Pemerintah Berdalih Tenaga Kerja Belum Siap dengan Keahlian yang Dibutuhkan Industri
Pemerintah juga mendorong tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di sektor formal di luar negeri.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor formal dan memperkuat lapangan kerja sektor informal yang diisi banyak pekerja. Menurut pemerintah, angkatan kerja yang masuk ke sektor formal sedikit karena masih banyak pekerja belum memiliki keahlian yang dibutuhkan dunia industri.
Salah satu upaya pemerintah meningkatkan masuknya angkatan kerja ke sektor formal adalah menyediakan fasilitas yang mempertemukan pemberi kerja dan pencari kerja. Di sisi lain, untuk memperkuat sektor informal, pemerintah berupaya meningkatkan keikutsertaan pekerjanya dalam jaminan sosial berupa BPJS Ketenagakerjaan.
Dalam laporan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, Senin (26/2/2024), pemerintah mendorong warga bekerja di sektor formal untuk menciptakan kelas menengah yang lebih baik. Dengan bekerja formal, kelas menengah mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dan terlindungi jaminan sosial.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Edy Priyono menyarankan warga agar mengambil kesempatan mengikuti program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), Kartu Prakerja, Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Namun, serapan tenaga kerja Indonesia didominasi sektor informal. Badan Pusat Statistik mencatat, hingga Agustus 2023, porsi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor informal ialah 59,11 persen. Sisanya, 40,89 persen, bekerja di sektor formal.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, sektor informal sebenarnya menjadi alternatif ketika banyak warga terkena pemutusan hubungan kerja pada masa pandemi Covid-19. Namun, tenaga kerja di sektor ini mudah terombang-ambing dinamika politik dan ekonomi sehingga rentan.
”Lalu, kenapa tenaga kerja sulit terserap ke sektor formal? Penyebabnya masih jadi persoalan antara permintaan dan penawaran atau program link and match (keterkaitan serta kesepadanan). Lowongan kerja sebenarnya ada, tetapi kompetensi sering tak sesuai dan informasi kepada calon pekerja juga sering tidak sampai,” ucap Anwar saat dihubungi, Selasa (27/2/2024).
Mengutip laporan Bank Dunia dalam Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Desember 2023, jumlah pekerja mandiri dan pekerja informal yang bekerja serabutan naik signifikan pada periode 2019-2022. Sementara itu, porsi pekerjaan yang terhitung layak bagi kelas menengah menurun. Laporan itu sejalan dengan data Survei Angkatan Kerja Nasional oleh Badan Pusat Statistik bahwa porsi pekerjaan yang terhitung layak bagi kelas menengah di sektor formal turun 3,39 persen dalam waktu empat tahun terakhir dari periode Agustus 2019-2023.
Bank Dunia mendefinisikan pekerjaan layak atau pekerjaan kelas menengah (middle class jobs) sebagai pekerjaan yang memiliki upah layak untuk membiayai hidup dengan standar kelas menengah, disertai perlindungan atau jaminan sosial yang memadai, serta kepastian kerja.
Baca juga: Pemerintah Gagal Ciptakan Lapangan Kerja Layak, Kelas Menengah Indonesia Kian Rentan
Menurut Anwar, Kemenaker melakukan beberapa upaya, di antaranya membangun platform Pusat Pasar Kerja. Di dalamnya, terdapat beberapa layanan, seperti Karirhub yang mempertemukan pemberi kerja dan pencari kerja secara daring. Selain itu, ada pula bursa kerja yang digelar secara luring.
Agar kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan pencari kerja, Kemenaker menggelar beragam pelatihan gratis dalam balai latihan kerja (BLK). Pelatihan yang diberikan bertujuan untuk memberikan keterampilan, meningkatkan keterampilan, hingga mengubah keterampilan.
Selain itu, Kemenaker mendorong tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di sektor formal di luar negeri. Potensi pasar kerja luar negeri untuk sektor formal besar.
Pada 2022 saja, klaim Anwar, ada 1,2 juta permintaan kerja, sementara yang terpenuhi hanya 230 di antaranya. Hal itu terjadi karena ada banyak kompetensi yang belum pas dengan kebutuhan.
