalah dengan wartawan zaman ayah saya. Meski ada perbedaan, tetapi selalu melalui kode etik jurnalistik,” tutur Megawati saat itu.
Saya merasa media sekarang itu tidak lagi mempergunakan hal-hal seperti itu. Jadi ini koreksi. Ada Pak Jokowi, ada Ibu (Iriana), bahwa kami dari dulu adalah kekeluargaan.
Semua telah berubah
Kini memang telah berubah semuanya. Puncak pertentangannya, yaitu ketika Megawati dan Presiden Jokowi akan dipertemukan terlebih dahulu pada Minggu (15/10/2023) atau sehari sebelum Presiden Jokowi berangkat ke China dalam KTT Sabuk dan Jalur (Belt and Road Initiative/BRI Summit), dan kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi, serta Megawati mengumumkan Mahfud MD pada Rabu (18/10/2023) sebagai bakal calon wapres-nya Ganjar. Namun, pertemuan itu batal.
”Tidak jadi dipertemukan, Mas. Ya, sudah tidak ada pertemuan lagi, jalan masing-masing (Ibu Megawati dan Presiden Jokowi) sudah berbeda,” begitu kira-kira seorang staf di Istana bercerita kepada Kompas memberikan alasan. Presiden Jokowi beserta Ibu Negara Iriana Joko Widodo pun berangkat dalam lawatan ke China dan Arab Saudi, Senin (16/10/2023). Tiga hari kemudian memang Megawati mengumumkan Mahfud sebagai bakal cawapres Ganjar.
Tidak jadi dipertemukan, Mas. Ya, sudah tidak ada pertemuan lagi, jalan masing-masing (Ibu Megawati dan Presiden Jokowi) sudah berbeda.
Esoknya, tatkala ditanya, seorang staf pejabat di Istana kepada Kompas menjawab, ”Banyak faktor mengapa begitu. Di antaranya, kebencian kedua keluarga itu.” Keluarga Jokowi menganggap atribusi Jokowi sebagai ”petugas partai” menunjukkan terlalu remehnya dan sebuah penghinaan terhadap Jokowi karena seperti harus membalas jasa dan kebaikan PDI-P serta Ibu Megawati yang tak habis-habisnya.
Baca juga: Jokowi, di Antara Wacana Pimpin PDI-P dan Pilihan Pulang Kampung
Sebaliknya, keluarga Megawati menganggap Jokowi dan keluarganya sebagai sosok dan keluarga yang tidak tahu diuntung, tidak balas budi dan berterima kasih karena sudah dipilih dan diperjuangkan menjadi presiden dua periode, dua periode wali kota Surakarta dan sekali gubernur DKI. Bahkan, putranya, Gibran, mendapat rekomendasi dan diperjuangkan oleh PDI-P sebagai Wali Kota Surakarta. Demikian juga menantunya, Bobby Nasution, yang telah diperjuangkan oleh PDI-P sebagai Wali Kota Medan, Sumatera Utara.
Memang ada faktor lainnya, yang belakangan marak dan menjadi viral disebut-sebut tentang peranan dan dominasi Ibu Iriana. Namun, ketika dikonfirmasi, tak ada satu pun sumber Istana yang mau menjelaskan dan mengonfirmasi.
Terkait dengan capres Ganjar, awal ketidaksukaan Presiden Jokowi terhadap Ibu Megawati adalah ketika Presiden Jokowi tidak diajak berbicara saat akan menetapkan Ganjar sebagai bakal capres sehari sebelum Idul Fitri, 21 April 2023, di Rumah Batutulis, Bogor, Jawa Barat.
”Presiden Jokowi awalnya tidak mau datang. Selain waktu itu di Solo, Presiden juga merasa tidak diajak bicara oleh Ibu Megawati dan PDI-P. Kalau tidak dirayu dan dijelaskan oleh seorang menteri asal PDI-P, Presiden Jokowi tidak mau datang ke Batu Tulis,” ungkap staf di Istana itu. Seorang staf yang dikonfirmasi membenarkan bahwa Presiden Jokowi semula memang tidak mau datang. Hingga akhirnya sang menterinya yang menunggu saat Presiden tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dan menemaninya shalat Jumat di Istana Bogor, sebelum ke Batu Tulis.
Kompas mencatat beberapa masalah terkait relasi Megawati dengan Presiden Jokowi seperti yang pernah diceritakan seorang pejabat tinggi yang banyak mengenal Jokowi selama 2014-2019. Setelah menang Pilpres 2014, Megawati menyampaikan delapan nama calon menteri, tetapi hanya lima yang dipakai oleh Jokowi.
