Audiensi dengan KPU Tuai Kritik, MK Dianggap Tak Netral
Audiensi MK dan KPU dikritik karena dinilai bertentangan dengan prinsip imparsialitas dan indepensi kekuasaan kehakiman.
JAKARTA, KOMPAS — Audiensi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dengan Komisi Pemilihan Umum pada awal pekan ini dikritik oleh para pakar hukum tata negara. Walaupun hanya membahas soal teknis sengketa hasil pemilu, hal itu dinilai bertentangan dengan prinsip imparsialitas dan independensi kekuasaan kehakiman. Sebab, Komisi Pemilihan Umum adalah pihak yang beperkara.
Dilansir dari Kompas.com, sejumlah pejabat Mahkamah Konstitusi (MK) mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Senin (26/2/2024). Juru Bicara MK Fajar Laksono Suroso menyebut bahwa kedua belah pihak membahas simulasi dan gambaran-gambaran lini masa penyelesaian sengketa pemilihan presiden (pilpres). Salah satunya membahas kemungkinan putusan sengketa hasil pilpres bisa selesai sebelum Lebaran pada 10 April 2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, saat dihubungi, Kamis (29/2/2024), berpandangan, pilihan lokasi audiensi itu cukup janggal karena berada di kantor KPU. Biasanya, pihak yang ingin mendapatkan kejelasan dari MK mendatangi Gedung MK.
Di luar itu, Feri mengingatkan, MK adalah kekuasaan kehakiman dan lembaga peradilan sehingga janggal untuk menerima pihak beperkara sendirian.
”Semestinya dalam adab yang bisa dipahami dalam pertemuan pihak-pihak yang beperkara disertakan semua pihak. Selain KPU, ada Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Bahkan, tim sukses pasangan calon nomor urut 1, 2, dan 3 juga harus ikut kalau bicara sengketa pilpres,”” ujar Feri.
Feri khawatir pertemuan itu tidak hanya membahas teknis lini masa penyelesaian sengketa pilpres, tetapi juga upaya mempermudah proses sengketa hasil pilpres. Lagi-lagi hal itu janggal karena semua pihak belum tahu permohonan apa yang akan dibawa ke MK. Audiensi itu pun menimbulkan spekulasi bahwa MK telah bertindak tidak netral.
”Harus dijelaskan kepada publik apakah pertemuan itu disepakati oleh MK atau ada oknum yang secara kreatif ingin melakukan itu tanpa menimbangkan sikap yang seharusnya dilakukan oleh lembaga peradilan,” ujar Feri.
Baca juga: Konsistensi Menjaga Netralitas di Pemilu 2024
Sebagai lembaga kehakiman, menurut Feri, MK harus menjunjung tinggi kode etik. Salah satunya adalah lembaga peradilan dilarang berperilaku tidak berimbang. Apalagi, jika para pejabat MK itu membawa pesan dari hakim konstitusi. Hal itu jelas-jelas melanggar kode etik.
”Target beperkara di MK itu bukan (menyelesaikan putusan sengketa hasil pilpres sebelum) Lebaran, tetapi bagaimana menemukan keadilan,” kata Feri.
Guru Besar Hukum Tata Negara Susi Dwi Harijanti menambahkan, dalam perspektif hukum tata negara, MK harus tunduk pada asas-asas kekuasaan kehakiman, yaitu independensi dan imparsialitas. Untuk lini masa penanganan sengketa pilpres pun sebenarnya sudah ada kerangka hukumnya, yaitu Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
”Pembahasan soal lini masa sengketa pilpres itu tidak urgen sama sekali karena seharusnya diputuskan di persidangan. Bukan dengan cara audiensi dengan pihak beperkara seperti itu,” ujar Susi.
Baca juga: Mengkritik Kinerja dan Netralitas KPU
Oleh sebab itu, Susi juga menilai bahwa audiensi antara MK dan KPU itu tidak lazim. Pertemuan itu justru menciptakan spekulasi dan syak wasangka bahwa MK tidak independen dan imparsial dalam menangani sengketa pilpres.
”Justru malah memicu dugaan-dugaan bahwa MK tidak independen, (tidak) adil, karena dia malah mendatangi pihak termohon (KPU),” imbuhnya.
Spekulasi-spekulasi yang menyertai pun, menurut Susi, justru berbahaya bagi kepercayaan publik terhadap lembaga MK. Sebab, selama ini kepercayaan publik terhadap MK sudah tercoreng sejak Putusan Nomor 90 Tahun 2023 yang menjadi karpet merah bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka.
Target beperkara di MK itu bukan (menyelesaikan putusan sengketa hasil pilpres sebelum) Lebaran, tetapi bagaimana menemukan keadilan.
Seharusnya, setelah putusan yang dinyatakan melanggar etik oleh Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) itu, MK lebih berhati-hati dalam bertindak. Tidak hanya hakim konstitusi, tetapi para pegawai kesekretariatan jenderal MK juga semestinya berhati-hati dalam bertindak.
