Residu dari Penetapan Hasil Pemilu, Mampukah MK Mencari Jalannya?
Sidang perselisihan hasil pemilu menjadi salah satu residu pasca-penetapan di KPU. Mampukah MK menemukan keadilannya?
Tahapan Pemilu 2024 yang dimulai sejak 20 bulan lalu akhirnya telah mencapai puncak, yang ditandai dengan penetapan hasil pemilu secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, Rabu (20/3/2024). Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka meraih suara terbanyak di Pemilihan Presiden 2024 dengan perolehan 96.214.691 suara atau 58,59 persen. Untuk Pemilu Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi partai peraih suara terbanyak dengan capaian 25.387.279 suara atau 16,72 persen.
Namun, penetapan hasil pemilu itu tidak serta-merta membuat kontestasi merebut dan mempertahankan kursi eksekutif dan legislatif berakhir. Sebagian pihak yang tidak puas dengan hasil pemilihan umum masih memiliki kesempatan untuk mencari keadilan melalui mekanisme perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Tak butuh waktu lama, pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, mengajukan gugatan PHPU ke MK, Kamis (21/3/2024), atau sehari setelah penetapan hasil. Mereka mendesak dilakukan pemungutan suara ulang tanpa diikuti cawapres Gibran.
Cendekiawan Komaruddin Hidayat mengatakan, PHPU di MK menjadi salah satu residu yang muncul setelah penetapan hasil pemilu. Peserta pemilu yang merasa dirugikan atas penetapan hasil pemilu akan menempuh jalur MK untuk mencari keadilan. Capres-cawapres, parpol, ataupun caleg akan beradu argumen, adu data, untuk membuktikan dalil-dalil dugaan kecurangan yang sering kali disuarakan sejak sebelum pemungutan suara 14 Februari lalu.
Baca juga: Legitimasi Penyelenggaraan Pemilu
Penetapan hasil pemilu juga tidak akan membuat polemik mengenai moral dan etika politik dalam kontestasi pilpres akan berakhir. Berbagai dugaan kecurangan dan tindakan yang mengakibatkan kemunduran demokrasi bakal terus disuarakan kaum intelektual.
Di sisi lain, ia menilai perlu evaluasi atas pelaksanaan pemilu berdasarkan pengalaman selama 25 tahun seusai reformasi. Sejumlah aturan hukum pemilu yang dinilai belum sempurna mesti diperbaiki melalui revisi undang-undang pemilu. Pemerintah dan DPR ke depan perlu memikirkan praktik demokrasi agar membaik.
Karena reformasi sudah berusia 25 tahun, dari pengalaman terakhir ini ada satu pertanyaan: apakah model dan pelaksanaan demokrasi yang kita terapkan selama ini mau dipertahankan atau mau diubah?
”Karena reformasi sudah berusia 25 tahun, dari pengalaman terakhir ini ada satu pertanyaan: apakah model dan pelaksanaan demokrasi yang kita terapkan selama ini mau dipertahankan atau mau diubah?” ujar Komaruddin dalam acara bincang-bincang Satu Meja the Forum bertajuk ”Babak Baru Usai, KPU Tetapkan Hasil Pemilu” di Kompas TV, Rabu (21/3/2024) malam.
Dalam acara yang dipandu wartawan senior Budiman Tanuredjo itu hadir Co-captain Timnas Anies-Muhaimin, Sudirman Said; Komandan Hukum dan Advokasi Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Hinca Pandjaitan; Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis; Guru Besar Antropologi Hukum UI Sulistyowati Irianto; Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid; dan Tenaga Ahli Utama Deputi V KSP Sigit Pamungkas.
Keprihatinan etika kepala negara
Sudirman mengatakan, pemilu sebagai sebuah prosedur berjalan lancar sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Namun, dari sisi substansi, banyak catatan dari berbagai kalangan terkait pelaksanaannya. Salah satunya keprihatinan dari berbagai pihak terhadap etika kepala negara yang mengubah undang-undang untuk kepentingan pribadinya.
Berbagai praktik dalam Pemilu 2024 yang mendapat kritik itu dikhawatirkan membuat gerbong demokrasi Indonesia keluar dari rel yang semestinya. Sebab, ada berbagai pelanggaran hukum, tata krama, dan etika demi memenangi kontestasi.
