Hindari Tarik-menarik Kasus LPEI, KPK dan Kejagung Mesti Perkuat Koordinasi
KPK dan Kejagung semestinya berkoordinasi agar penyidikan kasus dugaan korupsi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung dalam waktu yang relatif bersamaan mengumumkan penyidikan kasus dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas kredit ekspor dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau LPEI. Kedua lembaga penegak hukum tersebut diminta memperkuat koordinasi agar tidak terkesan saling tarik-menarik kasus dan memaksimalkan proses penyidikan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba mengumumkan tengah menyidik kasus dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas kredit LPEI ke sejumlah perusahaan pada Selasa (19/3/2024) petang. Pengumuman ini disampaikan tepat sehari setelah Menteri KeuanganSri Mulyani Indrawati melaporkan kasus dugaan tersebut ke Kejaksaan Agung (Kejagung), Senin (18/3/2024).
Mengacu pada Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK pun meminta Kejagung menghentikan penyidikan kasus tersebut. Dalam aturan itu disebutkan, apabila KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi menyidik perkara yang sama.
KPK mengklaim telah menerima laporan terkait dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas kredit LPEI sejak 10 Mei 2023. Selanjutnya, penelaahan dilakukan hingga akhirnya KPK melakukan penyelidikan pada Februari 2024.
Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (20/3/2024), mengatakan, sebenarnya semua pihak harus melihat kasus ini sebagai kejahatan yang luar biasa. Selain nilai kerugiannya besar, perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus tersebut juga banyak.
Karena itu, tak heran semua pihak yang geram dengan kasus itu akan melaporkannya kepada aparat penegak hukum, seperti KPK, melalui sistem whistle-blowing. Lalu kemudian, belakangan Sri Mulyani pun ikut melaporkannya ke Kejagung.
”Jadi, tidak masalah. Kasus ini berarti sangat luar biasa, dan menarik sehingga semua penegak hukum mendapatkan laporkan. Apalagi menterinya langsung melapor. Mungkin Bu Menteri (Sri Mulyani) baru belakangan melapor ke Kejagung, tetapi pengungkapan perkara, kan, memang tidak segampang yang dibayangkan,” ujar Hibnu.
Untuk menghindari tumpang tindih penanganan perkara, lanjut Hibnu, seyogianya kedua lembaga penegak hukum itu berkoordinasi. Penanganan tindak pidana korupsi yang merupakan extraordinary crime memiliki dimensi persoalan yang krusial. Artinya, penanganan perkara tersebut mungkin saja dilakukan lebih dari satu lembaga penegak hukum.
Sepanjang kedua lembaga penegak hukum berkoordinasi, ia meyakini penanganan kasus korupsi itu akan jauh lebih efektif. Penyidikan perkara pun akan lebih maksimal untuk mengungkap kerugian negara, begitu pula tersangka yang terlibat.
Untuk menghindari tumpang tindih penanganan perkara, seyogianya kedua lembaga penegak hukum itu berkoordinasi. Penanganan tindak pidana korupsi yang merupakan extraordinary crime memiliki dimensi persoalan yang krusial.
”Mungkin ada sudut pandang yang berbeda, mereka akan saling melengkapi. Kan obyek sama, tetapi bisa saja sudut pandang kerugian negaranya berbeda atau subyeknya. Ini bisa terselesaikan dan diefektifkan dengan koordinasi. Toh sama-sama penegak hukum,” ucap Hibnu.
Justru jika KPK dan Kejagung saling tarik-menarik, penyidikan tidak akan berjalan maksimal. Kedua lembaga penegak hukum juga akan kesulitan dalam pembuktian. ”Jangan sampai tarik-tarikan. Kan, ada joint investigation. KPK dan Kejagung saling melengkapi jika ada temuan data yang kurang. Ini penting. Kalau tidak ada koordinasi, justru tidak akan kondusif. Karena sekali lagi, korupsi ini banyak dimensinya,” kata Hibnu.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, kasus kredit bermasalah yang dilaporkan ke Kejagung itu sebenarnya perkara lama yang sudah ditemukan sejak sebelum Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan. Sejumlah upaya formal sudah dilakukan untuk menyelesaikan kredit-kredit macet itu tanpa harus diseret ke ranah pidana.
”Ini, kan, ranah penjaminan. Berarti seharusnya ada yang bisa dijaminkan. Kalau seperti itu asetnya, kan, mestinya bisa dieksekusi. Namun, karena tidak ada itikad baik dan tidak kooperatif (dari pihak debitor), kita limpahkan saja ke aparat penegak hukum. Sejauh ini, indikasi fraud ada di pihak debitor, tetapi nanti Kejagung yang akan masuk (memeriksa LPEI),” kata Yustinus.