"Rebound" Golkar dan Kans Lepas dari Jebakan Posisi Kedua
Posisi sebagai partai tengah yang selalu berinovasi menjadi langkah jitu Partai Golkar menggaet pemilih muda Indonesia.
Sejarah berulangnya penurunan suara Partai Golongan Karya atau Golkar berhenti pada tahun 2024. Meski penghitungan perolehan suara belum tuntas, kenaikan elektabilitas Golkar menjadi yang tertinggi di antara partai-partai politik lain peserta Pemilu 2024. Bahkan, partai beringin itu berpotensi keluar dari mitos jebakan posisi kedua seperti lima pemilu terakhir. Bagaimana itu bisa terjadi?
Merujuk hasil hitung suara Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) 2024 yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga dua pekan setelah pencoblosan, Selasa (27/2/2024), terdapat 65 persen suara nasional yang sudah masuk penghitungan. Dari total suara yang ada, sebanyak 15,15 persen atau 11,45 juta suara di antaranya diraih Partai Golkar. Raihan itu menempatkan Golkar pada posisi kedua di antara sembilan partai politik (parpol) yang diperkirakan lolos ke Senayan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Meski masih berada di peringkat kedua, dukungan untuk Golkar terpaut tak sampai 2 persen dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang memimpin dengan suara sebesar 16,51 persen atau 12,47 juta suara. Dibandingkan dengan parpol-parpol lain, Golkar juga mengalami kenaikan suara paling signifikan dari Pemilu 2019, yakni hampir 3 persen.
Adapun Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Nasdem cenderung stagnan. Sementara itu, PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN) justru turun dibandingkan lima tahun sebelumnya.
Baca juga: ”Quick Count” 2024 Litbang ”Kompas”: Golkar Tetap Partai Papan Atas
Hasil rekapitulasi sementara pun tak jauh berbeda dengan hasil hitung cepat sejumlah lembaga. Merujuk hitung cepat Litbang Kompas, misalnya, hingga Selasa (20/2/2024) pukul 14.50 dengan jumlah sampel data yang sudah masuk sebanyak 100 persen, dukungan untuk Golkar mencapai 14,64 persen atau berada di posisi kedua setelah PDI-P (16,31 persen). Di bawah Golkar, menyusul Partai Gerindra (13,47 persen), PKB (10,71 persen), Nasdem (9,96 persen), PKS (8,37 persen), Demokrat (7,62 persen), dan PAN (7,10 persen).
Jika kondisi tersebut bertahan hingga hasil resmi diterbitkan KPU, kenaikan tersebut sekaligus menghentikan tren penurunan suara Golkar dalam lima pemilu terakhir pasca-Reformasi 98. Pada Pemilu 1999, suara Golkar mencapai 22,44 persen dari total suara nasional. Namun, saat menjadi pemenang Pemilu 2004, raihan suara Golkar turun menjadi 21,6 persen. Raihan itu anjlok ke angka 14 persen pada 2009 dan 2014. Bahkan, pada Pemilu 2019 suara Golkar pun kembali berkurang hingga menjadi 12 persen.
Dengan tren tersebut, Golkar memang selalu berada di papan atas. Akan tetapi, setelah tahun 2004 Golkar tak pernah menjadi pemenang pemilu dan selalu berada di peringkat kedua. Bahkan, parpol tersebut sering disebut berada dalam jebakan posisi kedua.
Baca juga: Menguji Kekuatan ”Akar Beringin” Partai Golkar
Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto saat merilis buku ”Jalan Tengah Golongan Karya, Mengutamakan Persatuan dan Kesatuan Demi Kemajuan Bersama” yang ditulis Erwin Aksa dan Sharif Cicip Sutardjo, Senin (26/2/2024), mengatakan, sambil menunggu penghitungan suara oleh KPU tuntas, pihaknya kini tengah mengonversi perolehan suara ke jumlah kursi di parlemen.
Namun, untuk sementara, ia mengkalkulasi partainya bisa memeroleh 103 kursi. Akan tetapi, itu belum final karena penghitungan internal menunjukkan, masih ada tujuh kursi lain yang bisa diperoleh.
Dengan begitu, Airlangga berharap perolehan kursi Golkar bisa menyalip PDI-P. Sebab, dengan perolehan suara saat ini, konversi suara PDI-P diperkirakan mencapai 106 kursi dengan potensi tambahan tiga kursi. ”Semoga jarak antara Golkar dan PDI-P itu dekat,” ucap Airlangga.
