Rencana Hak Angket Dimatangkan, Partai Pengusung Prabowo-Gibran Tegas Menolak
Bagi Demokrat, tidak ada urgensi DPR gunakan hak angket. Sementara PDI-P terus mematangkan syarat pengajuan hak angket.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan secara tegas menolak rencana penggunaan hak angket yang tengah dimatangkan oleh partai pengusung pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di DPR. Mereka melihat tidak ada urgensi dari penggunaan hak angket tersebut. Selain karena Pemilu 2024 sudah berjalan dengan baik, perolehan suara Prabowo-Gibran juga jauh dibandingkan dengan dua kandidat lain.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan, partai pengusung Prabowo-Gibran menghormati siapa pun di negeri ini yang menggunakan hak politiknya, termasuk jika partai pengusung Ganjar-Mahfud akan menggulirkan hak angket di DPR. Namun, terhadap usulan hak angket tersebut, Demokrat dan partai pengusung Prabowo-Gibran dipastikan akan tegas menolak.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Demokrat menolak. Kami menolak secara tegas. Walaupun kami menghormati siapa pun di negeri ini yang menggunakan hak politik. Hak politik itu, kan, berbagai format, berbagai cara, yang penting konstitusional,” ujar Agus seusai acara silaturahmi bersama dengan para kader Demokrat di kantor DPP Demokrat, Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Sebelumnya, Mahfud MD meyakini partai pengusungnya, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), akan menggulirkan hak angket di parlemen untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024. Dia menyebut, naskah akademik telah disusun dan tinggal menunggu langkah-langkah teknis, seperti mengumpulkan tanda tangan anggota DPR sebagai syarat mengajukan hak angket.
Agus melanjutkan, bagi Demokrat, tidak ada urgensinya menggulirkan hak angket. Sebab, menurut dia, Pemilu 2024 sudah berjalan dengan aman dan damai. ”Kalau ada kurang sana, kurang sini, ya wajar,” ucapnya.
Lagi pula, lanjut Agus, melihat hasil Pemilihan Presiden 2024 sampai dengan hari ini, pasangan Prabowo-Gibran memperoleh suara yang signifikan, bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dua pasangan lainnya.
”Ini sebuah realitas. Dan, tentunya sulit untuk melihat di situ ada, bisa dikatakan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Yang intinya, karena jaraknya juga jauh, saya pikir sulit untuk punya narasi seperti itu. Argumentasinya tidak kuat,” kata Agus.
Kami menolak secara tegas.
Terlepas dari itu, Agus mempersilakan kepada parpol yang ingin menggulirkan hak angket sejauh dibarengi argumentasi yang kuat. ”Tetapi, bagi kami, tidak cukup kuat karena jaraknya jauh, kecuali jaraknya cuma beda-beda tipis, 2-3 persen, margin of error. Tetapi, kalau jaraknya sampai seperti itu, bukan untuk menjadi besar kepala. Tetapi, paling tidak menunjukkan, memang dukungan rakyat ke Pak Prabowo itu besar,” katanya.
Pertemuan Paloh-Megawati
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim mengatakan, sejak awal hak angket diwacanakan oleh Ganjar, koalisi pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar berkomitmen kuat untuk mendukungnya. Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah mengadakan rapat, baik di tingkat sekjen maupun ketua umum, mengenai hal tersebut. Bahkan, juga sudah mempersiapkan administrasi untuk mengajukan hak angket di DPR.
Akan tetapi, kata Hermawi, pengusulan angket tak bisa dilakukan sendiri oleh Nasdem ataupun koalisi pengusung Anies-Muhaimin. Usulan angket juga harus diperkuat oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang merupakan partai pengusul awal dan pemilik kursi terbanyak di parlemen. ”Kalau PDI-P maju sendiri, pasti juga tidak menang. Kami (Nasdem, PKB, dan PKS) maju sendiri pasti tidak menang,” ujarnya.
Oleh karena itu, komunikasi dengan PDI-P terus dilakukan. Bahkan, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh juga tengah dikondisikan untuk bisa bertemu dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. ”Itu, kan, ada beberapa pihak yang dari awal menjadi penghubung (pertemuan Surya Paloh dengan Megawati). Kami masih menunggu, kami masih standby saja,” kata Hermawi.
Ia menegaskan, pertemuan dua ketua umum parpol itu penting karena jika hanya parpol pengusung Anies-Muhaimin yang mengusulkan hak angket, hasilnya tidak akan signifikan. Hasil yang signifikan diharapkan bisa diraih dengan bergabungnya Nasdem, PKB, dan PKS, dengan PDI-P.
”Kalau itu (hanya mengusulkan angket oleh 25 orang dari dua fraksi) itu (seperti) memberi harapan palsu kepada rakyat, (karena) nanti mentok juga di paripurna,” ujar Hermawi.
Jika pertemuan itu terjadi, lanjutnya, ia mengusulkan kedua belah pihak membuat kesepakatan yang dibakukan agar para pihak tetap satu suara selama hak angket itu ada. Kalau diperlukan, kesepakatan itu dilegalisasi secara hukum sebagai pembuktian keseriusan di hadapan publik.
Kendati demikian, menurut dia, komunikasi antarparpol mengenai pengusulan hak angket ini harus dilakukan secara hati-hati. Ia mengibaratkan seperti tengah memegang telur. Jika genggamannya terlalu kuat, maka bisa pecah. Namun jika dilepas, tujuannya bisa tidak tercapai.
Masih dimatangkan
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengungkapkan, saat ini pihaknya masih mematangkan rencana penggunaan hak angket DPR dengan mempertimbangkan berbagai skenario politik. Ini mengingat DPR masih terfragmentasi dan saat ini semua anggota legislatif masih fokus mengawal rekapitulasi secara berjenjang di daerah pemilihannya masing-masing.
”Naskah akademik masih disempurnakan agar memberikan gambaran yang lebih komprehensif, termasuk memasukkan hasil audit forensik terhadap Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi Suara) yang dilakukan oleh pakar IT,” katanya.
Ia menegaskan, di luar hak angket, hal lain yang sangat penting adalah membangun kesadaran bersama dalam melihat praktik Pemilu 2024 secara kritis, mulai dari pelanggaran etika, moral, rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi, hingga penyalahgunaan kekuasaan dengan melibatkan aparatur negara dan sumber daya negara. Hal ini penting diingatkan karena pemilu adalah urusan bersama sebagai bangsa.
”Jika kerusakan demokrasi tersebut tidak dihadapi bersama-sama, ke depan praktik tersebut akan dilegalkan dan muncullah Orde Baru Jilid II,” kata Hasto.
Hasto menyinggung momentum Pemilu 1971 yang kemudian menjadi basis legalitas politik represif Orde Baru hingga 27 tahun. Hal itu bisa terjadi karena intervensi kekuasaan yang besar kala itu. Alhasil, pemilu hanya menjadi formalitas pelanggengan kekuasaan Orde Baru.
”Jika apa yang terjadi saat ini dibiarkan, hal yang sama bisa terjadi kembali. Hal yang paling dikhawatirkan ketika model kecurangan dengan melibatkan negara tersebut direplikasi pada saat pilkada (pemilihan kepala daerah). Maka, pemilu hanya akan menjadi orkestrasi penguasa yang dibungkus dengan wajah populis,” ucapnya.