Deindustrialisasi dan Korupsi, Penyebab Kelas Menengah Indonesia Sulit Jadi Orang Kaya
Deindustrialisasi dan maraknya KKN menjadi persoalan struktural bagi kelas menengah untuk jadi orang kaya.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan bagi kelas menengah yang sulit melakukan mobilitas ke atas alias menjadi kaya bersifat struktural. Jalan tengah untuk mengatasinya adalah adanya kebijakan yang menyejahterakan pekerja, yang tidak hanya soal aspek pengupahan.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, Selasa (27/2/2024), di Jakarta, berpendapat, tantangan yang menyulitkan mobilitas sosial kelas menengah menjadi kaya bersifat struktural. Situasi ini terbentuk karena kurangnya kebijakan industri atau reformasi struktural dalam ekonomi.
Deindustrialisasi dini yang berlangsung selama 15 tahun terakhir menyebabkan pendapatan kelas menengah kurang optimal. ”Selain itu, porsi kelas menengah yang cukup besar di sektor informal membuat kenaikan pendapatan sulit meningkat signifikan. Pekerja sektor informal juga rentan terdampak volatilitas ekonomi karena kurangnya jaring pengaman sosial,” ujarnya.
Sesuai data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012–2021 yang diolah Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, ada kesenjangan sisa gaji per bulan antara kelas menengah dan kelas kaya usia produktif (15–64 tahun) pada tahun 2021. Sisa gaji warga kelas atas Rp 1,59 juta per orang per bulan nilainya setara dengan 3,64 kali lebih besar dari warga kelas menengah.
Dengan rata-rata sisa gaji kelas menengah pada 2021 senilai Rp 435.888 per bulan, tidak banyak uang yang bisa ditabung dan diinvestasikan. Kondisi ini menyulitkan kelas menengah yang jumlahnya 38,5 juta jiwa (20,7 persen dari penduduk Indonesia) sulit naik kelas menjadi orang kaya.
Sebagai gambaran, untuk membeli 1 gram emas senilai Rp 1,1 juta (Antam per 9 Februari 2024), kelas menengah dan kelas kaya membutuhkan waktu yang berbeda. Warga kelas menengah perlu waktu dua bulan untuk bisa membeli 1 gram emas, sedangkan warga kaya hanya butuh waktu kurang dari satu bulan atau 21 hari (Kompas, 26/2/2024).
Kelas menengah yang dimaksud merujuk pada publikasi Bank Dunia berjudul ”Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class (2019)”. Bank Dunia membagi kelas menengah menjadi dua kelompok, yakni calon kelas menengah (aspiring middle class) dan kelas menengah (middle class).
Bhima mengatakan, solusi mengatasi tantangan itu adalah kembali pada kebijakan industrialisasi yang salah satunya dengan mengarahkan keterkaitan hilirisasi sumber daya alam dengan pemenuhan industri barang jadi di dalam negeri. Sebagai contoh adalah nikel yang diolah menjadi feronikel dan nickel pig iron.
Komoditas itu, menurut Bhima, sebaiknya diarahkan untuk pemenuhan industri stainless steel domestik, bukan berorientasi ekspor. Begitu pula ekspor, idealnya barang sudah berbentuk produk akhir.
”Selama ini 80 persen produk hasil olahan nikel langsung diekspor meskipun bentuknya hanya barang setengah jadi. Selain memperkuat industrialisasi, upaya memperbesar sektor formal bisa didorong dengan keberpihakan pengadaan barang jasa di tingkat pemerintah daerah,” katanya.
Selama ini 80 persen produk hasil olahan nikel langsung diekspor meskipun bentuknya hanya barang setengah jadi.
Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atma Jaya, Harry Seldadyo, berpendapat, sulitnya anak muda kelas menengah menjadi kaya merupakan implikasi panjang dari kondisi demografi. Jumlah angkatan kerja saat ini lebih dari 130 juta orang, jauh lebih besar daripada jumlah lapangan kerja yang tersedia.
Situasi ini mendorong upah cenderung murah. Masalahnya, situasi seperti ini berlangsung terus-menerus.
”Daya tawar pekerja menjadi berat, sementara bagi pengusaha lebih mudah karena merasa suplai tenaga kerja banyak. Mau tidak mau harus ada cara lain di luar kebijakan pengupahan, yaitu kebijakan kesejahteraan pekerja (labor welfare) alias hal-hal yang bakal mendukung di sekitar kehidupan pekerja, seperti hunian tempat tinggal, fasilitas kesehatan, dan pendidikan,” ujarnya.
Maka, intervensi pemerintah dan pemerintah daerah di wilayah-wilayah industri menjadi krusial. Sebagai contoh, fasilitas pendidikan di dekat pabrik.
Pengusaha di kawasan industri juga berperan penting, apalagi mereka mempekerjakan ribuan orang di suatu kawasan industri. Penyediaan fasilitas kesehatan di dekat kawasan industri semestinya dapat pula dilakukan pengusaha.
”Intervensi pemerintah lainnya ialah mendorong investasi yang menyerap tenaga kerja lokal. Pemerintah semestinya punya daya tawar yang kuat supaya investor yang masuk membuka lapangan kerja bagi pekerja lokal yang luas. Persoalan struktural ini memang harus diatasi dengan solusi struktural pula,” ucapnya.
Sementara itu, peneliti senior Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Turro Selrits Wongkaren, berpendapat, terkait isu anak muda pekerja kelas menengah susah kaya, pertama-tama harus didudukkan dulu definisi dari kata kaya itu sendiri.
Sebab, definisi itu akan berkaitan dengan aspirasi berkonsumsi. Saat ini, pengeluaran untuk konsumsi mengalami tren peningkatan, baik secara kuantitas maupun kualitas.
”Isu anak muda pekerja kelas menengah susah kaya perlu dilihat dalam kerangka mobilitas sosial. Berbagai studi menunjukkan bahwa seseorang, khususnya dengan pendidikan yang baik, bisa naik level kesejahteraan. Dari kalangan miskin, sejumlah studi telah membuktikan mereka sangat mungkin naik kelas kesejahteraan,” katanya.
Sementara itu, dari sisi mobilitas sosial kelas menengah, Turro menjelaskan, mobilitasnya tidak mudah karena di kelompok ini pendidikannya sudah cukup merata. Seseorang di kelompok ini sulit naik kelas, meski pendidikannya bagus, jika bekerja di jenis pekerjaan yang tidak memungkinkan untuk kaya. Kecuali, orang tersebut mempunyai kemampuan untuk keluar dari sana.
”Langkah yang bisa dibuat pemerintah adalah memastikan meritokrasi dijalankan dengan cara meniadakan atau meminimalkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan terus berinvestasi agar pendidikan berkualitas lebih merata,” ucap Turro, yang juga merupakan anggota Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta.