Moderasi beragama kerap disuarakan dari waktu ke waktu. Namun, untuk membumikan dan mewujudkannya perlu keterlibatan banyak pihak, tak terkecuali publik.
Oleh
NINA SUSILO, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, MAWAR KUSUMA WULAN
·4 menit baca
Moderasi beragama di Indonesia kerap dibanggakan di panggung internasional. Namun, hal ini tentu perlu diupayakan dan dilestarikan. Pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin semestinya bisa memainkan peran yang lebih kuat dalam mendorong moderasi beragama. Latar belakang Ma’ruf Amin sebagai pemimpin agama bisa dimanfaatkan untuk lebih berperan.
Hal ini pun menjadi salah satu fokus Wapres Amin dalam sisa masa tugasnya, seperti pernah disampaikan Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi melalui keterangan tertulis, akhir April lalu. Menurut Masduki, dalam sisa waktu dua tahun masa dinasnya, Wapres Amin akan fokus menyelesaikan tugas-tugas sesuai mandat yang diembannya.
Tugas dimaksud terkait pengembangan ekonomi syariah, penanganan kemiskinan dan stunting (tengkes), serta pembangunan kesejahteraan Papua. Selain itu, menuntaskan reformasi birokrasi dan pelayanan publik; penguatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); hingga moderasi beragama.
Khusus soal moderasi beragama, Wapres sering mengingatkannya di berbagai kesempatan. Salah satunya seperti saat memimpin rapat yang membahas status kemajuan pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia atau UIII sebagai salah satu proyek strategis nasional di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (2/3/2022). Indonesia disebutnya telah menjadi salah satu pusat kajian peradaban Islam dunia. Hal ini terutama karena keberhasilan pelaksanaan Islam wasathiyah atau moderat yang sekarang menjadi tren global.
Harapan dan semangat moderasi beragama ini juga dibawa Wapres Amin saat ke daerah dan menunaikan ibadah shalat di masjid-masjid di daerah.
Narasi kerukunan juga diingatkan untuk selalu dikedepankan dalam dakwah masjid. Salah satunya disampaikan Wapres Amin ketika menerima secara virtual Pengurus Masjid Raya Baiturrahim Jayapura Papua, Rabu (27/4/2022). Wapres Amin menekankan bahwa pengembangan masjid harus mengedepankan narasi kerukunan. Apalagi di wilayah seperti Papua yang disebut Wapres sebagai salah satu daerah percontohan tentang kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
”Saya minta dakwah yang dijalankan di Masjid Baiturrahim ini, dakwah yang sifatnya narasi-narasi atau ungkapan-ungkapan kerukunan sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dan membangun kerja sama dengan agama-agama yang lain,” pesannya.
Secara simbolik, toleransi antarumat beragama bisa dilihat dari keberadaan Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal yang berdekatan, hanya dipisahkan oleh seruas jalan di ibu kota negara. Penganut agama Islam dan Katolik yang beribadat di kedua tempat itu sudah kerap menunjukkan sikap moderasi beragama saat tiba waktu ibadat masing-masing agama. Keberadaan terowongan silaturahmi yang menghubungkan di antara kedua kompleks tempat ibadat sejak September 2021 itu pun kian menguatkan toleransi antarumat yang telah terjalin.
Saat meninjau pembangunan terowongan tersebut pada Jumat, (27/8/2021), Wakil Presiden Ma’ruf Amin menuturkan bahwa Terowongan Silaturahmi punya makna mendalam. ”Terowongan ini punya makna yang dalam. Tidak hanya sekadar lambang, tetapi juga memberikan inspirasi terbangunnya kerukunan antarumat,” katanya.
Formulasi bersama
Tentu, simbol akan menjadi tak bermakna ketika semangat moderasi beragama ini tak betul-betul dihidupkan di masyarakat. Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan, pemerintah melalui Wapres Amin bisa mengambil prakarsa dialog antarkomponen agama. Dari dialog ini, bisa dicari formula yang disepakati bersama mengenai moderasi beragama.
Formulasi yang dirumuskan dan disepakati bersama ini penting supaya tidak terjebak pada tafsir tunggal pemerintah yang monolitik tentang kebijakan moderasi beragama. ”Moderasi beragama harus benar-benar moderat dan menggunakan pendekatan moderat. Bukan casing-nya moderat, tapi isi dan pendekatannya malah radikal liberal dan otoriter,” ujar Haedar.
Selain itu, moderasi beragama diharap tidak membawa mazhab atau kepentingan golongan agama tertentu yang pada akhirnya akan bias aliran. Haedar menilai, hal ini menjadi krusial dan pembahasan mengenai substansi dan konstruksi apa itu moderasi beragama belum selesai.
Ketika rumusan formulasi yang disepakati bersama diperoleh melalui dialog, hal ini akan menyentuh akar rumput. Sebab, menurut Haedar, sejatinya arus utama orientasi keagamaan komunitas di akar rumput adalah moderat. Ini menyatu dengan karakter masyarakat Indonesia yang juga moderat.
”Mereka yang radikal bukan arus utama. Maka, pemerintah jangan salah mengonstruksikan radikalisme dan moderasi beragama secara gebyah-uyah atau dengan pandangan liberal yang dekonstruksionistik atau deterministik. Nanti, bisa-bisa ’ikan’-nya tidak dapat,’'kolam’-nya telanjur keruh,” ujar Haedar lagi.
Untuk itu, pemerintah, baik Wapres Amin maupun Kementerian Agama, diharapkan lebih terbuka dan bersedia mendengarkan berbagai pandangan mengenai apa moderasi beragama, pendekatannya, dan kebijakan yang akan membawa aspirasi banyak pihak serta membawa maslahat kepada masyarakat umum.
Ini akan mendorong moderasi dan toleransi beragama semakin teguh. Namun, tentu, tanpa upaya untuk merumuskan, membumikan, dan mewujudkannya di bumi Indonesia, moderasi agama hanya akan menjadi slogan.