Risiko Tiga Matahari Kembar jika Jokowi Pimpin Koalisi Besar
Gagasan Jokowi memimpin koalisi besar yang dilontarkan PSI bisa merusak sistem presidensial.
Wacana mengenai posisi Presiden Joko Widodo setelah tak lagi menjabat mulai mengemuka dalam beberapa waktu terakhir. Sejumlah pihak berspekulasi bahwa Jokowi yang merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) bakal berpindah ke Partai Golkar untuk menjadi ketua umum.
Namun, akhir pekan lalu, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengemukakan wacana lain. Ia melihat semestinya Jokowi berada di atas semua partai politik (parpol). Elite PSI pun mengusulkan agar Jokowi memimpin koalisi parpol yang memiliki kesamaan visi menuju Indonesia Emas pada tahun 2045. Grace pun mengemukakan konsep barisan nasional sebagai wujud dari koalisi dimaksud.
Wacana itu pun memantik polemik. Dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum yang ditayangkan di Kompas TV, Rabu (13/3/2024) malam, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengingatkan, wacana membentuk koalisi besar yang dipimpin Jokowi tak sejalan dengan sistem presidensial. Sebagai negara dengan sistem presidensial, Indonesia tidak memiliki landasan aturan perundang-undangan untuk menempatkan mantan presiden sebagai pemimpin koalisi di luar pemerintahan. Apalagi, koalisi besar dimaksud merujuk pada Barisan Nasional yang ada di Malaysia, yang dibentuk dalam sistem parlementer.
Tak hanya itu, gagasan tersebut juga bisa merusak sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia. Sistem pemerintahan yang semestinya dipimpin presiden diprediksi akan terbelah dengan sejumlah pimpinan yang berbeda.
Baca juga:
> Tak Mungkin Jadi Ketua Umum PDI-P, Jokowi Diminta Kembali ke Solo Setelah Lengser
> Wacana Presiden Jokowi Pimpin Koalisi Besar Mulai Dibahas
”Di situ seakan-akan ada tiga matahari kembar, yakni Prabowo (calon presiden Prabowo Subianto) sebagai presiden, Gibran (calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka) wakil presiden yang dianggap mewakili Presiden Joko Widodo, bahkan Jokowi sendiri yang juga ingin ditempatkan di atas partai yang seakan-akan bisa mengatur presiden dan wakil presiden,” kata Yunarto dalam acara yang dimoderatori oleh mantan Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo.
Berdasarkan hasil hitung cepat berbagai lembaga, termasuk Litbang Kompas, perolehan suara terbanyak Pilpres 2024 diraih Prabowo-Gibran.
Menurut dia, upaya untuk menempatkan Jokowi sebagai pemimpin koalisi setelah tak lagi menjabat sebagai presiden merupakan upaya untuk memperlemah posisi politik presiden dan wakil presiden terpilih. Presiden dan wakil presiden seolah-olah tak bisa bekerja jika lepas dari peran Jokowi.
”Jangan jadikan Pak Prabowo sebagai petugas Jokowi, jangan juga jadikan Gibran sebagai petugas Jokowi. Berikan marwah sebagai presiden terpilih sebagaimana sistem presidensial sehingga dia bisa bekerja,” kata Yunarto.
Lebih dari itu, gagasan menjadikan Jokowi sebagai pemimpin koalisi adalah wujud dari demokrasi yang mengultuskan seorang tokoh. Ada pihak yang merancang cara agar Jokowi tetap memiliki posisi dan karier politik meski masa jabatannya sebagai presiden sudah usai.
”Saya melihat, ada yang berusaha untuk menjerumuskan Pak Jokowi dalam halusinasi kekuasaan, kemudian yang akan menanggungnya adalah Pak Jokowi dan keluarganya sendiri, sedangkan orang-orang itu melakukannya supaya tetap ikut dalam kekuasaan,” ujar Yunarto.
Adapun dalam demokrasi yang hakiki, Jokowi semestinya nanti ditempatkan sebagai mantan presiden agar Indonesia yang dipimpin pemerintahan baru lebih baik ketimbang pemerintahan sebelumnya. Jokowi juga semestinya konsisten dengan pernyataan untuk kembali ke kampung halaman setelah lengser.
”Kalau bicara keberlanjutan itu, program dan nilainya yang dilanjutkan, tidak berkutat menghabiskan energi bagaimana orangnya tetap harus ada,” katanya.
Baca juga: "Rebound" Golkar dan Kans Lepas dari Jebakan Posisi Kedua
Selain Yunarto, hadir pula sebagai pembicara,unsur pimpinan parpol anggota koalisi pengusung Prabowo-Gibran, yakni Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi, dan politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ade Armando. Selain itu, hadir Ketua Umum Projo (Pro Jokowi), kelompok sukarelawan pendukung Jokowi yang menjadi pendukung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.
