MK Perintahkan Pilkada Tetap Digelar November 2024
MK menilai, mengubah jadwal pilkada dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas pilkada serentak.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menegaskan, pemilihan kepala daerah harus digelar sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yakni pada November 2024. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih tahapan-tahapan krusial Pilkada Serentak 2024 dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai.
Penegasan itu disampaikan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) pada putusan perkara uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang dibacakan dalam sidang di gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2/2024). MK menilai, mengubah jadwal dimaksud akan dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak.
”Oleh karena itu, pilkada harus dilakukan sesuai dengan jadwal dimaksud secara konsisten untuk menghindari adanya tumpang tindih tahapan-tahapan krusial Pilkada Serentak 2024 dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai,” kata hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh saat membacakan pertimbangan putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024 dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
MK menyatakan, penting untuk mengikuti jadwal pilkada serentak yang sudah ditegaskan dalam Pasal 201 Ayat (8) UU Pilkada. Pasal itu mengatur, pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Sebenarnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah menetapkan pemungutan suara Pilkada 2024 digelar pada 27 November 2024. Namun, saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah mengusulkan percepatan pilkada, dari November menjadi September 2024. Usulan itu termuat dalam draf revisi UU Pilkada yang sudah diajukan kepada pemerintah. DPR tinggal menunggu surat presiden berisi persetujuan pembahasan bersama revisi UU Pilkada tersebut.
Caleg tak perlu mundur
Dalam perkara tersebut, sebenarnya pasal yang diuji materi adalah Pasal 7 Ayat (2) huruf s UU Pilkada yang menyatakan anggota DPR, DPRD, dan DPD harus mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai calon kepala daerah ataupun calon wakil kepada daerah. Pemohon, yakni dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia bernama Ahmad Alafizy dan Nur Fauzi Ramadhan, meminta MK mengatur kewajiban mengundurkan diri bagi calon anggota legislatif (caleg) terpilih yang akan mengikuti kontestasi sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada 2024. Dengan demikian, harapannya tidak hanya anggota legislatif saja yang wajib mundur ketika maju pilkada, tetapi juga caleg terpilih.
Pilkada harus dilakukan sesuai dengan jadwal dimaksud secara konsisten untuk menghindari adanya tumpang tindih tahapan-tahapan krusial Pilkada Serentak 2024 dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai.
Namun, MK menolak permohonan tersebut. Sebab, MK berpandangan, kewajiban pengunduran diri bagi anggota legislatif, baik pusat maupun daerah, lebih karena adanya potensi penyalahgunaan kewenangan dan gangguan kinerja sebagai anggota DPR, DPRD, ataupun DPD. Saat yang bersangkutan belum menjadi anggota legislatif definitif, maka syarat pengunduran diri menjadi tidak relevan untuk diberlakukan.
”Meski demikian, melalui putusan perkara a quo penting bagi Mahkamah untuk menegaskan agar Komisi Pemilihan Umum mempersyaratkan bagi calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi menjadi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPR apabila tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah,” kata Daniel.
MK tidak sepakat dengan dalil para pemohon yang menyatakan bahwa diperbolehkannya caleg terpilih menjadi calon kepala daerah membuat calon tersebut mengingkari amanat konstitusien/pemilih, serta menjadikan status sebagai caleg terpilih menjadi second option atau pilihan kedua bagi yang bersangkutan. Bagi MK, pemilih tetap memiliki keleluasaan atau kebebasan untuk menentukan apakah calon yang bersangkutan memiliki kapabilitas dan integritas untuk menduduki jabatan elected official tertentu.
”Karena, pemilih pada hakikatnya adalah sebagai pengguna, user, dari calon anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD, serta calon kepala daerah yang bersangkutan,” kata Daniel.
Oleh karena itu, menurut MK, belum diakomodasinya persoalan tersebut di atas tidak harus membuat MK memperluas makna norma Pasal 7 Ayat 2 huruf s UU Pilkada. Persoalan tersebut cukup diakomodasi dengan penambahan syarat harus mengundurkan diri jika telah dilantik sebagai anggota legislatif.
”Terlebih, pengunduran diri calon anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD sebelum ditetapkan sebagai anggota justru hal tersebut berpotensi mengabaikan prinsip kebersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945, bukan serta-merta melanggar hak warga negara, termasuk hak para pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh para pemohon,” kata Daniel.