Pilkada 2024 Tetap November, Mahfud: Bisa Cegah Dugaan Intervensi Jokowi
Pilkada 2024 yang tetap digelar November dinilai Mahfud bagus untuk hentikan dugaan pengendalian oleh Presiden Jokowi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/ 2024 yang menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah atau pilkada harus digelar sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan dalam undang-undang, yakni November 2024. Menurut dia, putusan itu bagus untuk menghentikan dugaan langkah-langkah Presiden Joko Widodo mengendalikan Pilkada Serentak 2024.
”Jadwal pilkada itu, kan, tepatnya 27 November 2024. Namun, ada yang mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada sehingga bisa dimajukan pelaksanaannya menjadi September 2024 dengan alasan lebih mudah,” ujar Mahfud ditemui seusai berolahraga santai di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat (1/3/2024).
Mahfud ada yang beralasan memajukan pilkada dari November ke September 2024 supaya pelaksanaan pilkada serentak itu lebih mudah. Ada pula yang berpandangan pemerintahan yang baru dibentuk tidak bisa mengendalikan pelaksanaan pilkada.
Padahal, menurut Mahfud, birokrasi pemerintahan sebenarnya tetap sama. Pihak di pemerintahan yang berganti hanyalah elected official atau presiden, wakil presiden, dan para menterinya.
”Sehingga masyarakat sipil lalu menduga usul pengajuan revisi UU Pilkada menjadi bulan September itu hanya untuk memberi waktu dan peluang kepada Pak Jokowi untuk bisa mengatur pilkada di seluruh Indonesia,” kata Mahfud.
Mahfud juga mengapresiasi dua mahasiswa penggugat konstitusionalitas jadwal pilkada, yaitu Ahmad Alafarizy dan Nur Fauzi Ramadhan, dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurut dia, dua mahasiswa itu cerdas karena bisa mencium gelagat tak baik sehingga kemudian mereka menggugat ke MK.
”MK juga kemudian kembali ke hati nuraninya. MK memutus bahwa pilkada harus tetap sesuai jadwal, yaitu 27 November 2024. Dengan demikian, pilkada diselenggarakan pada saat pemerintahan sudah baru nanti,” ujarnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu berharap MK yang putusannya sudah mulai bagus itu kembali ke hati nuraninya. Ia berharap keberanian itu dilanjutkan demi Indonesia yang lebih baik.
Masyarakat sipil lalu menduga usul pengajuan revisi UU Pilkada menjadi bulan September itu hanya untuk memberi waktu dan peluang kepada Pak Jokowi untuk bisa mengatur pilkada di seluruh Indonesia.
Seperti diberitakan sebelumnya, di tengah rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada untuk mempercepat jadwal pilkada, MK menegaskan bahwa pilkada harus digelar sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan dalam undang-undang itu, yakni pada November 2024. Hal tersebut guna menghindari tumpang tindih tahapan krusial pilkada dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai.
”Mengubah jadwal dimaksud akan dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak,” kata hakim konstitusi, Daniel Yusmic P Foekh, saat membacakan pertimbangan putusan Nomor 12/PUU-XXII/ 2024 pada sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan arti penting mengikuti jadwal pilkada serentak yang sudah ditegaskan dalam Pasal 201 Ayat (8) UU Pilkada. Sebagai aturan turunan dari pasal tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Peraturan KPU No 2/2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pilkada 2024 yang menetapkan pemungutan suara pilkada digelar pada 27 November.
Mengubah jadwal dimaksud akan dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak.
RUU Daerah Khusus Jakarta
Lebih lanjut, Mahfud juga meminta masyarakat agar mengawal pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Undang-Undang DKJ memang harus dibuat karena sudah ada UU tentang Ibu Kota Negara. Namun, ada substansi pasal bermasalah dan bisa mengecoh jika pembentuk undang-undang tidak berhati-hati.
Gubernur DKI Jakarta yang semula dipilih langsung oleh rakyat, di RUU DKJ disebut bisa ditunjuk dan diangkat oleh Presiden karena Jakarta sudah tidak lagi daerah khusus ibu kota. Sejauh ini, masyarakat sipil tidak setuju dengan usulan tersebut.
Oleh karena itu, kesepakatan pertama adalah Gubernur Daerah Khusus Jakarta akan dipilih dua nama oleh DPR dan diserahkan kepada Presiden. Selanjutnya, baru presiden menentukan satu nama dari usulan DPR itu.
Menurut Mahfud, hal itu juga berpotensi kronisme sehingga ia meminta masyarakat mengawal RUU DKJ tersebut. Selain itu, partai politik di DPR juga diminta untuk tetap menolak gagasan pemilihan, kecuali pemilihan langsung oleh rakyat.
Hal-hal itu harus terus dikawal bersama. ”Masyarakat harus tetap menolak. Itu adalah akal-akalan baru untuk ikut cawe-cawe, tidak jujur di dalam pemilihan gubernur Jakarta,” kata Mahfud.