logo Kompas.id
EkonomiKampanye di Media Sosial:...
Iklan

Kampanye di Media Sosial: Sosok Pendengung dan Pemengaruh Semakin ”Cair”

Operasi pendengung dan pemengaruh selama kampanye pemilu bak industri. Pendengung semakin ”cair” karena bisa melibatkan kelas pekerja.

Oleh
MEDIANA
· 7 menit baca
Sejumlah pembicara, Selasa (15/10/2019), di Jakarta, membahas topik ”Demokrasi Dibajak Buzzer?” dalam diskusi yang diselenggarakan Lingkaran Jakarta dan Forges.
KOMPAS/INGKI RINALDI

Sejumlah pembicara, Selasa (15/10/2019), di Jakarta, membahas topik ”Demokrasi Dibajak Buzzer?” dalam diskusi yang diselenggarakan Lingkaran Jakarta dan Forges.

Di Indonesia, tingkat penetrasi internet tahun 2022 mencapai 70 persen terhadap total populasi penduduk atau sekitar 204 juta orang. Sementara hasil riset Reuters Institute Digital News Report 2023 menunjukkan, kepercayaan terhadap media arus utama di Indonesia stagnan di angka 39 persen pada 2021-2023. Inilah yang mendorong maraknya pembuatan konten di media sosial yang diproduksi menjadi sumber berita alternatif.

Hal yang paling penting kemudian adalah, di antara konten yang diproduksi di media sosial, sudah menyerupai kampanye yang ramai dengan berbagai topik kehidupan. Aktivitas seperti itu memperkuat mesin politik, yang mana pemilu lima tahunan menjadi salah satu agenda besar dunia perpolitikan di Indonesia.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Di antara pembuat konten tersebut ada sosok pendengung (buzzer). Dalam riset Transformative Working-Class Labor in Indonesia’s Political Influence Operations yang diunggah di laman The Influence Industry Project dan dikutip pada Selasa (26/12/2023), Koordinator Riset dan Hak Digital Indonesia di EngageMedia Pradipa P Rasidi menjelaskan, buzzer pertama kali dikenal di Indonesia sekitar tahun 2009 dan awalnya berfungsi untuk meningkatkan strategi pemasaran merek. Fokus utama mereka adalah kampanye positif, mendorong opini publik yang positif terhadap merek tertentu melalui kampanye tagar dan peningkatan keterlibatan, selain penempatan iklan digital.

Keterlibatan buzzer yang pertama dalam dunia politik terjadi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Saat itu, Joko Widodo yang menjabat sebagai calon gubernur DKI Jakarta mempekerjakan tim kampanye untuk mengoordinasikan operator sukarelawan akun-akun ”palsu” anonim untuk meningkatkan keterlibatan dan akun ”asli” berupa nama pemengaruh (influencer). Upaya ini dilakukan pada Pemilihan Presiden 2014, yang ditandai dengan munculnya kampanye-kampanye ”negatif” dan ”hitam” yang melibatkan penyebaran disinformasi atau penyebaran rumor.

Baca juga: Tiktok Larang Iklan Politik di Aplikasinya

Sejak pertama kali terjun ke dunia politik, buzzer telah dikerahkan dalam berbagai operasi, mulai dari normalisasi kebijakan pemerintah hingga melayani kepentingan bisnis besar. Aktor-aktor dari partai berkuasa dan oposisi telah memanfaatkan keberadaan buzzer tersebut.

Uniknya, buzzer semakin beragam, mulai dari kelompok sukarelawan salah satu kandidat peserta pemilu, konsultan politik, lembaga survei, perusahaan periklanan, pemasar independen, organisasi masyarakat, bloger, dan tim kecil dalam partai politik.

https://cdn-assetd.kompas.id/Y6XbqSV2fXDvTBT-cph24ZKp9zg=/1024x1809/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F29%2F112a7a71-1480-4974-b4c3-44115c442389_png.png

Riset Pradipa bertajuk ”Transformative Working-Class Labor in Indonesia’s Political Influence Operations” yang dilakukan pada April -Mei 2023 menemukan buzzer juga berasal dari kelas pekerja kerah biru. Mereka bekerja di perusahaan yang kerap mengatasnamakan diri sebagai konsultan teknologi informasi dan pemasaran digital. Dalam riset ini, dia menyebutkan satu perusahaan yang mengelola buzzer dan berlokasi di lingkungan kelas menengah ke bawah, tetapi kliennya mencakup selebritas, politisi, militer, dan pengusaha.

