Menilik Dugaan Rasuah di Rumah Dinas DPR
Sejumlah perabot di rumah dinas DPR yang diadakan pada 2020 tak laik. Ukuran kasur janggal. Lemari ”oglek-oglek”.
Komisi Pemberantasan Korupsi mengendus dugaan rasuah dalam pengadaan sarana kelengkapan rumah dinas anggota DPR tahun 2020. Tujuh orang telah dicegah ke luar negeri. Bahkan, kabarnya, sudah ada tersangka dalam kasus ini. Jejak dugaan rasuah itu terlihat saat menilik sejumlah perabot di dalam rumah dinas tersebut.
Sebuah lemari pakaian berwarna coklat terlihat ”dianggurkan” di ruang tengah lantai 2, rumah dinas anggota DPR, Luqman Hakim, di Kalibata, Jakarta. Lazimnya, lemari itu menjadi ”pasangan” dari tempat tidur dan ditempatkan di kamar tidur. Namun, sang empunya rumah enggan menaruh lemari itu di kamarnya atau kamar lainnya di rumah tersebut. Kualitas lemari tersebut jadi pertimbangan utamanya.
”Kalau mau tahu kualitasnya, goyang-goyangin (lemarinya), itu oglek-oglek. Enggak simetris (pintu lemarinya) pula. Itu dari baru sudah kayak begitu. Makanya, saya taruh di luar, ngapain kayak gitu taruh di kamar,” ujar wakil rakyat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu saat ditemui di rumah dinasnya, Rabu (6/3/2024) malam. Belum lagi pintu lemari seperti tidak kukuh. Ia khawatir pintu lemari justru copot dan mencederai siapa pun yang hendak membukanya.
Tak hanya itu, sejumlah perabot lain seperti rak ataubuffettelevisi di ruang tamu juga sudah lapuk. Staf Luqman mengungkapkan, beberapa di antaranya bahkan sudah dimakan rayap sehingga tidak dapat dipakai lagi. Di perabot-perabot itu tertera stiker dengan tulisan angka 2020 yang berarti sejumlah perabot itu diadakan pada 2020.
”Memang, barang-barang itu masuk ke rumah sekitar akhir tahun 2020. Tetapi, beberapa (barang) enggak saya pakai. Tempat tidur saja saya bawa sendiri dari kontrakan saya yang lama karena yang dari DPR kualitas dipannya jelek dan ukuran kasurnya juga kecil,” ungkap Luqman.
Baca juga: Dugaan Korupsi Kelengkapan Rumah Jabatan Anggota DPR Capai Puluhan Miliar
Luqman sudah menempati rumah dinas dua lantai berukuran 250 meter persegi tersebut sejak Juli 2020. Ia lebih cepat menempati rumah dinas dibanding anggota-anggota dewan lain karena ia memakai jasa renovasi rumah yang dibayar menggunakan uang sendiri. Sebab, proses pengerjaan oleh kontraktor yang disewa Sekretariat Jenderal DPR terkesan lambat dan kualitas pengerjaannya juga tidak memuaskan.
Ia sampai harus membongkar kloset, shower, dan wastafel di kamar mandi yang tidak dikerjakan maksimal oleh tukang sebelumnya. Lalu, ia juga mengganti sejumlah pintu karena kualitasnya buruk, kemudian menambah lampu di ruang tamu lantai 1, memperbaiki cat tembok di semua ruangan, dan membeli gorden.
”Di ruang tamu, kalau saya tidak tambahi lampu, pasti remang-remang. Jadi, memang banyak sekali yang jelek kualitas, bahan, dan pengerjaannya,” ungkap Luqman.
Pada akhir 2022, ia juga sempat membongkar tangga rumahnya karena tangga yang lama sudah mulai digerogoti rayap. ”Dulu tangganya masih kayu, sempat saya biarkan saja. Lho, enggak sampai dua tahun dari pekerjaan, kok,sudah banyak rayap. Saya gantilah jadi keramik,” katanya.
Baca juga: Sidik Dugaan Korupsi Rumah Jabatan DPR, KPK Cekal Tujuh Orang ke Luar Negeri
Tak hanya di rumah dinas Luqman, sejumlah perabot yang disediakan oleh pihak Sekretariat Jenderal DPR di rumah dinas anggota DPR, Achmad Baidowi, bernasib sama. Menurut wakil rakyat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu, kondisi sejumlah perabot sudah rusak, seperti meja kecil, meja panjang, dan kursi-kursi kecil di ruang tamu.
”Orang agak bongsor sedikit duduk di kursi-kursi itu pasti tidak nyaman. Makanya ada juga kursi yang sudah patah,” ujarnya.
Sama seperti Luqman, Baidowi juga menyoroti soal ukuran tempat tidur yang kecil. Kasur yang disediakan oleh DPR hampir tidak mungkin dipakai untuk dua orang dewasa.
Meski demikian, ia tetap menghargai itu sebagai sebuah fasilitas dari negara sehingga ia tetap menggunakannya. ”Saya kalau tidur sama anak saya yang usia 7 tahun. Nah, itu kalau tidur sekasur, enggak muat. Kadang saya hampir jatuh sakingkasurnya kecil,” ucap Baidowi.
Baca juga: Sidik Dugaan Korupsi Rumah Jabatan DPR, KPK Bakal Panggil BURT
”Mark up” anggaran
Itu hanya sebagian contoh kecil atas kondisi perabot di rumah jabatan DPR. Masalah perabot di rumah jabatan DPR ini jadi sorotan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pengadaannya. Kerugian negara yang ditimbulkan diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, dalam kasus ini terjadi mark up atau menaikkan harga dan persekongkolan. ”Katanya (harganya) mahal, padahal di pasar tidak seperti itu,” ungkapnya.
