Jaksa Sita Rolls-Royce dan Mini Cooper dari Kediaman Harvey Moeis Terkait Aliran Dana Korupsi PT Timah
Penyidik diharapkan membongkar para pihak yang turut menerima aliran uang dari kasus timah, terutama pemilik manfaat.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik telah menyita dua mobil mewah dari kediaman Harvey Moeis di apartemen The Pakubuwono, Jakarta. Kendaraan mewah tersebut diduga hanya sebagian kecil harta yang dikumpulkan dari kegiatan penambangan ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan atau IUP PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Penyidik menggeledah kediaman Harvey yang berlokasi di apartemen The Pakubuwono, Jakarta Selatan, Senin (1/4/2024). Di sana, penyidik menyita dua mobil mewah, yakni satu mobil Mini Cooper S Countryman F 60 berwarna merah dan satu mobil Rolls-Royce berwarna hitam.
”Kegiatan penggeledahan dan penyitaan dilakukan oleh Tim Penyidik untuk menindaklanjuti kesesuaian hasil dari pemeriksaan/keterangan para tersangka dan saksi mengenai aliran dana yang diduga berasal dari beberapa perusahaan yang terkait dengan kegiatan tata niaga timah ilegal,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Selasa (2/1/2024).
Selain dua mobil mewah, dari rumah suami aktris Sandra Dewi tersebut, penyidik juga menyita barang bukti elektronik, kumpulan dokumen terkait kasus, serta sejumlah barang lainnya. Hingga saat ini, penyidik masih melakukan verifikasi terhadap keaslian barang tersebut. Ketut memastikan penyidik akan menggali fakta baru beserta barang bukti untuk mengungkap kasus tersebut.
Sebelumnya, ketika menggeledah rumah Helena Lim, tersangka lain dalam kasus Timah, di kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, penyidik menyita uang sebesar Rp 10 miliar dan 2 juta dollar Singapura.
Selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin, Harvey Moeis diduga telah mengumpulkan uang dari beberapa perusahaan yang ikut dalam kegiatan penambangan ilegal. Uang itu dikelola melalui perusahaan tempat Helena Lim bekerja, PT Quantum Skyline Exchange, dengan dalih dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Kuntadi mengungkapkan, dalam mendalami setiap perkara korupsi, penyidik Kejagung juga selalu menelisik kemungkinan adanya tindak pidana pencucian uang. Hal itu disebutnya sudah menjadi prosedur tetap penyidik Kejagung.
Sudah seharusnya diterapkan tindak pidana pencucian uang karena kesan mereka bermewah-mewahan ternyata diduga dari hasil korupsi.
Terkait dengan harta benda atau aset yang disita, lanjut Kuntadi, penyidik masih terus menelusuri. Jika penyidik menemukan adanya keterkaitan suatu aset dengan kasus tersebut atau merupakan hasil kejahatan, aset tersebut akan disita penyidik. ”Terkait dengan keuntungan (yang diterima tersangka), masih dalam proses penelusuran kami,” ujarnya.
Pencucian uang
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman berpandangan, dalam melakukan penyitaan, penyidik diharapkan juga menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang. Sebab, diduga mereka tidak hanya membeli aset yang ditemukan penyidik, tetapi juga membeli aset-aset lain yang kini telah dijual kembali.
”Sudah seharusnya diterapkan tindak pidana pencucian uang karena kesan mereka bermewah-mewahan ternyata diduga dari hasil korupsi,” kata Boyamin.
Dengan menerapkan pasal pencucian uang, menurut Boyamin, penyidik diharapkan dapat lebih jauh membongkar para pihak yang diduga turut menerima aliran uang. Para pihak itu tidak hanya mereka yang turut serta menikmati, tetapi juga pihak yang paling menikmati keuntungan, terutama pemilik manfaat (beneficial owner).
”Dengan diterapkannya pasal pencucian uang, kan, semakin banyak yang bisa disita. Dan, itu memaksimalkan pengembalian kerugian negara,” ujarnya.
Kongkalikong
Secara terpisah, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Yuris Reza Kurniawan, berpandangan, kasus dugaan korupsi penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk 2015-2022 tersebut bukan kasus biasa. Selain kerugian perekonomian negara yang besar, kasus itu sekaligus memperlihatkan praktik jahat berupa kongkalikong antara perusahaan negara dan para pebisnis tambang ilegal.
Sebab, di satu sisi, penambangan ilegal sudah merupakan kejahatan atau perbuatan melanggar hukum. Sementara dalam kasus ini diperlihatkan, pihak pelanggar hukum itu justru difasilitasi atau bahkan dijadikan rekanan oleh badan usaha milik negara (BUMN).
”Apalagi, ketika praktik seperti ini terjadi selama bertahun-tahun. Tentu publik perlu mempertanyakan proses pengawasan dan penindakan terhadap sektor pertambangan,” kata Yuris.
Oleh karena itu, lanjut Yuris, penyidik Kejagung diharapkan juga mengungkap persoalan pembiaran suatu pelanggaran hukum yang terjadi dalam kurun waktu yang lama tersebut. Jika ditemukan adanya bukti yang mengarah pada persekongkolan antara aparat pemerintah dan aparat penegak hukum, diharapkan penyidik tidak segan menyeret para pihak yang terlibat.
Menurut Yuris, Kejaksaan Agung memiliki kemampuan untuk mengusut hal itu. Sebab, dari banyaknya pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni 16 orang, Kejaksaan Agung seharusnya memiliki peluang yang cukup untuk menggali keterkaitan pihak lain.
Harvey Moeis merupakan tersangka ke-16 dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di tambang milik PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Dugaan korupsi itu mengakibatkan negara mengalami kerugian hingga Rp 271 triliun. Jumlah itu terdiri dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157,8 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,27 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5,25 triliun. Selain itu, ada pula kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp 47,7 triliun. Sejauh ini, Kejagung telah menetapkan 15 tersangka lain selain Harvey Moeis.