Jenis pekerjaan kerah biru dari buzzer yang dia temukan adalah operator mesin, pekerja perakitan, sopir truk, kurir pengiriman, ojek dan pengemudi ojek daring, petugas warung internet, petugas kebersihan, dan petugas parkir. Sebagian besar pekerjaan ini menyebabkan mereka dihadapkan pada ketidakpastian kontrak jangka pendek dan status pekerjaan informal, serta pendapatan bulanan rata-rata yang kecil. Pekerjaan mereka sebagai buzzer mengakui keterampilan mereka secara lebih formal, mengalihkan upaya mereka dari otot ke pikiran atau ke sebuah ”pekerjaan otak”.

Jenis pekerjaan kerah biru dari buzzer yang dia temukan adalah operator mesin, pekerja perakitan, supir truk, kurir pengiriman, ojek dan pengemudi ojek daring, petugas warung internet, petugas kebersihan, dan petugas parkir.

”Keliru jika berasumsi bahwa mereka (buzzer dari pekerja kerah biru) secara kemampuan teknologi lebih rendah dibandingkan rekan-rekan mereka yang berasal dari kelas menengah. Di antara mereka belajar teknologi digital secara otodidak, mengasah kemampuan melalui Youtube,” ujar Pradipa dalam laporan riset.

Baca juga: Medsos Jadi Ruang Memutar Dana Kampanye Tak Resmi

Kendati buzzer yang dulunya melakukan pekerjaan kerah biru lalu beradaptasi dengan teknologi digital, apa yang mereka lakukan adalah melayani kepentingan pihak yang berkuasa sambil mengumpulkan segala hal agar mendapatkan pijakan sosial-ekonomi yang lebih baik.

Peneliti Utama Safer Internet Lab Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Beltsazar Krisetya, saat dihubungi, Jumat (22/12/2023), di Jakarta, menyampaikan, selain buzzer yang berada di bawah kelola perusahaan yang mengatasnamakan diri sebagai konsultan teknologi informasi dan pemasaran digital, ada pula fenomena laman berita yang tidak terlalu kredibel dan kelompok mahasiswa yang menerima pekerjaan sampingan dari elite politik tertentu. Untuk mahasiswa biasanya memang sedang mencari tambahan uang saku dan bersedia dibayar per postingan atau komentar per isu.

”Jika ada artis dan pemengaruh yang juga kreator konten sekaligus pengusaha mendukung partai politik atau pasangan calon presiden-wakil presiden tertentu, kami menduga keberadaan mereka tidak lebih dari sekadar amplifikasi pesan. Mereka tidak sampai diminta membuat narasi pesan. Mereka pun akhirnya ditandem dengan buzzer yang tidak kelihatan muka dan nama tidak jelas, lalu para troll internet, dan bot,” ujarnya.

Iklan
Kampanye Hari Ke-28, Prabowo dan Anies ke Luar Jawa, Ganjar di Jateng
KOMPAS

Kampanye Hari Ke-28, Prabowo dan Anies ke Luar Jawa, Ganjar di Jateng

Beltzasar mengatakan, para elite politik sudah sadar bahwa pemilu hanya acara lima tahunan tetapi mesin politik harus dijaga setiap tahun. Oleh karena itu, mereka cenderung memelihara pendengung dan pemengaruh yang digerakkan untuk isu-isu kontroversial. Sebagai contoh, isu tentang UU Cipta Kerja (omnibus law).

Dia menambahkan, karakteristik distribusi konten di media sosial memang micro-targetting. Namun, efektivitasnya lebih ampuh dibandingkan media massa konvensional. Sebab, sebelum memasang konten iklan pun, si pemasang bisa menentukan siapa target yang disasar, kelompok usia mana, sampai preferensi politik yang diinginkan.

Di lingkup daerah, buzzer menjadi underbow partai politik daerah. Begitu pula dengan pemengaruh yang mendukung pasangan calon peserta pemilu presiden dan wapres.

”Orang-orang yang di belakang layar pembuatan teknis konten bekerja mirip bisnis profesional pada umumnya. Yang teknis memang dikerjakan oleh sosok yang piawai teknologi pemasaran digital. Namun, pihak yang punya gagasan/ide narasi tidak harus pandai teknologi digital,” katanya.

Dosen Departemen Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Arga Pribadi Imawan, memandang, sosok buzzer sekarang semakin ”cair”. Di lingkup daerah, buzzer menjadi underbow partai politik daerah. Begitu pula dengan pemengaruh yang mendukung pasangan calon peserta pemilu presiden dan wapres. Di antara mereka secara sukarela mendukung, tetapi sebenarnya mengincar posisi jabatan politik. Fenomena seperti ini diduga juga terjadi di luar negeri.

Tidak terlacak

Belum ada data pasti seberapa besar nilai ekonomi dari perputaran konten politik. INSG.Co (media daring untuk jenama, kreator, dan profesional media sosial) menyebutkan, secara makro, belanja iklan di pasar influencer advertising di Indonesia mencapai 194,60 juta dollar AS atau hampir Rp 3 triliun pada tahun 2023 di Indonesia.