Menurut dia, tersangka dalam perkara ini sudah ditetapkan sejak enam bulan lalu. Namun, ia enggan menyebutkan nama para tersangka.
Sejauh ini, KPK sudah mencegah tujuh orang yang diduga terlibat dalam kasus ini untuk pergi ke luar negeri. Berdasarkan sumber Kompas, mereka yang dicegah ialah Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, Kepala Bagian Pengelolaan Rumah Jabatan DPR Hiphi Hidupati, Direktur Utama PT Daya Indah Dinamika Tanti Nugroho, Direktur PT Dwitunggal Bangun Persada Juanda Hasurungan Sidabutar, Direktur Operasional PT Avantgarde Production Kibun Roni, Project Manager PT Integra Indocabinet Andrias Catur Prasetya, dan Edwin Budiman dari pihak swasta.
Kompas sudah mencoba menghubungi Sekjen DPR Indra Iskandar untuk mengetahui duduk persoalan ini, tetapi belum ada balasan hingga berita ini diturunkan.
Pekerja merampungkan renovasi atap Gedung Nusantara DPR atau yang dikenal dengan nama Gedung Kura-kura di Kompleks DPR, Jakarta, Jumat (25/11/2022).
Anggota Dewan Penasihat Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam, berpandangan, jika benar kualitas perabot buruk, korupsi yang terjadi berarti sudah kelewat batas. Artinya, para tersangka tidak hanya menggelembungkan anggaran, tetapi juga menurunkan kualitas barang demi mendapat keuntungan yang berlipat-lipat.
”Situasi ini sangat mungkin terjadi. Swasta tentu akan menurunkan spesifikasi agar mendapatkan selisih keuntungan yang besar. Selisih keuntungan itu kemudian juga dibagi ke pejabatnya untuk menutup fee. Ketika sudah nyetor ke pejabat, semua sudah terkondisikan dan kualitas barang tidak sesuai spesifikasi pun tidak dipersoalkan,” ucap Roy.
Usut keterlibatan pihak lain
Roy menduga penggelembungan anggaran ini sudah didesain sejak awal perencanaan anggaran. Hal ini berkaca pada kasus-kasus korupsi pengadaan barang dan jasa yang sudah banyak terbukti sebelumnya. Biasanya, mereka yang terlibat menyusun harga perkiraan sendiri dan tidak diuji kembali. Dari sini, mereka bisa mengutak-atik harga seenaknya. Pejabat pemerintahan pun akhirnya mencari bawahan atau panitia pengadaan hingga pihak swasta yang bisa diajak kongkalikong.
”Jadi, niatnya memang (anggaran) mau dikorupsi sehingga proses pengadaan barang dan jasa juga tidak akuntabel. Saya kira kasus korupsi ini tidak hanya melibatkan satu aktor, tetapi pasti berjemaah. Tidak hanya pihak di dalam lembaga, tetapi perlu diusut juga siapa lagi pihak di luar lembaganya yang ikut bermain, seperti auditornya,” tutur Roy.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan pula, menurut Roy, pihak Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR ikut berperan dalam kasus ini. BURT merupakan salah satu alat kelengkapan DPR. Tugas BURT antara lain menetapkan kebijakan kerumahtanggaan DPR dan mengawasi Setjen DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR.
”Saya melihat, peran BURT enggak maksimal memelototi anggaran. Seharusnya mereka bisa mengawasi kerja kesetjenan. Nah, enggak tahu juga kalau BURT ikut cawe-cawe dalam kasus ini, tetapi potensinya selalu ada dan patut pula ditelusuri,” kata Roy.
Namun, Ketua BURT DPR Agung Budi Santoso menepis hal itu. Ia berharap semua pihak tetap menghargai asas praduga tidak bersalah. Apalagi, sampai saat ini KPK memberikan penjelasan rinci perkara dugaan rasuah tersebut. ”Kita tunggu saja proses selanjutnya dan saya meyakini semua proses di DPR sudah dilakukan sesuai ketentuan,” ucap Agung.
Pihaknya pun menghargai langkah KPK untuk mendalami kasus dugaan korupsi proyek pengadaan sarana kelengkapan rumah jabatan DPR.
Baca juga: KPK: Sistem Lelang Berbasis Elektronik Diakali Persekongkolan
Menurut Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan, modus korupsi melalui mark up anggaran merupakan modus klasik dan jamak dilakukan oleh pejabat negara. Celah korupsi ini terus terjadi karena modusnya sederhana dan cepat mendapat keuntungan.
”Apalagi kasusnya di 2020. Pasti nanti ada alibi bahwa pengadaan barang dan jasanya dalam keadaan darurat Covid-19. Ini yang seharusnya terus ditelusuri oleh KPK, tidak hanya pada pengadaan perabot dan sarana-prasarana rumah jabatan DPR,” ujar Misbah.
Menurut Misbah, kemungkinan besar para tersangka dan mereka yang diduga terlibat akan berdalih pengadaan barang jasa tersebut sebagai pengadaan darurat akibat Covid-19. Memang, ada Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 13 Tahun 2018 yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa dalam penanganan kondisi darurat.
Namun, ia menilai, pengadaan mebel rumah dinas dan semacamnya tidaklah termasuk dalam pengadaan dalam situasi darurat. Karena itu, para tersangka justru dapat dikenai pasal mencari keuntungan di tengah situasi krisis kesehatan dan krisis ekonomi saat itu. ”Dan ini hukumannya lebih berat,” tegasnya.