Milad Ke-66, Haedar Nashir Terus Konsisten di Jalur Moderat
Haedar Nashir memandang moderasi sebagai jalan tengah untuk mempertahankan sikap kritis menghadapi perubahan sosial.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Umum Pimpinan Pusat MuhammadiyahHaedar Nashir memasuki usia 66 tahun. Buah pikirannya masih konsisten berada di jalur moderasi beragama. Gagasan moderasi beragama itu terangkum dalam nalar intelektual serta refleksi pengalaman panjangnya selama mengabdi di Persyarikatan Muhammadiyah.
Milad ke-66 Haedar dirayakan dengan peluncuran buku bertajuk Jalan Baru Moderasi Beragama Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin (4/3/2024) malam. Buku setebal 528 halaman itu merangkum tulisan dari 27 cendekiawan dan agamawan. Secara garis besar, buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompasitu berisi buah pikiran sepanjang hidup Haedar.
Selain Haedar, hadir sejumlah pejabat negara, seperti Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo; Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan; Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim; dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Ada pula Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla; hingga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Uskup Agung Ignatius Suharyo, Pemimpin Umum Harian Kompas Lilik Oetama, dan Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Bagi Haedar, menjadi moderat berarti hadir sebagai jembatan penghubung dan jalan tengah dalam setiap kondisi yang terdapat pertentangan. Konsekuensinya harus siap untuk dimusuhi. ”Semua orang harus merefleksi diri menghadapi realitas. Yuk, kita urai hal-hal yang keliru atau salah. Harus ada ketulusan kolektif,” ujarnya.
Dalam bagian pengantar buku diungkapkan, kontribusi terbesar Haedar bagi Muhammadiyah adalah perannya dalam mengawal eksistensi persyarikatan itu di tengah gelombang pasang ideologi Islam kanan pascareformasi. Muhammadiyah bisa mempertahankan sikap moderat, tetapi selalu kritis dan progresif dalam memandang perubahan sosial.
Semua orang harus merefleksi diri menghadapi realitas. Yuk, kita urai hal-hal yang keliru atau salah. Harus ada ketulusan kolektif.
Abdul Mu’ti mengatakan, Haedar konsisten berada di jalan tengah moderasi beragama saat upaya deradikalisasi kaum ekstremis digaungkan negara. Pandangan bahwa deradikalisasi merupakan bentuk ekstrem baru terus dipegang Muhammadiyah. Akhirnya, moderasi menjadi pilihan dan program pemerintah.
”Moderasi itu sering dianggap berbeda, sering dikritik. Menjadi moderat dianggap mengambang dan tidak jelas. Moderasi bukan sikap di mana kita lembek, mengiyakan semua kemauan, tetapi menempuh prinsip Muhammadiyah dan membawanya dengan pendekatan tak ekstrem,” jelasnya.
Jusuf Kalla menambahkan, konsep moderasi beragama tidak terlepas dari modernisasi, khususnya lewat pendidikan. Sebab, moderasi lahir karena adanya perkembangan pola berpikir dan pertemuan dengan budaya-budaya baru.
Pada dasarnya, perbedaan antaragama hanya terdapat pada penafsiran. Konflik-konflik yang mengatasnamakan agama sebetulnya sebatas bentuk ketidakadilan politik. Walakin, pihak yang berkepentingan membesar-besarkannya lewat agama.
”Konflik Poso, Ambon, agama dibawa karena ketidakadilan politik. Demokrasi yang tiba-tiba muncul menyebabkan perbedaan situasi politik,” kata Kalla.
Meskipun begitu, cara pandang Haedar memosikan diri untuk mengubah lewat pendidikan. Hanya lewat moderasi beragama Indonesia bisa bersatu dan mempertahankan keberagaman yang ada. Sebab, semua pihak mengutamakan titik tengah.
Transformasi
Kardinal Ignatius Suharyo berpandangan, Haedar mengusung jalan baru atau transformasi dalam tubuh Muhammadiyah. Transformasi organisasi ini bersumber dari transformasi pribadi—sosok Haedar. Dalam konteks tersebut, titik awalnya adalah penghayatan agama secara otentik.
”Alangkah indahnya transformasi berjalan terus berkat pengaruh dari Muhammadiyah. Ini semua tentu pada menuju cita-cita kemerdekaan bangsa,” katanya.
Menurut Susi Pudjiastuti, dirinya dan Haedar merupakan dua orang yang bertolak belakang serta berbeda. Haedar dinilai sebagai orang yang tegas, sederhana, tetapi kalem dan lemah lembut. Sementara Susi itu tegas, keras, dan memakai pendekatan langsung. ”Tapi, setiap kali ngobrol kami cocok. Ini mungkin karena latar belakang kami,” tuturnya.
Adapun Susi dibesarkan di lingkungan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Namun, ayahnya menerapkan moderasi dan membebaskan Susi. Kebebasan itu diberikan agar Susi bisa membaca apa pun, berteman dengan siapa pun, dan memahami banyak hal.