DPR Belum Berencana Cabut Revisi UU Pilkada, Putusan MK Masih Dikaji
Rencana merevisi UU Pilkada untuk mempercepat jadwal pilkada masih akan berlanjut meski MK melarangnya.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat belum berencana mencabut revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang bertujuan untuk memajukan jadwal Pilkada 2024. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan agar pilkada tetap dilaksanakan sesuai jadwal, yakni November 2024, masih akan dikaji kembali.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, revisi UU No 10/2016 tentang Pilkada masih berjalan sesuai dengan prosedur. Akhir November lalu, DPR telah menyepakati revisi UU Pilkada yang bertujuan untuk memajukan jadwal pilkada dari November ke September 2024 itu menjadi rancangan undang-undang (RUU) usul inisiatif DPR. Usulan tersebut juga sudah disampaikan kepada pemerintah.
”Saat ini kami masih menunggu surpres (surat presiden) dan DIM (daftar inventarisasi masalah) pemerintah. Dan akan berkoordinasi dengan pimpinan DPR dan fraksi-fraksi,” kata Supratman, Senin (4/3/2024), di Jakarta.
Ia tidak memungkiri, Putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 29 Februari lalu memuat larangan untuk mengubah jadwal Pilkada 2024. Akan tetapi, putusan tersebut masih akan dibahas di lingkup internal Baleg DPR. ”Kami akan melihat putusan MK dulu, apakah itu (larangan mengubah jadwal Pilkada 2024) amar putusan atau bagaimana,” kata Supratman.
Meski tak merinci jadwal yang dimaksud, ia memastikan, pembahasan terhadap putusan MK akan dilakukan segera. DPR baru akan kembali memasuki masa sidang pada Selasa (5/3/2024) setelah reses sejak awal Februari hingga Maret 2024.
Politisi Partai Gerindra itu tidak membantah bahwa di DPR belum ada pembicaraan untuk membatalkan revisi UU Pilkada. Tidak hanya di Baleg, pembahasan juga belum ada di fraksi-fraksi partai politik di DPR, salah satunya fraksi Partai Gerindra. ”Kami masih menunggu arahan pimpinan fraksi,” ujar Supratman.
Kompas telah menanyakan sikap pemerintah terhadap Putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang muncul di tengah rencana revisi UU Pilkada kepada Pelaksana Harian Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Yudia Ramli. Namun, hingga Senin siang, Yudia tidak menjawab pertanyaan yang disampaikan melalui pesan singkat. Yudia juga tak merespons panggilan telepon dari Kompas.
Akhir Februari lalu, MK mengeluarkan putusan atas perkara uji materi UU Pilkada melalui sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo. Dalam putusan yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, MK menegaskan bahwa pilkada harus digelar sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan, yakni pada November 2024. Penegasan dimaksud disampaikan dalam bagian pertimbangan Putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024.
MK menilai, pengubahan jadwal pilkada dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak. Pilkada pun harus dilaksanakan secara konsisten untuk menghindari tumpang tindih tahapan krusial Pilkada 2024 dengan tahapan Pemilu 2024 yang juga belum tuntas. MK juga menyatakan bahwa penting untuk mengikuti jadwal pilkada serentak yang telah ditegaskan dalam Pasal 201 Ayat (8) UU Pilkada, yakni dilaksanakan pada November 2024.
Selain disebut dalam UU Pilkada dan diperkuat putusan MK, Komisi Pemilihan Umum sebenarnya juga telah menetapkan pemungutan suara Pilkada 2024 pada 27 November mendatang. Akan tetapi, DPR mengusulkan percepatan jadwal pilkada dari November 2024 ke September 2024. Usulan perubahan jadwal itu termuat dalam draf revisi UU Pilkada yang sudah diusulkan kepada pemerintah.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengingatkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, menurut dia, putusan MK yang melarang pengubahan jadwal Pilkada 2024 seharusnya dipatuhi oleh pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
Ia menambahkan, salah satu pertimbangan MK untuk memerintahkan pilkada serentak tetap diselenggarakan pada November 2024 adalah terkait dengan kesiapan penyelenggara pemilu. Saat ini, KPU telah menyiapkan tahapan dan program untuk menggelar pilkada pada November.
Jika jadwal diubah melalui revisi UU Pilkada, tambahnya, maka akan ada perubahan di tengah masih berjalannya tahapan Pemilu 2024. Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada dan pemilu berpotensi tumpang tindih.
”Implikasinya adalah tahapan pilkada akan dimulai lebih awal, sementara saat ini penyelenggara pemilu masih disibukkan dengan tahapan pemilu nasional yang belum selesai,” ujar Khoirunnisa.
Tak hanya itu, menurut Khoirunnisa, implikasi terhadap pemilih juga perlu dipertimbangkan. Selama ini tingkat partisipasi pemilih terhadap pilkada umumnya lebih rendah ketimbang pemilu. ”Ini perlu jadi pertimbangan juga, karena bisa jadi pemilih bosan kalau jaraknya (pilkada) terlalu dekat dengan pemilu,” katanya.