Baca juga: Kemenkominfo Hapus 425 Hoaks Pemilu, Patroli Siber Ditingkatkan

Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Janoe Arijanto menyampaikan, dalam konteks kampanye politik, ada tiga tipe pemengaruh. Pertama, pemengaruh yang dikoordinasikan oleh sebuah agensi pemengaruh. Kedua, pemengaruh yang langsung menjadi simpatisan partai dan bergerak dalam koordinasi partai. Ketiga, pemengaruh yang bergerak mandiri mendukung pasangan calon atau partai politik tertentu. Tidak ada angka resmi nilai aliran dana yang bergerak di ketiga jenis pemengaruh itu.

”Agensi iklan pada umumnya kecipratan untung dari belanja partai politik lembaga pemilu, serta kandidat peserta pemilu ketika beriklan di media konvensional dan media out of home, seperti baliho. Kalau di stasiun televisi, belanja iklan bisa naik 10-15 persen karena musim kampanye. Cuma, televisi sekarang mengalami pembatasan oleh Komisi Pemilihan Umum sehingga tidak bisa jor-joran,” ujar Janoe.

https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/12/17/11058bca-029d-4e96-9972-21894c6797b1_gif.gif

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Nurul Amalia Salabi, yang juga dihubungi, Jumat pekan lalu, mengatakan, sejauh ini baru Grup Meta yang terbuka dibandingkan platform media sosial lainnya. Itu pun sebatas iklan politik yang besaran nilai belanjanya dapat diakses dan dibaca khalayak luas melalui fitur Meta Ad Library.

”Sesuai hasil penelusuran di Meta Ad Library sepanjang 11 November -10 Desember 2023, jumlah iklan politik di atas Rp 50 juta mencapai 9.203 iklan. Nilai totalnya lebih dari Rp 3 miliar. Kami menduga nilai iklan politik di Grup Meta sudah besar jika mau dihitung sejak pengumuman partai politik peserta pemilu pada Desember 2022,” kata Nurul.

Sementara itu, Program Officer Perludem Heroik M Pratama menyampaikan, berdasarkan riset Perludem dan Indonesia Corruption Watch (ICW), laporan awal dana kampanye (LADK) pasangan capres-cawapres nomor urut 1 melaporkan sumber penerimaan dana kampanye Rp 0. Kemudian, pasangan capres-cawapres nomor urut 2 melaporkan Rp 31,4 miliar dengan sumber penerimaan dari pasangan calon Rp 2 miliar, partai politik atau gabungan partai politik dalam bentuk barang Rp 600 juta dan Rp 28,8 miliar dalam bentuk jasa. Adapun pasangan nomor urut 3 melaporkan sumber penerimaan dana kampanye senilai Rp 2,975 miliar yang berasal dari pasangan calon Rp 25 juta dan partai politik atau gabungan partai politik Rp 2,95 juta dalam bentuk uang.

Sejauh ini baru Grup Meta yang terbuka dibandingkan platform media sosial lainnya. Itu pun sebatas iklan politik yang besaran nilai belanjanya dapat diakses dan dibaca khalayak luas melalui fitur Meta Ad Library.

Perludem dan ICW juga menelusuri iklan politik ketiga pasangan capres-cawapres di fitur Meta Ad Library sepanjang 16 November -15 Desember 2023. Nilai iklan pasangan nomor urut 1 mencapai Rp 444 juta dengan total iklan 1.394, nomor urut 2 Rp 778 juta dengan total iklan 1.300, dan nomor urut 3 Rp 829 juta dengan total iklan 6.369. Mayoritas yang beriklan tersebut diketahui adalah akun sukarelawan pendukung setiap pasangan, yang di antaranya ada perusahaan swasta.

”Sampai sekarang, kami tidak mengetahui nama akun dari 20 akun resmi yang dilaporkan setiap pasangan capres-cawapres. Akibatnya, kami pun tidak bisa menyimpulkan apakah temuan belanja iklan politik di Meta Ad Library itu berasal dari 20 akun resmi yang dilaporkan atau tidak. Kami mendorong agar ada pengawasan pencatatan sumbangan iklan yang baik,” kata Heroik.

Perludem sendiri termasuk dalam organisasi masyarakat sipil yang terus menuntut transparansi dana kampanye. Namun, peraturan yang ada dinilai belum solutif. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 dan Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum sedang direvisi supaya bisa mengakomodasi iklan politik di media sosial. Namun, ketentuan mengenai cara kerja buzzer dan pemengaruh politik belum ada titik terang.

Baca juga: Transaksi Mencurigakan Disinyalir dari Kejahatan di Pertambangan, Lingkungan Hidup, dan Judi

Editor:
ARIS PRASETYO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000