Koalisi Masyarakat Antikorupsi Minta Penahanan dan Tuntaskan Kasus Firli
Urgensi penanganan kasus dugaan korupsi Firli Bahuri agar cepat dibawa ke persidangan adalah penahanan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
Mantan Ketua KPK Abraham Samad, mantan anggota KPK Saut Situmorang, mantan anggota KPK Muhammad Jasin, mantan penyidik KPK Novel Baswedan, dan peneliti ICW Kurnia Ramadhana yang mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menunjukkan surat yang ditujukan kepada Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jumat (1/3/2024). Surat yang diserahkan melalui loket sekretaris umum Mabes Polri ini terkait lambatnya penanganan kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Firli Bahuri terhadap bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang terjerat kasus korupsi dan ditangani KPK.
JAKARTA, KOMPAS — Penanganan perkara bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan atau penerimaan gratifikasi oleh Polda Metro Jaya dinilai lambat. Meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 100 hari yang lalu, Firli belum juga ditahan oleh pihak kepolisian.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) bersama dengan beberapa mantan unsur pimpinan KPK, seperti Abraham Samad, Saut Situmorang, dan Mochammad Jasin, pun mendatangi Markas Besar Polri di Jakarta, Jumat (1/3/2024). Mereka mengantarkan surat kepada Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan meminta pengawasan penanganan perkara dugaan korupsi yang dilakukan Firli.
”Ketika terjadi perlambatan proses, maka yang dilanggar adalah profesionalitas penyidik dalam hal memeriksa perkara. Ketika kita bandingkan dengan kasus lain yang begitu cepat, kasus ini yang sudah terang benderang begitu lambat,” kata Ketua PBHI Julius Ibrani.
Menurut Julius, ada urgensi penanganan kasus ini agar cepat selesai sehingga bisa dibawa ke persidangan untuk menentukan siapa yang salah. Kasus ini tidak berdiri sendiri karena melibatkan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang beperkara di KPK. Di balik perkara pemerasan, juga terdapat kasus gratifikasi. Kasus ini juga terjadi secara sistematik dan struktural.
Ketika terjadi perlambatan proses, maka yang dilanggar adalah profesionalitas penyidik dalam hal memeriksa perkara. Ketika kita bandingkan dengan kasus lain yang begitu cepat, kasus ini yang sudah terang benderang begitu lambat.
Julius mengatakan, beban penanganan perkara ini ada pada penyidik. Karena penyidik bertanggung jawab langsung kepada Kapolri, pihaknya meminta Kapolri untuk memonitor langsung dan mendorong agar penanganan perkara ini menjadi prioritas. Mereka juga mendorong penahanan terhadap Firli dipercepat.
”Karena satu-satunya kewenangan untuk memastikan durasi pemeriksaan adalah penahanan. Dalam konteks upaya paksa penahanan, penyidik dibatasi waktu dan tidak boleh melampaui batas waktu itu,” jelasnya.
Karena satu-satunya kewenangan untuk memastikan durasi pemeriksaan adalah penahanan. Dalam konteks upaya paksa penahanan, penyidik dibatasi waktu dan tidak boleh melampaui batas waktu itu.
Jasin menjelaskan, kasus pemerasan hukuman maksimalnya hanya lima tahun, tetapi gratifikasi hukumannya bisa mencapai 20 tahun. Dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun, harus ada penahanan terhadap Firli.
Ia dan Saut Situmorang pun telah menjadi saksi ahli untuk mengungkap apakah Firli layak atau tidak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Jasin mendorong Kapolri agar segera menahan Firli demi menjaga keamanan agar pelaku tidak menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatan, dan melarikan diri.
Agar tidak timbul konflik kepentingan, Jasin juga mendorong Bareskrim Polri menangani perkara ini. Sebab, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto pernah menjadi bawahan Firli ketika masih di KPK.
Hukum harus adil, bermanfaat dan pasti
Saut mengingatkan, hukum harus adil, bermanfaat, dan pasti. Ia menegaskan, Firli sudah bermasalah sejak bekerja di KPK mulai dari menjadi deputi hingga pimpinan. Karena itu, ia datang ke Mabes Polri untuk mendapatkan kepastian demi kebermanfaatan hukum dan keadilan. Ketiga hal itu dapat terwujud ketika Firli ditahan.
Mantan penyidik KPK Novel Baswedan yang turut hadir mendampingi perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengatakan, apa yang dilakukan oleh masyarakat untuk meminta ketegasan dalam penanganan perkara ini adalah bagian dari kepedulian terhadap KPK. Penuntasan perkara ini sangat dibutuhkan karena perbuatan korupsi di KPK kemungkinan tidak hanya satu.
Kalau perkara ini segera diusut tuntas, kita tentunya berharap perkara-perkara lain yang terkait yang dilakukan di KPK bisa diusut juga. Tentunya kita semua tidak suka dan kita marah ketika praktik korupsi dilakukan di KPK. Bayangkan lembaga yang memberantas korupsi justru malah berbuat korupsi.
”Kalau perkara ini segera diusut tuntas, kita tentunya berharap perkara-perkara lain yang terkait yang dilakukan di KPK bisa diusut juga. Tentunya kita semua tidak suka dan kita marah ketika praktik korupsi dilakukan di KPK. Bayangkan lembaga yang memberantas korupsi justru malah berbuat korupsi,” kata Novel.
Menurut Novel, penuntasan perkara ini juga dibutuhkan agar tidak muncul berbagai persepsi di publik. Karena itu, penyidikan perkara ini juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Kompas sudah meminta penjelasan kepada Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Ade Safri Simanjuntak dan Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Komisaris Besar Arief Adiharsa terkait pertimbangan Firli belum ditahan. Namun, keduanya belum merespons.