Capaian itu, kata Airlangga, tidak terlepas dari inovasi gagasan yang dibuat untuk merespons perubahan zaman. Dalam beberapa waktu terakhir, Golkar gencar mengampanyekan pentingnya peran kaum muda dalam politik praktis.
Salah satunya dengan memberikan kesempatan kepada para kader berusia di bawah 40 tahun untuk menjadi kepala daerah. Contohnya, Wakil Wali Kota Tangerang Selatan, Banten, Pilar Saga Ichsan (32); Bupati Tuban, Jawa Timur, Aditya Halindra Faridzky (31); dan Bupati Bintan, Kepulauan Riau, Roby Kurniawan (30). Di internal Golkar, mereka disebut kelompok ”Under 40”.
Pada Pemilu 2024, peran dan pilihan kaum muda kian signifikan seiring dengan jumlah pemilih nasional yang didominasi oleh mereka. Lebih dari separuh pemilih berusia di bawah 45 tahun dengan karakter khas yang harus direspons secara hati-hati oleh parpol. Pemilih dari kelompok milenial dan generasi Z dikenal sebagai pemilih rasional dan kritis karena mampu mengakses lebih banyak informasi, tetapi sekaligus apatis terhadap politik praktis.
Baca juga: Pemilih Golkar dari Gen Z Menurun, Gen X di PKS dan PPP Meningkat
Bagi Airlangga, parpol yang dipimpinnya tidak hanya memiliki modal sumber daya manusia yang mumpuni untuk menghadapi tantangan tersebut. Karakter Golkar secara historis dibangun sebagai partai berideologi karya kekaryaan. Tidak menempatkan partai pada salah satu posisi ekstrem juga menjadi bekal penting.
”Itu sebetulnya rahasia kenapa Golkar bisa menang, karena kita selalu beat the curve, selalu melakukan inovasi. Golkar adalah partai tengah yang selalu berinovasi sehingga dipilih oleh kaum muda Indonesia,” kata Airlangga.
Partai tengah
Istilah ”partai tengah” memang kerap dilekatkan pada Golkar yang sejak didirikan sebagai sekretariat bersama (sekber) pada era Presiden Soekarno berperan sentral pada Orde Baru, hingga pascareformasi yang tidak pernah berada di luar pemerintahan.
Golkar dibentuk oleh beberapa federasi organisasi nonpemerintah yang terdiri dari berbagai asosiasi profesi dan pengusaha. Di tengah perseteruan ideologis antarparpol di tahun 1950-an, Golkar muncul sebagai kelompok yang berorientasi pada kesejahteraan.
”Partai Golongan Karya sibuk membahas kebijakan publik dan sistem pemerintahan yang paling efektif dan efisien, memastikan implementasi program berjalan baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Agar bisa fokus pada hal tersebut, Golkar tidak berjalan di kiri ataupun di kanan. Kita berjalan di tengah,” ungkap Erwin Aksa yang juga Wakil Ketua Umum Golkar.
Dengan berjalan di tengah, menurut dia, Golkar justru bisa mengambil sisi baik dari semua ideologi yang berkembang di dunia. Dari sosialisme, misalnya, Golkar mengambil gagasan keberpihakan terhadap kelompok miskin dan rentan serta memastikan mereka mendapatkan pelayanan publik yang baik.
Sementara dari kapitalisme, Golkar mengadopsi semangat inovasi dan meritokrasi. Tak hanya itu, Golkar juga menjunjung moralitas ketuhanan sekaligus menghormati hak asasi manusia (HAM) serta kesempatan yang adil bagi semua warga, termasuk kelompok minoritas.
”Partai tengah adalah pilihan rasional bagi Golkar. Posisi itu menghindari konflik politik yang terlalu ideologis, terutama karena kondisi rakyat kita belum cukup terpenuhi kapasitas literasinya. Sambil memperbaiki tingkat pendidikan penduduk, kita harus mulai memberi pemahaman bahwa persaingan ideologis memerlukan tuntunan argumen rasional agar tidak berubah menjadi konflik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan),” tutur Erwin.
Rahasia kenapa Golkar bisa menang, karena kita selalu beat the curve, selalu melakukan inovasi. Golkar adalah partai tengah yang selalu berinovasi sehingga dipilih oleh kaum muda Indonesia.
Dalam buku Jalan Tengah Golongan Karya, Mengutamakan Persatuan dan Kesatuan demi Kemajuan Bersama, Erwin juga menjelaskan bahwa ”partai tengah” berpeluang meraih simpati pemilih yang didominasi generasi milenial dan Z. Bagi Golkar, kelompok pemilih dominan tersebut merupakan massa mengambang yang kritis, tidak terlalu peduli pada ideologi politik, dan tidak suka dicekoki oleh retorika kosong.