”Sepanjang yang saya tahu, tidak pernah ada pemilu yang memperoleh respons negatif dari begitu banyak pemikir, guru besar, orang-orang cerdik pandai,” tuturnya.
Menurut Todung, Pemilu 2024 merupakan pemilu yang dicuri oleh berbagai intervensi dan kriminalisasi sejak sebelum pemungutan suara. Dampaknya, hasil pemilu tidak akan punya legitimasi yang kuat dari masyarakat karena proses pemilu yang tidak baik.
”Saya ikut pemilihan umum tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2024. Saya tidak pernah merasakan pemilihan umum yang seperti sekarang, begitu banyak pelanggaran, begitu banyak kecurangan, begitu banyak yang mengatakan terjadi kejahatan pada banyak hal,” katanya.
Saya ikut pemilihan umum tahun 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2024. Saya tidak pernah merasakan pemilihan umum yang seperti sekarang, begitu banyak pelanggaran, begitu banyak kecurangan, begitu banyak yang mengatakan terjadi kejahatan pada banyak hal.
Menurut Hinca, tudingan bahwa pemilu telah dicuri bisa dibuktikan di MK. Sebab, Undang-Undang Pemilu telah menyediakan ruang bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan ataupun menemukan kecurangan-kecurangan dalam berbagai tahapan. TKN Prabowo-Gibran pun siap menghadapi gugatan yang didalilkan pihak lain. ”Siapa yang mendalilkan, dia yang membuktikan,” ujarnya.
Tidak akan mengendur
Sulistyowati mengatakan, seruan dari kampus tidak akan mengendur setelah penetapan hasil pemilu. Beberapa universitas bahkan lebih terkonsolidasi melalui beberapa kluster wilayah untuk menyuarakan kegelisahan terhadap kondisi demokrasi saat ini.
Gerakan itu sekaligus menyadarkan masyarakat agar lebih ”melek” politik. Sebab, masih banyak publik yang menganggap urusan pemilu hanya urusan elite politik, padahal berdampak pada kehidupan seluruh elemen masyarakat.
Itu sebabnya, sebelum kami kemarin membuat seruan Salemba, sejumlah profesor datang mempresentasikan berbagai persoalan di Indonesia, memberikan peta-peta persoalannya sesuai dengan bidang keahlian masing-masing, baru membuat statement.
Menurut Sulistyowati, ada tanggung jawab moral dari kaum intelektual untuk menyampaikan pendapat akademiknya. Namun, pendapat tersebut tidak boleh didasarkan pada politik kekuasaan dan uang. Seluruh pendapat harus didasarkan pada bukti yang diperoleh melalui metode dan prosedur ilmiah yang teruji melalui penelitian.
”Itu sebabnya, sebelum kami kemarin membuat seruan Salemba, sejumlah profesor datang mempresentasikan berbagai persoalan di Indonesia, memberikan peta-peta persoalannya sesuai dengan bidang keahlian masing-masing, baru membuat statement,” tutur Sulistyowati.
Baca juga: Seruan Diabaikan Jokowi, Guru Besar Ingin Gerakan Rakyat yang Lebih Besar
Dipertanyakan Komisi HAM PBB
Menurut Usman Hamid, hampir semua pemilu yang berlangsung selama 25 tahun terakhir banyak mendapat pujian dari dunia internasional. Indonesia dianggap mampu menyelenggarakan pemilu yang jujur, bebas, adil, dan tanpa konflik. Namun, pada Pemilu 2024, banyak kejanggalan dalam berbagai proses pemilu. Bahkan, pemilu di Indonesia dipertanyakan oleh Komite Hak Asasi Manusia di PBB.
Negara telah menyediakan dua jalur untuk menindaklanjuti hal itu, yakni sengketa PHPU di MK dan hak angket di DPR. Ia pun berharap hakim MK bisa memberikan keadilan pemilu bagi pihak-pihak yang tidak menerima hasil yang telah ditetapkan. Sementara hak angket tetap perlu dilakukan agar publik mengetahui masalah dan kecurangan yang diduga terjadi sepanjang proses pemilu.