Di luar kubu Prabowo-Gibran, hadir Ketua DPP PDI-P Sukur Nababan, Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim, serta peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro.
Siti Zuhro pun mengingatkan, demokrasi tidak mengultuskan seorang tokoh. Semua pihak duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Namun, saat ini, menurut dia, parpol cenderung tidak memiliki posisi yang kuat. Parpol cenderung berada di bawah bayang-bayang Jokowi. ”Dalam konteks itu, Jokowi mengakhiri dua periodenya, saya lihat, tidak memberikan legacy,” ujarnya.
Viva Yoga Mauladi pun tampaknya keberatan dengan wacana yang digulirkan PSI. Jangan sampai, menurut dia, ide menjadikan Jokowi sebagai pemimpin koalisi menjadi serangan balik bagi sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia. Sebab, sistem tersebut penting dalam proses kelembagaan demokrasi.
Baca juga: Wacana Koalisi Besar Berembus, Apa Plus Minusnya?
”Dan, saya rasa, Jokowi itu demokratis. Buktinya, di 01 (koalisi pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) ada parpol pemerintah, 03 (koalisi pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD) juga ada parpol pemerintah,” ujarnya.
Sumber konflik
Menurut dia, selama ini semua parpol memiliki hak untuk mengusung kandidatnya sendiri tanpa ada campur tangan Presiden. Akan tetapi, ada pula upaya pembunuhan karakter terhadap Jokowi. Untuk itu, wacana pembentukan koalisi besar itu jangan sampai menjadi sumber konflik di internal koalisi.
”PAN ingin koalisi ini tetap damai, nyaman, dan menjadi koalisi yang permanen dan masuk ke relung-relung pilkada. Tetapi, kalau tidak bisa, ya, berpulang ke konstelasi kepentingan politik masing-masing,” ujar Viva.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung juga mengingatkan, Indonesia sudah lama menganut sistem presidensial. Dengan sistem itu, semua pihak seharusnya sudah memahami bahwa presiden merupakan pemimpin semua lini, tidak terkecuali pemimpin politik. Oleh karena itu, sulit membedakan jika konsolidasi politik tidak dilakukan oleh presiden.
Menurut Doli, gagasan membentuk koalisi besar yang dipimpin Jokowi itu perlu diperjelas periode pembentukannya. Jika dibuat saat ini hingga 20 Oktober mendatang, pemerintahan masih dipimpin oleh Jokowi sebagai presiden. Setelah itu, Indonesia baru memiliki presiden yang baru.
”Saya yakin, Jokowi dan Prabowo tahu persis sistem presidensial. Jadi, tahu kapan itu berakhir, kapan diserahkan. Saya meyakini, Jokowi tahu persis perannya sama seperti pada 2014 terpilih, bagaimana menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden ke-6 RI) dan Bu Megawati (Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri), dan itu telah dia lakukan,” tutur Doli.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P Sukur Nababan menambahkan, dalam sistem presidensial, presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan. Meski tak mau turut campur jika nantinya ada pembentukan koalisi yang dipimpin Jokowi, ia menegaskan, sebagai warga negara tentu akan mempertanyakan karena belum tentu presiden terpilih nantinya memiliki visi yang sama dengan pemimpin koalisi. Apalagi, pemimpin koalisi dimaksud bukan pemimpin parpol.
”Itu bisa jadi benturan yang luar biasa. Saya bukan bilang Jokowi tidak punya kemampuan, tetapi beri kesempatan kepada anak bangsa yang sudah diputuskan (oleh) negeri ini, jangan lagi intervensi,” kata Sukur.
Baca juga: Seruan Salemba 2024, Akademisi Kembali Berkumpul Soroti Kemunduran Demokrasi
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim mengatakan, jelang berakhirnya pemerintahan Jokowi pada 20 Oktober mendatang, bangsa Indonesia sebaiknya menyelesaikan berbagai ekses Pemilu 2024. Banyak hal, bahkan luka batin, yang diduga terjadi dan tidak mudah dilupakan.
”Yang terpenting, kan, kita bukan kali ini (saja) punya presiden. Biasa saja. Kalau harus istirahat, ya, istirahat,” katanya.
Sementara Ade Armando menegaskan, usulan agar Jokowi memimpin koalisi sepenuhnya usulan dari PSI, bukan dari Jokowi. Usulan itu pun tidak untuk menjadikan Jokowi sebagai presiden lagi atau menjadi atasan dari Prabowo. PSI sadar betul ke depan Prabowo yang akan menjadi pemimpin negara. Namun, di luar pekerjaan itu, ada hal yang bisa diupayakan oleh Jokowi, yakni mempersatukan kekuatan-kekuatan politik agar tak terus berselisih demi mencapai target Indonesia Emas 2045.