Media sosial kian menancapkan pengaruhnya dalam politik pemilu di Indonesia. Perlu pengaturan dan pengawasan lebih baik.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·3 menit baca
Pemilu 2024 sudah berlalu. Meski konklusi finalnya masih harus menunggu proses gugatan di Mahkamah Konstitusi, satu kesimpulan yang bisa segera ditarik adalah peran media sosial yang kian dominan dalam perhelatan akbar politik ini.
Penggunaan media sosial sebagai wahana bagi para calon dan partai politik berkampanye bukanlah hal baru. Setidaknya hal itu sudah terasa sejak Pemilu Presiden 2014, berbarengan dengan perkembangan medsos di Indonesia. Namun, kecenderungan dari pemilu ke pemilu menunjukkan kian masifnya peran medium ini.
Pada Pemilu 2024, lini masa sudah didominasi iklan taupun konten-konten berbau politik sejak berbulan-bulan sebelum hari pencoblosan pada 14 Februari. Facebook, Instagram, Tiktok, X (dulu Twitter), Youtube, hingga grup Whatsapp keluarga tak luput dari kehadiran konten semacam ini.
Konten-konten tersebut bukan hanya diciptakan oleh tim sukses atau pihak-pihak yang berkaitan dengan calon, melainkan juga oleh warganet sendiri secara sukarela. Rasanya nyaris mustahil jika ada warganet yang tak terpapar konten politik sepanjang masa kampanye pemilu lalu.
Kemampuan medsos dalam menjangkau pemilih secara luas membuatnya sangat strategis bagi politisi. Kemenangan pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pun disebut-sebut banyak pihak tak terlepas dari peran medsos.
Dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arga Pribadi Imawan, meyakini, dalam pemilu-pemilu berikutnya, peran medsos akan makin dominan sebagai sarana kampanye. Arga mendalami kajian demokrasi di era digital.
”Apalagi, pengguna medsos di Indonesia termasuk yang besar di dunia,” ujar Arga dalam diskusi Pojok Bulaksumur di Kampus UGM, Yogyakarta, Jumat (22/3/2024) sore.
Data We are Social pun memperkuat pandangan tersebut. We are Social adalah perusahaan internasional penyedia layanan manajemen media sosial.
Kampanye efektif
Berdasarkan laporan We are Social per Januari 2024, pengguna aktif medsos di Indonesia mencapai 49,9 persen populasi. Adapun rata-rata waktu yang dihabiskan orang untuk medsos di Indonesia adalah 3 jam 11 menit per hari. Angka ini jauh di atas rata-rata global yang hanya 2 jam 23 menit.
Survei Litbang Kompas periode 29 November-4 Desember 2023 juga menunjukkan tingginya penggunaan medsos oleh masyarakat untuk mengakses informasi pemilu.
Sebanyak 29,4 persen responden mengatakan mengakses medsos untuk melihat atau membaca konten terkait pemilu paling tidak beberapa kali dalam seminggu. Adapun 11 persen responden lain menyatakan mengonsumsi konten pemilu di medsos setidaknya sekali dalam sehari.
Dalam konteks medsos, politik bekerja dalam ranah bahasa dan visual untuk menarik pemilih.
Selain menjadi rujukan dalam mencari informasi, konsumsi konten di medsos juga bisa memengaruhi pilihan masyarakat. Secara umum, sekitar sepertiga dari masyarakat mengaku informasi yang mereka dapatkan melalui medsos menjadi rujukan dalam menentukan pilihan, bahkan mengubah pilihan mereka (Kompas.id, 14/12/2023).
Lebih jauh, Arga menjelaskan, memfokuskan kampanye di medsos akan sangat efektif bagi calon untuk memengaruhi orang lain secara langsung ataupun tak langsung. ”Dalam konteks medsos, politik bekerja dalam ranah bahasa dan visual untuk menarik pemilih,” ucapnya.
Bahasa dan visual adalah kunci dalam memenangi hati pemilih di medsos. Menurut Arga, pemilihan bahasa yang membumi dengan diiringi visual yang ciamik akan mampu menarik perhatian warga.
Apalagi, dia menambahkan, dalam konteks pilpres, tren sejak 2004 hingga 2024 menunjukkan, mayoritas perilaku pemilih mengedepankan aspek psikologis calon ketimbang aspek sosiologis dan ekonomisnya. Artinya, sosok dan pengalaman calon lebih berdampak pada pemilih ketimbang program-programnya.
Pengaturan ketat
Medsos juga memudahkan bagi calon dan parpol karena fitur-fiturnya memungkinkan mereka berkampanye secara otomatis. Satu unggahan konten dapat terdistribusi dan digandakan oleh akun-akun lain sehingga makin mudah tersebar.
Mengingat kian besarnya peran medsos dalam kampanye politik ke depan, Arga pun mendorong penyelenggara pemilu untuk mengaturnya secara lebih detail dan ketat. Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dinilainya kurang memberi porsi pada hal tersebut.
Pasalnya, konten politik yang beredar di medsos juga banyak yang bersifat merusak, misalnya hoaks, disinformasi, hingga unggahan yang mendiskreditkan calon lain. Hal-hal ini rentan memunculkan konflik horizontal di masyarakat.
Dalam aspek lain, diperlukan pula transparansi terkait pendanaan kampanye melalui medsos. Soal ini, dosen Ekonomi UGM yang mendalami akuntansi forensik, Rijadh Djatu Winardi, juga berharap ada pengaturan lebih jauh.
Menurut dia, format pelaporan dana kampanye seperti sekarang tak rinci, hanya berisi agregat pendapatan dan pengeluaran. ”Hal ini membuat publik susah mencermati pengeluaran-pengeluaran tertentu, termasuk dana yang dihabiskan untuk kampanye di medsos,” katanya.
Pengaturan dan pengawasan yang lebih kuat menjadi kunci agar medsos tak menjadi bumerang bagi demokrasi kita.