Meski Konstitusional, Empat Hakim MK Nilai Pembentukan UU Kesehatan Cacat Formil
Diwarnai pendapat berbeda dari empat hakim konstitusi, MK menyatakan, pembentukan UU Kesehatan tidak cacat formil.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Suara sembilan hakim konstitusi terbelah saat menilai konstitusionalitas proses pembentukan Undang-Undang atau UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang dibuat dengan metode omnibus atau sapu jagat. Lima hakim menilai proses pembentukan UU Kesehatan sudah konstitusional meskipun tanpa melibatkan Dewan Perwakilan Daerah. Sementara itu, empat hakim lainnya menilai pembentukan UU Kesehatan cacat formil sehingga harus dibatalkan secara keseluruhan.
Empat hakim konstitusi yang menilai pembentukan UU Kesehatan cacat formil adalah Suhartoyo, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra yang saat ini adalah Wakil Ketua MK, Enny Nurbaningsih yang merupakan juru bicara MK, dan Ridwan Mansyur. Sementara itu, lima hakim konstitusi yang setuju dengan pengundangan UU Kesehatan adalah Arief Hidayat, Arsul Sani, Anwar Usman, Daniel Yusmic P Foekh, dan Guntur Hamzah.
Dengan selisih satu suara, MK menyatakan UU Kesehatan konstitusional dan menolak permohonan yang diajukan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI), Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (PP IBI) dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI).
Organisasi-organisasi profesi di bidang kesehatan ini meminta MK membatalkan UU Kesehatan secara keseluruhan karena cacat formil. Hal ini karena dalam proses pembentukannya tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta dilakukan dengan melanggar partisipasi bermakna (meaningfull participation).
Dalam pertimbangan penolakannya, MK mengulas kembali kewenangan DPD dalam pembahasan sebuah produk perundangan-undang. Ada dua kewenangan DPD, yaitu ikut membahas dan memberikan pertimbangan dalam pembahasan suatu rancangan undang-undang (RUU).
DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Adapun kewenangan DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dan Presiden hanya untuk pembahasan RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
MK kemudian menilai apakah UU Kesehatan termasuk dalam kategori produk legislasi di mana DPD harus dilibatkan baik untuk ikut membahas dan memberikan pertimbangan. Dalam pandangannya, MK menyatakan, UU Kesehatan memang mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan daerah mengingat UU tersebut secara komprehensif mengatur tentang kesehatan dalam multidimensinya.
Hanya, UU itu tidak mengatur secara khusus mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pengaturan di dalam UU 17/2023 hanya berkaitan dengan ihwal kesehatan.
”Pada kenyataannya, irisan-irisan terkait daerah ada di hampir setiap undang-undang. Jika pembahasan RUU yang memiliki irisan mengenai daerah demikian harus melibatkan DPD sehingga hampir semua proses pembentukan undang-undang akan melibatkan DPD untuk ikut membahas atau memberikan pertimbangan, yang pada akhirnya tidak ada perbedaan antara fungsi DPD dan DPR,” kata hakim konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan.
MK juga mencermati fakta bahwa DPD tidak mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam pengujian UU Kesehatan meskipun MK sudah memberitahukan adanya pengujian formil UU Kesehatan. MK berkesimpulan bahwa DPD tidak mempersoalkan ketidakterlibatannya dalam pembentukan UU No 17/2023 tersebut.
”Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, rancangan UU No 17/2023 yang pembahasannya tidak melibatkan DPD dan tidak juga meminta pertimbangan DPD, menurut Mahkamah, tidak membuat UU No 17/2023 menjadi cacat formil sebagaimana didalilkan oleh para pemohon,” tegas Guntur Hamzah.
Substansi ”dissenting opinion”
Sementara itu, empat hakim berpandangan, DPD haruslah dilibatkan dengan variasi keterlibatan yang berbeda-beda. Suhartoyo, misalnya, menilai DPR dan Presiden wajib meminta pertimbangan DPD. Hal ini mengingat substansi UU Kesehatan yang disahkan pada 8 Agustus 2023 tersebut juga memuat ketentuan terkait dengan daerah.
Misalnya, Pasal 97 terkait pendidikan kesehatan, Pasal 173 terkait akses pendidikan pada fasilitas pelayanan kesehatan, dan Pasal 187 yang memuat ketentuan mengenai rumah sakit pendidikan yang berfungsi sebagai tempat pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan secara terpadu.
Oleh karena itu, dengan berlandaskan pada ketentuan Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-X/2012, DPR dan Presiden berkewajiban untuk meminta pertimbangan DPD, khususnya terkait norma yang berkaitan dengan pendidikan. Sebab, hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari kepentingan-kepentingan daerah.
”Sekalipun DPR dan Presiden dapat atau tidak menyetujui pertimbangan yang disampaikan DPD, tetapi oleh karena hal tersebut merupakan syarat formal yang harus dipenuhi agar produk sebuah rancangan undang-undang menjadi baik, dan fakta-fakta hukum dalam persidangan membuktikan tidak dilakukannya permintaan oleh DPR dan Presiden kepada DPD, sehingga secara formil menjadikan rancangan undang-undang tersebut cacat hukum, sekalipun hanya pada bagian yang berkaitan dengan pendidikan,” kata Suhartoyo.
Lebih jauh lagi Saldi Isra justru berpandangan DPD wajib ikut membahas RUU Kesehatan. Sebab, substansi atau materi yang diatur di dalam UU No 17/2023 itu berkaitan atau setidaknya bersinggungan dengan persoalan otonomi daerah dan hubungan antara pusat dan daerah.
DPD semestinya ikut membahas RUU Kesehatan sejak pembahasan tingkat pertama oleh komisi atau panitia khusus DPR. Hal ini dimulai sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan dan membahas daftar inventaris masalah, serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir pembahasan tingkat I.
DPD juga semestinya ikut menyampaikan pendapat pada pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. ”Namun, jangankan terlibat ikut membahas, pertimbangan saja tidak dimintakan (ke DPD) oleh pembentuk UU 17/2023,” kata Saldi yang berkesimpulan ada cacat formil dalam pembentukan UU Kesehatan.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Ridwan Mansyur pun berpandangan sama. DPD semestinya dilibatkan dalam pembahasan UU Kesehatan.
Ridwan Mansyur mengatakan, keterlibatan DPD dibutuhkan dalam tahapan pembahasan RUU Kesehatan mengingat UU tersebut dibentuk dengan metode omnibus law yang berdampak luas dan strategis.
Pelibatan DPD menjadi penting dalam kerangka politik hukum otonomi daerah. Hal ini karena keterlibatan DPD merupakan penyeimbang antara kepentingan pusat dan daerah.