Bagai Pungguk Merindukan Hak Angket
Hak angket krusial untuk pembelajaran demokrasi. Namun, harga itu mungkin terlalu mahal bagi parpol.
Hak angket terkait dugaan kecurangan pemilu perlu diwujudkan untuk menunjukkan esensi pengawasan DPR. Namun, sangat sulit untuk mencapai proses tersebut. Partai politik yang semula berwacana mengajukan hak angket masih terus berhitung. Hitungan itu mulai dari soal potensi keberhasilan hak angket sampai kepentingan politik masing-masing.
Wacana pengajuan hak angket disuarakan dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (5/3/2024). Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) meminta pimpinan DPR untuk memaksimalkan fungsi pengawasan komisi, hak angket ataupun hak interpelasi, demi mengoreksi pelaksanaan Pemilu 2024.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan, dugaan kecurangan Pemilu 2024 perlu dibuka ke publik. Ada dua cara, lewat jalur hukum dengan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan jalur politik dengan hak angket DPR.
Baca juga: PDI-P, PKB, dan PKS Gulirkan Wacana Hak Angket Pemilu di Rapat Paripurna DPR
”Logika kenapa di MK sulit (untuk dikabulkan) karena ada keterbatasan waktu. Proses di MK itu cuma 14 hari, sementara angket lebih leluasa, 60 hari. Pihak yang bisa dipanggil lebih banyak, sedangkan di MK serba terbatas. Saksi yang dihadirkan terbatas pula,” kata Charles saat dihubungi, Selasa (5/3/2024).
Dengan waktu yang terbatas di MK, kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sulit dibuktikan Karena itu, jalur lewat hak angket akan lebih efektif. Menurut Charles, DPR seharusnya tidak diam melihat dugaan kecurangan yang sudah tersebar luas di masyarakat.
”Kami mendorong hak angket digunakan. Kalau tidak (ada angket), tidak sehat. Dorongan ini sebenarnya juga bagian dari menuntut karena bukan untuk kepentingan parpol saja, melainkan juga kepentingan publik. DPR punya fungsi pengawasan, lho. Sudah pada ribut begini, kok, diam saja,” tutur Charles.
Selain itu, penggunaan hak angket pun bisa menjadi bagian dari proses pendidikan politik bagi masyarakat. Publik, tambahnya, akan melihat apakah fungsi-fungsi kenegaraan seperti angket akan ”ditransaksikan” atau tidak. Pelaksanaan hak itu menjadi peringatan pula bagi Presiden agar tidak bertindak seenaknya.
”Masyarakat akan tahu partai mana yang betul-betul berjuang untuk rakyat dan mana yang kemudian hanya untuk transaksional saja. Presiden juga tidak bisa enak-enak saja. Ada yang mengawasi,” ujar Charles.
Hal serupa disampaikan oleh mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. ”Jadi, (angket) ini bisa untuk menyadarkan seluruh publik di republik ini bahwa pelanggaran yang terjadi di mana-mana tak boleh dibiarkan. Harus diungkap meskipun tidak bisa mengubah hasil pemilu,” ujarnya.
Kepentingan politik
Penerapan hak angket mungkin ideal untuk edukasi masyarakat dan perbaikan demokrasi pada masa depan. Namun, hal itu belum tentu ideal bagi partai politik yang berwacana mengajukan hak angket. Seperti diketahui, mereka berpotensi tersandera dengan berbagai kepentingan politik.
Buktinya, belum ada sikap tegas dari semua partai. Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, semua partai masih maju-mundur karena sedang menghitung potensi keuntungan atau kerugian jika mengajukan hak angket. Mereka tidak ingin pulang dengan ”tangan kosong”.
”Kalkulasi politiknya sedang dihitung betul. Jangan sampai hak angket tidak melahirkan apa pun. Yang mereka inginkan, mengungkap dugaan kecurangan pemilu. Itu harus gol. Agendanya pun harus sesuai target. Jangan sampai malah tidak mendapat dukungan di DPR. Kalau tidak, kan bisa kalah dua kali,” ujar Adi saat dihubungi.
Baca juga: Beban Politis PDI-P Wujudkan Hak Angket
Beban paling berat terletak di PDI-P. Mereka dijadikan ujung tombak oleh partai-partai lain. Jika PDI-P mundur, nyaris mustahil pengajuan hak angket berhasil di DPR. Di sisi lain, partai pemenang Pemilu 2019 itu sedang dalam kondisi dilematis. Mereka harus mengambil keputusan bijak dengan berbagai manuver politis yang ada.
