Sidang PHPU, Tim Ganjar-Mahfud Ungkap Nepotisme dalam Pemenangan Prabowo-Gibran
Tim Ganjar-Mahfud mengungkapkan, ada tiga bentuk nepotisme yang dilakukan Jokowi untuk memenangkan Prabowo-Gibran.
Oleh
IQBAL BASYARI, SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim hukum Ganjar Pranowo-Mahfud MD mengungkapkan dugaan nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan secara terkoordinasi oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden satu putaran. Karena itu, Komisi Pemilihan Umum seharusnya tidak menghitung suara calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2 tersebut.
Dalam sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (27/3/2024), tim hukum Ganjar-Mahfud meminta MK membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 360 Tahun 2024 tentang Hasil Penetapan Pemilihan Umum secara Nasional tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang mengenai Pilpres 2024.
Tim hukum Ganjar-Mahfud juga meminta MK mendiskualifikasi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka selaku pasangan calon peserta Pilpres 2024. Bukan hanya itu, tim Ganjar-Mahfud juga meminta MK memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang dengan hanya mengikutsertakan dua pasangan calon, yakni Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar-Mahfud di semua tempat pemutaran suara (TPS) di seluruh Indonesia selambat-lambatnya tanggal 26 Juni 2024.
”Nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 2 dalam satu putaran memiliki dampak yang sangat luas karena menimbulkan abuse of power yang terkoordinasi yang dilakukan oleh seluruh instrumen kekuasaan,” kata Todung Mulya Lubis, salah satu kuasa hukum Ganjar-Mahfud dalam sidang dengan agenda pembacaan permohonan.
Sidang yang dihadiri capres dan cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, itu dipimpin Ketua MK Suhartoyo. Ganjar-Mahfud didampingi 12 kuasa hukum, di antaranya Todung Mulya Lubis dan Maqdir Ismail.
Sidang sengketa pemilihan presiden tersebut juga dihadiri jajaran pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU), yaitu Ketua KPU Hasyim Asy’ari serta anggota KPU, August Melaz, Mochammad Afifuddin, dan Betty Epsilon Idroos, didampingi para kuasa hukum.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja serta anggota Bawaslu, Totok Hariyono dan Lolly Suhenty, sebagai pemberi keterangan, juga hadir dalam sidang.
Adapun pihak terkait dalam perkara tersebut, yaitu pasangan Prabowo-Gibran, diwakili tim kuasa hukumnya. Mereka, antara lain, Yusril Ihza Mahendra, Otto Hasibuan, Hotman Paris, Fahri Bachmid, OC Kaligis, dan Rivai Kusumanegara.
Kuasa hukum Ganjar-Mahfud lainnya, Annisa Ismail, mengatakan, penghitungan suara yang dilakukan KPU keliru. Sebab, pasangan Prabowo-Gibran seharusnya tidak mendapatkan suara sama sekali karena telah melanggar asas-asas pelaksanaan pemilu. Pasangan capres-cawapres nomor urut 2 tersebut juga dinilai telah melakukan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) serta melanggar prosedur pemilu.
Nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo untuk memenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 2 dalam satu putaran memiliki dampak yang sangat luas karena menimbulkan abuse of power yang terkoordinasi yang dilakukan oleh seluruh instrumen kekuasaan.
Nepotisme
Bentuk pelanggaran yang bersifat TSM adalah nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo yang kemudian melahirkan penyalahgunaan kekuasaan secara terkoordinasi. Tindakan-tindakan itu bertujuan untuk memenangkan pasangan calon nomor urut 2 dalam satu putaran pemilihan. Adapun pelanggaran prosedur pemilu yang dipersoalkan adalah pelanggaran yang terjadi sebelum, pada saat, dan setelah penyelenggaraan Pilpres 2024.
Lebih jauh, lanjut Annisa, nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dapat diklasifikasikan menjadi tiga skema. Pertama, nepotisme yang dilakukan guna memastikan Gibran memiliki dasar untuk maju sebagai kontestan dalam Pilpres 2024. Kemudian keikutsertaan mantan Hakim MK yang juga paman Gibran, Anwar Usman, dalam perkara Nomor 90 Tahun 2023. Berlanjut dengan putusan MK tersebut digunakannya KPU untuk menerima pendaftaran Gibran.
Kedua, nepotisme yang dilakukan guna menyiapkan jaringan yang diperlukan untuk mengatur jalannya Pilpres 2024. Dimulai dengan penunjukan orang-orang dekat Presiden Jokowi untuk memegang jabatan penting sehubungan dengan pelaksanaan Pilpres 2024, khususnya ratusan penjabat kepala daerah.
Adapun bentuk nepotisme yang ketiga adalah nepotisme yang dilakukan untuk memastikan agar Prabowo-Gibran memenangkan Pilpres 2024 dalam satu putaran. Hal itu dilakukan dengan berbagai cara, antara lain, mengadakan pertemuan-pertemuan dengan pejabat dari pemerintah pusat hingga pemerintah desa yang dikombinasikan dengan politisasi bantuan sosial.
Kuasa hukum Ganjar-Mahfud, Sangun Ragahdo Yosodiningrat, menambahkan, koreksi yang paling sesuai adalah dengan menggagalkan tujuan yang ingin dicapai Presiden Jokowi, yakni mencoret atau mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 2 dari daftar peserta Pilpres 2024. Sebab, dampak dari nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan terkoordinasi oleh Presiden Jokowi hanya akan terhenti dengan mendiskualifikasi Prabowo-Gibran.
”Diskualifikasi menjadi satu-satunya cara terbaik untuk menghilangkan dampak negatif dari nepotisme dan abuse of power terkoordinasi oleh Presiden Joko Widodo,” ujarnya.