Usulan Penunjukan Langsung Gubernur Jakarta Picu Kontroversi
Lebih banyak tokoh atau pihak menentang ketimbang mendukung presiden menunjuk gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta diharapkan melibatkan banyak pihak terkait, termasuk kalangan masyarakat Betawi. Sebab, draf yang beredar di publik, utamanya yang menyangkut penunjukan langsung gubernur Jakarta oleh presiden memantik kontroversi di kalangan masyarakat.
Poin yang diatur di dalam Pasal 10 Ayat (2) RUU Daerah Khusus Jakarta itu menimbulkan pro dan kontra. Pasal dari aturan yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI itu menyebutkan, presiden menunjuk, mengangkat, dan memberhentikan gubernur dan wakil gubernur Jakarta dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD.
Padahal dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan RI, dijelaskan bahwa gubernur dan wakil gubernur sebagai kepala pemerintahan perlu memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat dan memperhatikan warga Jakarta yang multikultural.
Maka, dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, pasangan calon harus memperoleh dukungan suara pemilih lebih dari 50 persen dari jumlah perolehan suara yang sah untuk ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Budayawan dari Lembaga Kebudayaan Betawi, Yahya Andi Saputra, menyayangkan adanya Pasal 10 Ayat 2 RUU Daerah Khusus Jakarta. Mekanisme seperti itu harus dibatalkan atau dirancang ulang sebab demokrasi bukan untuk memuaskan dahaga berkuasa segelintir orang. Demokrasi justru benar-benar menunjukkan kedaulatan rakyat.
”Presiden menunjuk gubernur dan wakil gubernur itu langkah mundur ke zaman jahiliah. Rancangan yang ingin mengembalikan kenikmatan segelintir orang. Satu kalimat, cegah kepandiran ideologis dan kejahatan budaya,” kata Andi, Minggu (10/12/2023).
Menurut Andi, tokoh Betawi tidak akan berpangku tangan dengan adanya Pasal 10 Ayat 2 RUU Daerah Khusus Jakarta. Semua elemen masyarakat mesti kompak menolak mekanisme yang merenggut hak 10,67 juta warga Jakarta.
Seniman ini juga mengingatkan bahwa akan selalu ada orang atau pihak yang girang dengan Pasal 10 Ayat 2. Mereka bakal memanfaatkan keadaan atau mengambil keuntungan dari aturan yang bertentangan dengan kepentingan umum.
Ketua Komisi Informasi DKI Jakarta Harry Ara Hutabarat turut menyayangkan tidak terbukanya informasi tentang pembahasan RUU Daerah Khusus Jakarta. Alhasil semua warga hanya terkaget-kaget terhadap rencana perubahan kebijakan ke depan (RUU Daerah Khusus Jakarta). Pola demikian selalu berujung pada sistem hukum yang akan dibangun harus terus diuji formil dan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
”Negara ini bukan milik sekelompok orang saja. Pejabat adalah pelayan yang memfasilitasi agar semua undang-undang berjalan dengan baik. Bukan memonopoli semua kebijakan, membuat kemunduran dengan kualitas serba instan dalam menentukan kebijakan yang akan menguntungkan kelompok tertentu saja,” ucap Harry.
Partisipasi masyarakat dan keterbukaan informasi tidak boleh dilupakan atas alasan apa pun. Warga punya hak sebagaimana dalam Pasal 28F UUD 1945, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Harry meminta masyarakat untuk menggunakan haknya agar mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Kemudian mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, dan pengelolaan badan publik yang lebih baik.
”Semuanya untuk penyelenggaraan negara yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan. Masyarakat wajib tahu alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidupnya,” kata Harry.
Usulan
RUU Daerah Khusus Jakarta menjadi usul inisiatif DPR diputuskan dalam rapat paripurna ke-10 masa persidangan II tahun 2023-2024, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/12/2023). Dari sembilan fraksi, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak RUU tersebut.
Merujuk informasi dari laman resmi DPR, Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui RUU itu dibahas lebih lanjut dalam rapat pleno di Gedung DPR, Senin (4/12/2023). Dari sembilan fraksi yang telah menyampaikan pandangan mini, sebanyak delapan fraksi menyetujui dengan catatan dan satu fraksi menolak.
