Sudah Lima Jam Sandra Dewi Diperiksa, Apa yang Didalami Penyidik?
Penyidik Kejagung menjerat Harvey Moeis, suami Sandra Dewi, dengan pasal pencucian uang selain pasal dugaan korupsi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sudah lima jam berlalu, penyidik Kejaksaan Agung belum juga tuntas memeriksa pesohor Sandra Dewi. Dalam pemeriksaan terhadap istri dari Harvey Moeis, tersangka korupsi penambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah Tbk 2015-2022, itu, penyidik salah satunya mengklarifikasi kepemilikan sejumlah rekening milik Harvey.
Sandra Dewi tiba di gedung Kejagung, Jakarta, Kamis (4/4/2024) pukul 09.25. Hingga kini, pemeriksaan belum usai. Belum terlihat Sandra ataupun pengacaranya meninggalkan gedung Kejagung.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Kuntadi, dalam keterangan pers, Kamis, mengatakan, penyidik memeriksa Sandra untuk meneliti sejumlah rekening milik Harvey. Sebelumnya, penyidik telah memblokir sejumlah rekening yang diduga terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Harvey.
”Pemeriksaan (SD) dalam rangka memilah yang mana diduga ada kaitannya dengan saudara HM dan yang mana yang tidak terkait sehingga diharapkan kita tidak melakukan tindakan kesalahan dalam penyitaan. Urgensinya hanya sebatas itu,” kata Kuntadi.
Namun, Kuntadi enggan menyebutkan nominal uang dalam setiap rekening tersebut.
Kuntadi juga menolak merinci status dua mobil mewah yang sebelumnya disita dari kediaman Harvey di apartemen The Pakubuwono House, Jakarta. Beberapa waktu lalu, penyidik menyita dua mobil mewah, yakni satu mobil Mini Cooper S Countryman F60 berwarna merah dan satu mobil Rolls-Royce berwarna hitam. Selain itu, penyidik menyita barang bukti elektronik, kumpulan dokumen terkait kasus, serta sejumlah barang lainnya.
Terhadap Harvey, Kuntadi memastikan, penyidik akan menjeratnya dengan pasal tindak pidana pencucian uang selain dugaan korupsi.
Hingga saat ini, pihaknya masih terus menelusuri aset yang diduga terkait dengan kasus korupsi penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah. Tidak tertutup kemungkinan penyidik akan menyita aset lainnya. ”Tergantung nanti hasil penelusuran aset. Kan, kita tidak hanya terfokus pada saudara SD (Sandra Dewi), kan, tersangka ada banyak. Semua kita telusuri,” kata Kuntadi.
Harvey ditetapkan menjadi tersangka kasus timah pada Rabu (27/3/2024) malam. Harvey merupakan tersangka ke-16 dalam perkara yang merugikan negara hingga Rp 271 triliun tersebut.
Seusai penetapan Harvey sebagai tersangka, Kuntadi menyampaikan bahwa suami Sandra Dewi itu merupakan perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin (RBT) untuk mengakomodasi tambang ilegal di lahan milik PT Timah Tbk.
Tahun 2018-2019, Harvey diduga menghubungi Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT) alias Riza selaku Direktur Utama PT Timah Tbk (2016-2021), tersangka lain dalam kasus korupsi timah tersebut, dengan maksud mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk. Dari komunikasi itu, Harvey dan Riza beberapa kali bertemu. Keduanya kemudian sepakat untuk bekerja sama dalam kegiatan penambangan ilegal yang dibungkus dengan sewa-menyewa peralatan pemrosesan timah.
Harvey juga diduga meminta sejumlah perusahaan pengelolaan timah untuk menyetorkan sebagian keuntungan dari kegiatan penambangan timah ilegal dengan dalih sebagai pembayaran dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dana tersebut dikirim melalui PT Quantum Skyline Exchange (QSE). Adapun Manajer PT QSE Helena Lim telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (26/3/2024). Demikian pula Riza juga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Sejak penyidikan kasus dugaan korupsi tata kelola timah dimulai Kejagung pada Oktober 2023, total sudah ada 16 tersangka, baik dari pihak swasta maupun PT Timah, dalam kasus ini.
Salah satu saksi ahli penyidik, akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, yang diwawancarai Kompas, memaparkan, kasus timah sepanjang 2015-2022 telah menyebabkan kerugian Rp 271.069.688.018.700.
Jumlah itu terdiri dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157.832.395.501.025, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5.257.249.726.025. Selain itu, ada pula kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp 47.703.441.991.650.