Generasi yang hidup saat agama dan spiritualitas semakin diperhatikan oleh masyarakat ini juga cenderung muak pada polarisasi politik yang didasarkan pada identitas agama sepanjang musim pemilu.
Berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih tertarik mengumpulkan kekayaan untuk keamanan hidup, generasi milenial dan generasi Z lebih ingin melihat kehidupan yang seimbang antara ekonomi, sosial, dan alam. Keseimbangan itu menuntut kerja sama global sehingga mereka lebih memilih bersikap kosmopolit ketimbang mengadopsi pemikiran nasionalisme sempit. Oleh karena itu, nasionalisme dan Pancasila pun hanya relevan jika ada bukti konkretnya dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Diperlukan Ikhtiar Menanamkan ”Cip” Pancasila di Benak Generasi Muda
Di tengah sinisme terhadap parpol, hilangnya batas ideologi, dan sikap kosmopolit, generasi pemilih baru itu menantang partai-partai untuk melakukan pembaruan jika ingin tetap relevan. ”Partai yang dibutuhkan adalah partai tengah, yakni partai yang tidak terlalu ideologis atau yang sibuk terlibat dalam polarisasi, tetapi lebih mengedepankan kepentingan nyata dan pragmatis publik pemilihnya,” tutur Erwin.
Menurut dia, peran Golkar akan semakin optimal jika mampu berkembang menjadi partai progresif yang mengutamakan program pembangunan, terutama untuk memenuhi ekspektasi konstituen muda. Golkar memiliki modal karena mempunyai banyak ahli dari berbagai bidang yang mahir merumuskan politik ke dalam kebijakan pembangunan.
Persoalan kaderisasi dan elitis
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Rocky Gerung, sepakat bahwa Golkar memiliki banyak bahkan surplus teknokrat. Kelompok yang sangat dibutuhkan untuk membangun masa depan bangsa. Namun, mereka bukanlah orang-orang yang dihasilkan dari proses kaderisasi di internal partai, melainkan kelompok profesional yang bergabung ke parpol.
”Dalam proses menghasilkan itu, Golkar tidak menghasilkan political leader, tetapi political dealer. Mereka hadir bukan hasil dari leadership, melainkan dealership,” kata Rocky.
Padahal, menurut dia, parpol sebagai sebuah institusi dibangun untuk menghasilkan pemimpin bangsa. Untuk itu, dibutuhkan kaderisasi yang mumpuni untuk menanamkan nilai bangsa kepada kader-kader parpol. Tanpa kaderisasi yang matang, politisi yang dihasilkan parpol berpotensi menjadi sosok yang otoriter.
Peneliti Senior Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, mengatakan, jalan tengah yang diambil Golkar memang sejalan dengan realitas masyarakat Indonesia yang tidak menyukai pilihan ideologis secara ekstrem. Dalam konteks politik, publik juga menginginkan ”rumah” yang merepresentasikan kebinekaan. Akan tetapi, lebih dari soal wadah kemajemukan bangsa, parpol juga harus mengambil peran untuk merawat harmoni sosial.
Dalam proses menghasilkan itu, Golkar tidak menghasilkan political leader, tetapi political dealer. Mereka hadir bukan hasil dari leadership, melainkan dealership.
Siti melanjutkan, di samping mengutamakan nilai untuk meraih suara publik, Golkar semestinya juga menindaklanjuti itu dengan keberpihakan kepada masyarakat. Sebagai salah satu partai terbesar, Golkar dinilai masih elitis. Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh para politisi Golkar belum sepenuhnya mampu menjawab persoalan rakyat kecil.
”Bagi saya, Golkar masih kurang membumi. Tantangan Golkar ke depan harus menjadi partai wong cilik melalui kebijakan yang memberdayakan masyarakat dan mengentaskan (rakyat dari) kemiskinan. Masalah otonomi daerah juga harus dikedepankan karena suara yang didapatkan Golkar juga berasal dari desa dan daerah perbatasan,” kata Siti.
Terlepas dari itu, konsistensi menjadi partai tengah terbukti mampu membawa Golkar mengungkit kembali perolehan suara yang sebelumnya suram. Mampukah Golkar benar-benar kembali ke puncak kejayaannya setelah dua dekade berlalu pasca-Pemilu 2004?