Para pencari keadilan
Terpisah, Ketua Tim Hukum Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ari Yusuf Amir, juga menyayangkan audiensi itu. Sebab, sebelumnya di antara timses paslon presiden dan wakil presiden sudah pernah ada rapat pembahasan mengenai lini masa penyelesaian sengketa pilpres. Kala itu, menurut dia, keputusannya adalah penyelesaian sengketa pilpres kemungkinan setelah Lebaran.
”Kami tidak tahu ada upaya apa kemudian sampai KPU mencoba mempercepat proses ini. (Oleh) Karena bagi kami yang penting adalah substansinya, baik mulai dari penghitungan harus hati-hati dan teliti karena kita tahu banyak masalah yang muncul, termasuk Sirekap,” kata Ari.
Baca juga: Sempat Berhenti, Unggahan Data Sirekap Kembali Diperbarui
Ari menyebut bahwa tak bijak bagi MK dan KPU memutuskan sepihak sengketa pilpres harus selesai sebelum Lebaran. Sebab, proses pembuktian, keterangan saksi, ahli, dan argumentasi membutuhkan waktu. Ia berharap semua pihak memperhatikan keadilan substantif jangan hanya sebatas formalitas belaka.
Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis, menambahkan, tempo penyelesaian sengketa pilpres sudah ditetapkan 14 hari kerja. Menurut dia, MK harus memberikan waktu sesuai dengan undang-undang bagi para pencari keadilan untuk mengajukan permohonan sesuai dengan argumentasi hukumnya. Selain itu, juga untuk menghadirkan saksi fakta dan saksi ahli.
”Kalau MK dan KPU menargetkan sengketa pilpres selesai sebelum Idul Fitri, ini tidak akan membuat persoalan sengketa pilpres selesai dengan memuaskan. Dan, tidak juga akan mencapai keadilan bagi semua pihak, terutama pemohon,” kata Todung.
Baca juga: Memahami Perihal Sengketa Pilpres 2024 di MK
Ia menggarisbawahi bahwa pemilu kali ini adalah pemilu yang paling banyak pelanggaran dan kecurangan. Hal ini mulai intervensi kekuasaan, politisasi bantuan sosial, kriminalisasi kepala desa, dan sebagainya. Oleh sebab itu, ia berpandangan tidak adil jika ada wacana dari MK atau KPU untuk mempercepat penyelesaian sengketa pilpres menjadi sebelum Lebaran.
”Kami keberatan. Kami ingin MK justru menyerap suara publik yang begitu riuh, yang menyatakan bahwa banyak kecurangan, pelanggaran, dan intervensi. Ini justru yang perlu ditekankan karena persoalan pemilu bukan soal hasil, tetapi juga proses,” kata Todung.
Inisiatif audiensi dari Sekjen MK
Saat dikonfirmasi, Juru Bicara MK Fajar Laksono menyebut bahwa audiensi itu adalah inisiatif dari Sekjen MK. Sebab, hal itu terkait dengan persiapan seluruh layanan dan dukungan teknis pelayanan perkara di MK. MK merasa perlu berkoordinasi dengan KPU untuk memperbarui perkembangan informasi di KPU.
”Rekapitulasi hasil pengitungan suara itu, kan, rentang waktunya hampir satu bulan sampai 20 Maret maksimalnya. Kami bertanya kepada KPU apakah akan diambil waktu maksimal atau ada target sebelum itu? Kemudian akan kami simulasikan lini masanya,” kata Fajar.
Ia menjelaskan, MK hanya bertanya tentang target penyelesaian rekapitulasi perhitungan suara oleh KPU, bukan meminta agar dipercepat. Jawaban dari KPU memang belum pasti karena proses rekapitulasi masih berjalan.
Kami ingin MK justru menyerap suara publik yang begitu riuh, yang menyatakan bahwa banyak kecurangan, pelanggaran, dan intervensi. Ini justru yang perlu ditekankan karena persoalan pemilu bukan soal hasil, tetapi juga proses.
Fajar menuturkan, jawaban itu kemudian menjadi gambaran bagi MK untuk menyimulasikan lini masa penyelesaian sengketa pilpres. ”Hanya melihat gambaran penyelesaian rekapitulasi dari KPU. Tidak ada harapan atau permintaan dari MK,” ujar Fajar.
Terkait dengan kritik bahwa MK dianggap tak netral karena bertemu dengan pihak yang beperkara, yaitu KPU, Fajar melihat bahwa hal itu hanya soal perspektif. Faktanya, pihak Setjen MK berkoordinasi dengan Deputi Teknis KPU untuk bicara simulasi teknis penyelesaian sengketa pilpres.
Pertemuan tidak dihadiri oleh hakim konstitusi dan anggota KPU, serta tidak membicarakan substansi perkara. ”Itu hanya soal koordinasi teknis di lapangan,” ujar Fajar.