Pasal 28F UUD 1945, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Anggota Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan mengusulkan dana abadi kebudayaan paling sedikit 2,5 persen dari APBD DKI Jakarta. Ini untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap perkembangan budaya lokal sehingga tidak terpinggirkan di tengah kemajuan Jakarta sebagai pusat perekonomian dan kota global.
Selanjutnya, Fraksi Partai Gerindra berpandangan gubernur dan wakil gubernur perlu ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan tetap memperhatikan usul atau pendapat DPRD. Salah satunya untuk mengakomodasi usulan Badan Musyawarah (Bamus) Betawi 1982 dalam rapat dengar pendapat umum dan implementasi dari partisipasi masyarakat sesuai Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal itu menyebutkan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pemberian masukan dilakukan secara daring atau luring.
Untuk diketahui saat ini, ada dua bamus di Jakarta, yaitu Bamus Betawi 1982 dan Bamus Betawi.
Baca juga: Ramai-ramai Tolak Mekanisme Presiden Tunjuk Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta
Masih dari informasi dalam laman resmi DPR, Baleg menerima audiensi Bamus Betawi 1982 dan Kaukus Muda Betawi, Kamis (9/11/2023). Dalam audiensi, titik temu yang ingin diperkuat ialah pelestarian kebudayaan Betawi.
Ketua Bamus Betawi 1982 Zainuddin mengusulkan gubernur dan wakil gubernur ditunjuk oleh presiden. Gubernur dan wakil gubernur diharapkan merepresentasikan masyarakat Betawi.
Dia juga mengusulkan wali kota dan wakil wali kota dipilih langsung melalui pilkada, diakomodasinya Lembaga Adat Betawi dalam RUU, dan adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah seperti daerah khusus lain.
Kontroversi
Pasal 10 Ayat 2 kemudian jadi kontroversi. Lebih banyak pihak menentang ketimbang mendukung presiden menunjuk gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Ketua Bamus Betawi 1982 Zainuddin mengatakan, usulan tersebut bukan pesanan dari pihak tertentu atau kepentingan segelintir orang. Usulan sudah dipertimbangkan selama 6-7 bulan dalam berbagai rapat atau pertemuan. Salah satu kekhususannya adalah representasi masyarakat Betawi yang jumlahnya 28 persen untuk mempertahankan nilai dan budaya Betawi.
”Kami minta cantumkan satu pasal ditunjuk oleh presiden. Representasi mewakili putra daerah (Betawi). Kalau gubernurnya Betawi, wakilnya bukan atau gubernurnya bukan, maka wakilnya Betawi,” ucap Zainuddin.
Baca juga: Gubernur Jakarta Ditunjuk Presiden atas Usul DPRD, Demokrasi Pun Dinilai Dipreteli
Hal berbeda diutarakan Ketua Umum Bamus Betawi Riano P Ahmad. Sah-sah saja setiap orang atau lembaga mengusulkan adanya Pasal 10 Ayat 2. Akan tetapi, penunjukan oleh presiden merupakan langkah mundur, mencederai demokrasi yang sudah berjalan baik, dan mengebiri hak 10,67 juta warga Jakarta.
”Sejak 2007 sampai sekarang, pilkada berjalan baik. Jadi adanya usulan dipilih presiden bertentangan dengan aturan yang sudah ada,” ujar Riano.
Senada dengan Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta Mujiyono. Penunjukan oleh presiden merupakan kemunduran dalam demokrasi. Gubernur dan wakil gubernur harus dipilih oleh warga secara langsung agar memiliki legitimasi yang kuat.
”Legitimasi untuk mengatasi berbagi kompleksitas permasalahan di Jakarta. Ke depan, Jakarta akan menjadi pusat perekonomian dan kota global,” ucap Ketua Komisi A DPRD DKI itu.
Menurut Mujiyono, pertimbangan biaya pemilihan yang mahal tidak dapat dijadikan alasan untuk membajak suara warga dalam memilih pemimpinnya. Sebaliknya, pembahasan kekhususan Jakarta harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Contoh konkretnya, mengundang DPRD DKI Jakarta, DPD DKI Jakarta, perwakilan atau tokoh masyarakat Jakarta, akademisi, dan lainnya. Jangan membuat kebijakan publik yang bernilai besar dan strategis tanpa mendengarkan aspirasi dari masyarakat.