Kepentingan politik berpotensi menggagalkan upaya PDI-P dalam pengajuan hak angket. PDI-P menepis spekulasi itu.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semua partai yang mewacanakan hak angket terkait dugaan kecurangan Pemilu 2024 berharap banyak kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemilik kursi DPR terbanyak. Namun, PDI-P sendiri masih gundah mengambil keputusan. Tidak bisa dimungkiri, berbagai manuver politis mulai membebani langkah mereka untuk mengajukan hak angket.
Wacana pengajuan hak angket mulai disuarakan dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (5/3/2024). Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PDI-P meminta pimpinan DPR untuk memaksimalkan fungsi pengawasan komisi, hak angket ataupun hak interpelasi, demi mengoreksi pelaksanaan Pemilu 2024.
Meskipun begitu, belum ada sikap tegas dari semua partai tersebut. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, semua partai masih maju-mundur karena sedang menghitung potensi keuntungan atau kerugian jika mengajukan hak angket. Mereka tidak ingin pulang dengan ”tangan kosong”.
”Kalkulasi politiknya sedang dihitung betul. Jangan sampai hak angket itu tidak melahirkan apa pun. Yang mereka inginkan, kan, mengungkap dugaan kecurangan pemilu. Itu harus gol. Agendanya juga harus sesuai target, jangan sampai malah tidak dapat dukungan di DPR. Kalau tidak, kan bisa kalah dua kali,” ujar Adi saat dihubungi.
Beban paling berat terletak di PDI-P. Mereka dijadikan ujung tombak oleh partai-partai lain. Jika PDI-P mundur, nyaris mustahil pengajuan hak angket bisa berhasil di DPR. Di sisi lain, partai pemenang Pemilu 2019 itu juga sedang dalam kondisi dilematis. Mereka harus mengambil keputusan bijak dengan berbagai manuver politis yang ada.
Kalkulasi politiknya sedang dihitung betul. Jangan sampai hak angket itu tidak melahirkan apa pun. Yang mereka inginkan, kan, mengungkap dugaan kecurangan pemilu. Itu harus gol.
PDI-P, jika terus maju, akan mengambil posisi berlawanan langsung dengan pemerintah di periode selanjutnya. Menurut Adi, hal itu berpotensi merugikan PDI-P dalam banyak hal, salah satunya kehilangan posisi ketua DPR. Mereka terancam mengulang kisah pahit seperti setelah Pemilu 2014.
”Bisa saja ada utak-atik UU MD3 untuk mengubah ketentuan pemilihan ketua DPR. Kan, palang pintunya di situ. Itu terjadi di 2014 saat PDI-P menang pemilu legislatif, tetapi tidak menjadi ketua DPR. Bukan tidak mungkin ada upaya menggembosi lagi. Apalagi PDI-P tidak menang mutlak di pemilu kali ini, sangat dekat dengan Golkar,” tambah Adi.
PDI-P masih mengkaji hak angket
PDI-P masih belum memastikan langkah selanjutnya terkait hal angket. Menurut politikus PDI-P, Aria Bima, pihaknya belum membuka pembicaraan dengan partai lain. Mereka fokus mempersiapkan naskah akademik hak angket agar bisa dipertanggungjawabkan. Pembuatan melibatkan beberapa ahli dari akademisi dan juga praktisi.
”Ada dasar, ada tujuan, ada dampak, kemudian ada prasyarat-prasyarat angket yang secara akademisi harus dipertanggungjawabkan.Jadi tentu tidak semua hal terkait dengan hal politis. Kami masih mengkaji betul mana wilayah (yang bisa dibawa) dalam angket nanti,” jelas Aria seusai rapat paripurna.
Meskipun belum pasti diajukan, PDI-P masih memiliki sikap yang sama seperti sebelumnya. Mereka ingin hak angket tetap digelar demi perbaikan demokrasi, terutama dalam praktik dugaan kecurangan pemilu. Adapun calon presiden yang diusung PDI-P, Ganjar Pranowo, sempat berkata, ada kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada pemilu kali ini.
”DPR tidak boleh menutup mata dengan apa yang terjadi di dalam pelaksanaan pileg dan pilpres kali ini. Ini berbeda dengan pemilu 2019, 2014, 2009, maupun 2004. Politik uang sudah tidak normal lagi. Satu suara bisa sejuta, 400 (ribu), 300 (ribu). Ini apa-apaan. Dibarengi elite yang tidak paham menjaga marwah demokrasi Pancasila, DPR harus bereaksi,” pungkas Aria.
Berdasarkan jajak pendapat Litbang Kompas pada 26-28 Februari 2024, sebanyak 62,2 persen responden setuju jika DPR menggunakan wewenangnya untuk menyelidiki dugaan kecurangan di pilpres. Survei melibatkan 512 responden dari 38 provinsi. Meskipun begitu, sebanyak 40,6 persen yang setuju, meyakini hak angket tidak akan terwujud.
Terdapat setidaknya lima partai pengusung capres nomor urut 1 dan 3 yang dikabarkan akan bersatu untuk mengajukan hak angket. Mereka adalah PDI-P, PKS, PKB, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jika semua berkomitmen sampai akhir, hak angket bisa disetujui.