PDI-P, jika terus maju, akan mengambil posisi berlawanan langsung dengan pemerintah di periode selanjutnya. Menurut Adi, hal itu berpotensi merugikan PDI-P dalam banyak hal. Salah satunya, kehilangan posisi ketua DPR. Mereka terancam mengulang kisah pahit seperti setelah Pemilu 2014.
”Bisa saja ada utak-atik UU MD3 untuk mengubah ketentuan pemilihan ketua DPR. Kan, palang pintunya di situ. Itu terjadi di 2014 saat PDI-P menang pemilu legislatif, tetapi tidak menjadi ketua DPR. Bukan tidak mungkin, ada upaya menggembosi lagi. Apalagi PDI-P tidak menang mutlak di pemilu kali ini, sangat dekat dengan Golkar,” tambah Adi.
Parpol belum bersikap
PDI-P belum memastikan langkah selanjutnya terkait hal angket. Menurut politikus PDI-P, Aria Bima, pihaknya belum membuka pembicaraan dengan partai lain. Mereka fokus mempersiapkan naskah akademik hak angket agar bisa dipertanggungjawabkan. Pembuatan melibatkan beberapa ahli dari akademisi dan praktisi.
”Ada dasar, ada tujuan, ada dampak, kemudian ada prasyarat-prasyarat angket yang secara akademisi harus dipertanggungjawabkan. Jadi, tentu tidak semua hal terkait dengan aspek politis. Kami masih mengkaji betul mana wilayah (yang bisa dibawa) dalam angket nanti,” jelas Aria seusai Rapat Paripurna DPR.
Meskipun belum pasti mengajukan, PDI-P masih memiliki sikap yang sama seperti sebelumnya. Mereka ingin hak angket digelar demi perbaikan demokrasi, terutama dalam praktik dugaan kecurangan pemilu. Adapun calon presiden yang diusung PDI-P, Ganjar Pranowo, berkata, ada kecurangan TSM pada pemilu kali ini.
”DPR tidak boleh menutup mata dengan apa yang terjadi di dalam pelaksanaan pileg dan pilpres kali ini. Hal ini berbeda dengan pemilu 2019, 2014, 2009, serta 2004. Politik uang sudah tidak normal lagi. Satu suara bisa sejuta, 400 (ribu), 300 (ribu). Ini apa-apaan. Dibarengi elite yang tidak paham menjaga marwah demokrasi Pancasila, DPR harus bereaksi,” ujar Aria.
Sebagai salah satu parpol pendukung calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, PKS menyatakan partai koalisi lainnya, Nasdem dan PKB, tetap solid untuk mengajukan hak angket agar tidak mental di tengah jalan.
Sikap tersebut disampaikan oleh politikus PKS, Mardani Ali Sera. Menurut Mardani, hak angket penting untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu. ”Catatan terhadap Pemilu 2024 sudah banyak diangkat. Untuk perbaikan demokrasi, hak angket layak diperjuangkan, tetapi proses politiknya tidak mudah dan publik perlu terus mengawal,” ucapnya.
Baca juga: Kebimbangan PKS di Persimpangan Hak Angket
Meskipun begitu, PKS masih bimbang karena menunggu sikap dari partai pendukung lain. PDI-P merupakan pemegang kursi terbanyak saat ini dan motor utama pengajuan hak angket. Tanpa PDI-P, nyaris mustahil pengajuan hak angket terus bergulir.
”Saya pribadi yakin (pengajuan akan tetap dilakukan). Namun, PKS tentu juga ingin agar partai pendukung 01 dan 03 solid, khususnya PDI-P yang saat ini masih menjadi bagian dari pemerintahan (Presiden) Pak Jokowi,” tambah Mardani.
Politikus Partai Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, Nasdem siap menjadi bagian dan mendukung hak angket. Namun, Partai Nasdem menunggu persiapan inisiator penggunaan angket, yaitu PDI-P, mengingat hak angket harus terukur dan dipersiapkan dengan matang.
”Tentu kita menginginkan agar fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintahan ini berjalan, termasuk dalam pertanggungjawaban terkait penggunaan anggaran negara yang tidak boleh menjadi alat politik; netralitas aparat, dan institusi negara dalam pemilu serta kewajiban negara menjaga demokrasi dan negara hukum,” papar Taufik.
Pada akhirnya, tidak ada yang pasti di politik. Partai-partai pengusung capres yang kalah pemilu memang ingin membuktikan kecurangan. Namun, bukan tidak mungkin, mereka mengalah demi kepentingan yang lebih besar dan menguntungkan. Karena itu, tidak heran jika isu hak angket akan berakhir seperti peribahasa, ”Bagai pungguk merindukan bulan”.