Daripada di awal pemerintahan sudah berkelahi dengan Ibu Mega dan partai yang mengusung dan mendukung serta memperjuangkan kita, akan lebih baik kalau kita lepaskan saja sang tokoh.
”Waktu itu juga Pak Jokowi akan mengangkat seorang kader muda PDI-P sebagai calon menteri dan sudah diberikan baju putih. Tetapi, satu jam sebelum pengumuman, kader muda itu diganti. Awalnya Pak Jokowi bersikeras akan mengangkat kader muda PDI-P, tetapi tidak diusulkan oleh Bu Mega. Mbak Puan Maharani bahkan sempat mengancam mundur sebagai menteri semua kader PDI-P jika Pak Jokowi tetap akan mengangkat kader muda itu,” kata sang pejabat itu.
Akhirnya Jokowi mengikuti kehendak Megawati dan mencoret kader muda PDI-P. ”Daripada di awal pemerintahan sudah berkelahi dengan Ibu Mega dan partai yang mengusung dan mendukung serta memperjuangkan kita, akan lebih baik kalau kita lepaskan saja kader muda itu,” kata sang mantan pejabat itu.
Persoalan lainnya ketika Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno yang sudah tidak disukai oleh PDI-P dan diminta ditarik dari kabinet karena ada masalah di PDI-P, tetapi tetap terus dipertahankan oleh Presiden Jokowi. ”Ini gimana Pak Jokowi, kita sudah minta ditarik lama dari kabinet, tetapi masih terus dipertahankan sebagai menteri. Ada apa?” ujar Ibu Megawati seperti ditirukan seorang narasumber Kompas di Istana.
Berseberangan secara politik
Saat dimintai pandangan mengenai relasi Jokowi-Megawati, Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo, Kamis (30/11/2023), berpendapat, hal tersebut disebabkan keduanya sudah berseberangan secara politik. ”Pak Jokowi memang tidak secara eksplisit mendukung pasangan nomor urut 02, tetapi posisi Gibran mengafirmasi secara total posisi itu. Sebenarnya ketika, misalnya, Pak Jokowi masih bisa dibaca netral posisinya, mungkin lebih baik,” ujarnya.
Kedua, menurut Ari, Megawati pun keras dalam menyikapi pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), sementara Jokowi terkesan mendiamkan perihal tersebut. ”(Hal) Yang ketiga, proses penguatan kekuasaan yang memusat sekali kepada presiden di isu-isu terkait tahapan pemilu, terutama pilpres, itu yang membuat Mega menyebut seperti Orde Baru karena memang kekuasaan eksekutif sekarang begitu kuat,” katanya.
Saya pikir, belum pernah Bu Mega semarah ini, bahkan ketika dibandingkan seperti ketika dia berteriak di Pemilu 1999, di era reformasi. Belum pernah ada preseden Bu Mega semarah ini.
Dalam kajian ilmu politik, Ari melanjutkan, hal ini dapat diistilahkan dengan executive takeovers. (Hal-hal) ini yang kemudian membuat Mega sangat marah. ”Saya pikir, belum pernah Bu Mega semarah ini, bahkan ketika dibandingkan seperti ketika dia berteriak di Pemilu 1999, di era reformasi. Belum pernah ada preseden Bu Mega semarah ini,” ujarnya.
Pada masa reformasi kala itu Megawati berhadapan dengan kekuasaan Orde Baru. ”Saat ini Mega lebih marah karena dia berhadapan dengan anaknya sendiri. Jadi, Pak Jokowi, kan, posisinya adalah kader sendiri, orang yang dibesarkan oleh PDI-P. Walaupun memang ada faktor Jokowi yang dominan, tapi saham PDI-P juga menentukan,” kata Ari.
Kemarahan hebat dari Megawati yang sampai memilih diksi ”seperti Orde Baru” ini, dinilai Ari, juga merupakan semacam otokritik karena, apa pun, Jokowi adalah bagian dari PDI-P. Jadi, PDI-P mengalami kekecewaan ganda. Di satu sisi Jokowi kader atau sering dibahasakan petugas partai, tetapi di sisi lain secara obyektif berposisi di luar garis partai.
Baca juga: Jokowi Bantah Kritik Anies Soal IKN
Menurut Ari, hal yang juga menarik dicermati adalah perbedaan respons Jokowi terhadap pernyataan Megawati soal Orde Baru dengan serangan Anies Baswedan terhadap Ibu Kota Nusantara. Jokowi tidak mau berkomentar terhadap pernyataan Megawati, tetapi dia menanggapi serangan Anies.
