logo Kompas.id
EkonomiKonten Kampanye Politik di...
Iklan

Konten Kampanye Politik di Media Sosial Lebih Kaya Visual

Produksi konten dan belanja iklan politik media sosial diprediksi makin meningkat secara biaya dan penyajian visualnya.

Oleh
ERIKA KURNIA
· 5 menit baca

Sejumlah produk video kampanye yang dijadikan sebagai bahan promosi jasa desain Signpro.id di media sosial Instagram.
KOMPAS/FABIO MARIA LOPES COSTA

Sejumlah produk video kampanye yang dijadikan sebagai bahan promosi jasa desain Signpro.id di media sosial Instagram.

Konten bernuansa politik di media sosial semakin masif jelang Pemilu 2024. Tidak hanya lewat konten yang diunggah secara gratis oleh para peserta pemilu dan simpatisannya, informasi oleh influencer (pemengaruh) pembuat konten, buzzer (pendengung), dan iklan kampanye berbayar juga wara-wiri di layar gawai kita.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Hal ini menunggangi tren penggunaan media sosial oleh sekitar 167 juta pengguna atau sekitar 60,4 persen total populasi Indonesia, menurut data We Are Social di awal 2023. Para pengguna media sosial ini yang kemudian menjadikan platform media tersebut sebagai sumber penerimaan informasi politik, termasuk kampanye pemilu.

Survei Kompas pada 1.200 responden di 38 provinsi, Mei 2023, menunjukkan bahwa 42,3 persen responden sering mengakses media sosial untuk memperoleh informasi politik, termasuk berita tentang capres. Menyusul kanal televisi (41,1 persen), portal media daring (9 persen), dan radio (2 persen).

Pengguna media sosial mendapat beragam bentuk informasi dan kampanye digital dalam berbagai kesempatan dan cara. Ina Fairina (28) yang kerap menggunakan X dan Instagram mengaku sering mendapati konten dalam bentuk video singkat dan gambar-gambar yang menjadi ”lapak” diskusi netizen tanpa dicari.

”Biasanya konten-konten politik itu ramai setelah ada acara itu atau kalau lagi ada isu viral terkait tokoh politik,” kata karyawan swasta di Jakarta itu, Kamis (1/2/2024).

Sementara itu, wirausaha dan ibu rumah tangga, seperti Sherly S (42), sering memanfaatkan kolom pencarian di media sosial Youtube dan Facebook untuk mendapatkan informasi terkait isu-isu politik dan pemilu. Namun, belakangan, ia juga termakan konten kampanye yang lewat di beranda akun media sosialnya. ”Sering kali, saya nonton video yang bikin penasaran, tetapi ujung-ujungnya kampanye,” ujarnya.

Banjirnya konten informasi dan iklan kampanye politik belakangan memang tidak mengherankan. Selain karena ramainya peserta pemilu (partai politik, pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan calon anggota legislatif) dan pendukungnya, aktivitas digital mereka juga dimodali.

Baca juga: Medsos Jadi Ruang Memutar Dana Kampanye Tak Resmi

https://cdn-assetd.kompas.id/6JyaZmpA2ajGqW6RCGNv1HE_KDo=/1024x2170/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F14%2F3522162e-c44f-4eb4-93c4-6f4855c8b90a_png.png

Lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memperkirakan kampanye digital berbiaya besar. Peneliti dan Senior Program Officer Perludem, Heroik M Pratama, mengatakan, dana kampanye digital itu bisa dalam bentuk iklan berbayar atau konten yang diciptakan influencer dan buzzer. Konten kampanye itu harus dibuat dengan memasukkan unsur foto, nomor urut, logo/simbol peserta pemilu, serta ajakan untuk memilih.

Sayangnya, biaya kampanye digital ini banyak yang terindikasi tidak sesuai regulasi sehingga tidak dilaporkan secara resmi. Temuan Perludem dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 16 November hingga 25 Desember 2023 menemukan sumber pengiklan yang tidak jelas pada iklan-iklan politik capres-cawapres di media sosial Meta (Facebook dan Instagram).

Lewat data Meta Ads Library, yang dapat diakses publik, ditemukan dana iklan sekitar Rp 444 juta dikeluarkan akun pendukung atau relawan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, kemudian hampir Rp 799 juta untuk pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan sekitar Rp 829 juta untuk pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Meski itu merupakan dana sumbangan pihak ketiga, peserta pemilu harus mencantumkannya dalam kanal pelaporan resmi. ”Sayangnya, laporan dalam kanal resmi itu kerap tidak mencerminkan biaya riilnya,” kata Heroik saat dihubungi, Kamis.

Iklan

Sebelumnya, Litbang Kompas juga pernah menyaring data di platform Meta pada periode 1 April 2023-29 Juni 2023. Pada periode tersebut terdapat nilai transaksi iklan politik dan pemilu mencapai Rp 10,9 miliar. Nominal belanja iklan politik ini berasal dari lima golongan pengiklan, yakni tokoh politik, partai politik, kelompok sukarelawan pendukung tokoh, kelompok masyarakat atau entitas lainnya, serta media massa yang mempromosikan produknya.