Untuk itu, Kemenaker memasifkan informasi soal lowongan kerja di luar negeri sembari mendorong calon pekerja untuk meningkatkan kompetensi lewat pelatihan. ”Jika ada sekitar 3,7 juta angkatan kerja baru yang siap kerja setiap tahunnya dengan 500-700 di antaranya terserap ke pasar kerja luar negeri, hal itu bisa menjadi kanalisasi dari persoalan ketenagakerjaan. Mereka beralih bukan sebagai pekerja informal, melainkan pekerja formal berketerampilan khusus,” ujar Anwar.
Baca juga: Deindustrialisasi dan Korupsi, Penyebab Kelas Menengah Indonesia Sulit Jadi Orang Kaya
Sembari mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor formal, Kemenaker berupaya untuk menguatkan sektor informal yang kini diisi banyak pekerja. Penguatan dilakukan, di antaranya, dengan meningkatkan keikusertaan jaminan sosial berupa BPJS Ketenagakerjaan.
Dihubungi secara terpisah, Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Maliki mengatakan, pemerintah tak mudah memasukkan angkatan kerja ke sektor formal karena tenaga kerja belum menguasai keahlian/keterampilan di bidang yang dibutuhkan pihak industri.
Alhasil, terjadi waktu menunggu atau periode pencarian yang relatif panjang bagi tenaga kerja serta industri untuk mendapatkan kecocokan.
Menurut Maliki, saat ini relatif banyak tenaga kerja yang bekerja di sektor informal berdasarkan pilihan sendiri. Penyebabnya, mereka menghendaki fleksibilitas pengaturan jam kerja dan tempat bekerja. Sebagian pekerja informal tersebut mendapatkan upah yang cukup besar berkat keahlian mereka.
Agar banyak pekerja terserap ke lapangan kerja sektor formal, kata Maliki, dibutuhkan penyesuaian melalui pelatihan dan pendidikan vokasi yang berbasis kompetensi sesuai dengan yang dibutuhkan industri.
Selain itu, pengembangan kurikulum sesuai dengan kebutuhan yang disertai dengan fasilitas praktik dan pelatihan yang tepat sesuai situasi di dunia kerja.
Baca juga: Indonesia Cemas 2045, Pendapatan Kelas Menengah Lebih Kecil dari Pengeluaran
Untuk meningkatkan lapangan kerja di sektor formal, kata Maliki, investasi perlu dipermudah dengan prosedur yang sederhana dan kelancaran layanan, terutama listrik, air, dan fasilitas infrastruktur. Dengan demikian, investor akan lebih tertarik untuk meningkatkan komitmen berinvestasi.
”Pemda (pemerintah daerah) pun mendorong pelaksanaan pelatihan di daerah dengan terstandar sehingga mereka dapat menyiapkan SDM (sumber daya manusia) lokal yang kompeten, yang dapat menjawab kebutuhan investasi tersebut,” kata Maliki.
Ia mendorong formalisasi wirausaha pemula dengan prosedur yang sederhana, informasi permodalan yang murah, dan memperkuat rantai pasokan produksi. Alhasil, ada keyakinan dari pemasaran terhadap produk lokal tersebut.
Koordinator Dewan Buruh Nasional Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos meminta pemerintah tidak cuci tangan dan mengambinghitamkan masyarakat atas minimnya tenaga kerja formal. ”Kalau dikatakan karena tenaga kerja yang belum siap, artinya, kan, ada persoalan pendidikan yang salah. Itu, kan, dari pemerintah,” kata Nining.
Ia mengatakan, lulusan sekolah menengah kejuruan saja belum tentu mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Jika persoalannya terletak pada pendidikan, seharusnya pemerintah berkaca dan mengantisipasi persoalan ini. Jangan karena kebijakan yang merugikan, masyarakat lantas disalahkan dengan dalih persoalan keterampilan.
”Negara mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan memastikan pendapatan kehidupan yang layak,” kata Nining tegas.