”Posisi Bu Mega sebenarnya lebih keras dalam menyerang posisi eksistensialis Jokowi, tapi Jokowi-nya diam. Mas Anies, kan, juga menyerang soal IKN. PKS yang mengusung paslon 01 tidak sepakat dengan IKN. Dan, terhadap serangan Anies ini, Jokowi menjawab dengan panjang kali lebar,” katanya.
Terkait sikap Jokowi yang tidak mau berkomentar terhadap pernyataan Megawati, Ari menuturkan, barangkali di hati kecil Jokowi masih bagian dari PDI-P. Dimungkinkan ada keseganan di sana. ”Mungkin Pak Jokowi juga sedikit becermin memang dalam posisinya, Bu Mega pantas kesal dan marah. Pak Jokowi cukup tahu dirilah,” katanya.
Namun, menurut Ari, dalam posisi diamnya itu boleh jadi Jokowi sebenarnya juga menanggapi. ”Dalam perspektif Jawa, diam itu juga merupakan counter (tanggapan balik) serangan yang paling keras,” katanya.
Tapi, dengan Bu Mega, Jokowi tidak meng-counter, dia mengafirmasi bahwa yang dikatakan Bu Mega itu, ya, dia sekarang dalam posisi itu.
Respons Jokowi pun dapat ditafsir dari sudut pandang lain. Berhadapan dengan Anies, Jokowi menanggapi karena merasa punya perbedaan perspektif soal IKN. ”Tapi, dengan Bu Mega, Jokowi tidak meng-counter, dia mengafirmasi bahwa yang dikatakan Bu Mega itu, ya, dia sekarang dalam posisi itu (berkuasa),” ujarnya.
Airlangga Pribadi, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, menilai, perselisihan politik ini sudah muncul sejak isu tiga periode muncul dan PDI-P menolaknya. ”Jadi, ketegangan politik Jokowi-Megawati adalah imbas dari usaha Jokowi mengakumulasi dan melanggengkan kekuasaan versus penolakan Megawati,” ujarnya.
Hubungan keduanya sempat menegang kembali saat pengumuman pencalonan Ganjar Pranowo sebagai capres dari PDI-P di Rumah Batu Tulis, Bogor, 21 April 2023. Kini, setelah Gibran dicalonkan partai politik selain PDI-P, melalui putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi, ditambah beberapa kantor PDI-P didatangi polisi, hubungan keduanya dinilai semakin memanas dan sulit merekatkannya kembali.
Sejarah dari Soekarno
Panas dingin hubungan para politisi sesungguhnya telah terjadi dari masa ke masa. Presiden Soekarno pun beberapa kali tak sependapat dengan rekan-rekannya seperti Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir. Namun, hubungan mereka sebagai sahabat tak lekang.
Jadi, dulu, bisa saja terjadi gontok-gontokan dalam argumen, tetapi tetap bisa membangun hubungan dengan baik.
Airlangga menilai, pada masa awal kemerdekaan, perselisihan politik terjadi karena perbedaan ideologi dan pemikiran. Tapi, semua tetap saling menghormati satu sama lain. Soekarno, Hatta, dan Syahrir bisa saja berbeda gagasan, tetapi masing-masing memiliki komitmen untuk membangun Indonesia. Karena itu, semua tetap saling menghormati dan menghargai secara personal.
”Jadi, dulu, bisa saja terjadi gontok-gontokan dalam argumen, tetapi tetap bisa membangun hubungan dengan baik,” katanya.
Baca juga: Megawati Perintahkan Kadernya Mundur jika Tak Patuh Menangkan PDI-P dan Ganjar
Sekarang ini, menurut Airlangga, persengketaan politik berangkat dari kepentingan material dan kekuasaan, bukan karena perbedaan gagasan. ”Tidak ada adu gagasan untuk membangun Indonesia ke depan yang menjadi landasan dalam persengketaan politik saat ini. Karena itu, sangat sulit merekatkan kembali hubungan (yang retak),” ujarnya.
Kendati demikian, politik sangat dinamis. Kepentingan yang sama bisa saja menjadi hal yang menyatukan. Buktinya, tak ada koalisi yang ideologis di Indonesia. Semua partai politik bisa berkoalisi dengan partai mana pun secara cair. Jokowi pun sudah menunjukkan, bisa saja bertarung dengan Prabowo Subianto dalam dua pemilu presiden dan kemudian merangkulnya dalam Kabinet Indonesia Maju.
Namun, mungkinkah itu terjadi pada Megawati dan Jokowi? Harapan besarnya tentu iya. Tetapi, rasanya tidak. Pengkhianatan tak bisa diganti dengan sekadar kata maaf sesaat saja, begitu kata kader-kader banteng.