Litbang Kompas menemukan, lebih dari 70 persen belanja iklan sosial, politik, dan pemilu di perusahaan Meta untuk sementara ini sebagian besar berkaitan dengan komponen partai politik guna menyongsong tahun Pemilu 2024 (Kompas.id, 4/7/2023).

Baca juga: Tingginya Belanja Iklan Politik Prabowo dan Golkar di Media Sosial

Warga melintasi poster sosialisasi Pemilu 2024 di sekitar Jembatan Layang Kuningan-Mampang, Jakarta, Selasa (9/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga melintasi poster sosialisasi Pemilu 2024 di sekitar Jembatan Layang Kuningan-Mampang, Jakarta, Selasa (9/1/2024).

Kaya visual

Besarnya dana yang berputar untuk menginfokan isu politik dan mengampanyekan pemilu kali ini diduga terjadi karena kebutuhan produksi konten kaya visual.

Peneliti Center for Digital Society (CfDS) dan dosen Departemen Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Arga Imawan, mengamati bahwa konten politik dan kampanye di ruang digital tidak lepas dari strategi pencitraan untuk menggaet suara. Strategi ini akan lebih banyak dilakukan dengan memberi suguhan visual, selain gagasan dalam bahasa.

”Kalau melihat Pemilu 2019 atau sebelumnya, kegiatan offline seperti blusukan kerap menjadi diskusi publik di media. Tapi, di Pemilu 2024 kita lihat isu viral lebih banyak terkait meme dan gimik yang dibuat oleh para kandidat. Ini jadi fenomena baru yang berpotensi berlanjut di Pemilu 2029. Dari segi pembiayaan, saya rasa juga akan banyak terfokuskan pada pembangunan citra di ruang digital,” tuturnya saat dihubungi, Senin (29/1/2024).

Pengamatan Arga juga tersirat dalam riset kuantitatif survei bertajuk ”Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024”, yang dilaksanakan Fisipol UGM dan agensi hubungan masyarakat Praxis, pada 1-8 Januari 2024.

Riset pada 1.001 mahasiswa usia 16-25 tahun di 34 provinsi itu menemukan, aspek yang diperhatikan ketika melihat tokoh politik tertentu di media sosial antara lain narasi gambar atau video (41,16 persen) serta gestur politik (38,06 persen). Aspek itu ikut diperhatikan selain menyimak pernyataan (66,43 persen) dan kemampuan berbicara di depan publik (63,14 persen).

Tampilan konten kampanye calon legislatif di media sosial, Selasa (29/1/2019).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Tampilan konten kampanye calon legislatif di media sosial, Selasa (29/1/2019).

Baca juga: Kampanye di Media Sosial: Sosok Pendengung dan Pemengaruh Semakin ”Cair”

Aspek itu didapatkan ketika mahasiswa mendapatkan informasi dari sumber-sumber seperti media massa daring (66,43 persen), Instagram (50,65 persen), televisi (47,15 persen), Tiktok (41,86 persen), Youtube (36,96 persen), dan X (33,37 persen). Sementara itu, pengalaman tersebut sulit mereka dapatkan ketika memerhatikan kampanye luar ruang, seperti baliho (21,08 persen).

”Dalam konteks Pemilu 2024 memang aura kontestasi sangat terasa, terutama dalam sosial media. Ini dimanfaatkan para influencer atau buzzer untuk mengolah bahasa guna menyampaikan gagasan seperti apa dan membuat click bait. Lalu, secara visual menggunakan pengambilan gambar dan lainnya secara berkualitas sehingga akan berdampak ke rasionalitas pemilih,” tuturnya.

Analis Drone Emprit, Nova Mujahid, mengatakan, analisis mereka terhadap percakapan pengguna beberapa media sosial jelang Pemilu 2024 menemukan, media sosial dibanjiri dengan narasi, infografis, serta foto atau video karya mesin kecerdasan buatan (AI).

”Konten-konten tersebut mencoba ’meringankan’ atau membuat receh pesan-pesan kampanye. Adapun kanal yang menjadi pilihan utama untuk menyebarkan narasi dan image/video adalah Tiktok, Instagram, dan X ,” katanya pada Selasa (30/1/2024) .

Suasana ini berbeda dengan Pemilu 2019 ketika narasi-narasi yang diangkat di media sosial, seperti Twitter dan Facebook, disampaikan dalam bingkai polarisasi atau dimulai dengan bingkai polarisasi. Netizen dan buzzer terlihat memperkuat polarisasi ini dengan narasi-narasi yang cukup provokatif.

Sementara, kata Nova, pada Pemilu 2024 perbincangan di X, misalnya, diupayakan digiring ke arah substansi meski diskusi tidak terlalu hidup atau jarang terjadi diskusi lintas klaster. Visualisasi dalam penyebaran informasi dan kampanye politik mungkin membutuhkan dana lebih, tetapi tren ini membantu masyarakat lebih memahami substansi isu politik dan tentunya memanjakan indra.

Editor:
ARIS PRASETYO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000