Sejauh ini KPU telah memperbaiki data anomali di Sirekap untuk pilpres dan pileg.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah elemen masyarakat sipil meminta transparansi pada pengelolaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) kepada Komisi Pemilihan Umum. Hal ini mengingat dokumen terkait Sirekap merupakan informasi terbuka dan anggarannya berasal dari pajak yang dibayarkan warna negara. Untuk itu, KPU diberi waktu tiga hari kerja untuk memberikan penjelasan.
Seusai pemungutan suara Pemilihan Umum 2024, publik diresahkan dengan adanya perbedaan data yang tertera pada formulir C Hasil, formulir hasil penghitungan suara di tempat pemungutan suara yang diunggah di Sirekap, dengan data digital di sistem Sirekap.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Permintaan transparansi terkait dengan Sirekap itu diajukan ke KPU lewat surat permohonan informasi publik, Kamis (22/2/2024), oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Mereka meminta transparansi dalam pengelolaan Sirekap, mulai dari perencanaan, implementasi, hingga anggaran.
”Permohonan informasi ini berangkat dari kegelisahan kami melihat persoalan Sirekap yang sudah menjadi perbincangan publik dan menjadi sorotan berbagai pihak,” ujar peneliti ICW, Egi Primayoga, seusai penyerahan surat permohonan informasi di Kantor KPU, Jakarta, kemarin.
Ia menuturkan, permohonan informasi terkait pengelolaan Sirekap meliputi dokumen perencanaan, pengadaan, dan anggaran, termasuk riwayat kerusakan atau serangan siber yang pernah terjadi pada Sirekap. Berbagai dokumen itu diperlukan untuk memeriksa pengelolaan Sirekap itu sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.
Menurut Egi, pemeriksaan itu menjadi penting di tengah kegaduhan yang timbul di antara peserta pemilu dan pemilih perihal Sirekap. Apalagi, ada potensi kecurangan dan manipulasi suara di tengah proses rekapitulasi berjenjang yang sedang dilakukan jajaran KPU. Sirekap sebagai alat bantu rekapitulasi mesti berjalan dengan baik sehingga bisa mencegah kecurangan. Jangan sampai pengelolaan Sirekap bermasalah dan membuka celah manipulasi suara.
KPU, lanjutnya, seharusnya bisa memberikan informasi yang mereka minta. Sebab, dokumen terkait Sirekap merupakan informasi terbuka karena anggarannya berasal dari pajak yang dibayarkan warna negara. KPU memiliki waktu tiga hari kerja untuk menjawab permohonan informasi yang diminta. Jika tidak ada jawaban, pihaknya akan kembali mengajukan surat keberatan.
”Pemeriksaan sejak perencanaan kemungkinan bisa menjelaskan penyebab dari berbagai masalah Sirekap yang muncul belakangan ini,” kata Egi.
Dokumen terkait Sirekap merupakan informasi terbuka karena anggarannya berasal dari pajak yang dibayarkan warna negara. Peneliti ICW, Egi Primayoga
Peneliti Kontras, Rozy Brilian Sodik, mengemukakan, pihaknya juga meminta pertanggungjawaban KPU terkait meninggalnya sejumlah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). KPU dinilai tidak belajar dari pengalaman Pemilu 2019 yang mengakibatkan 894 petugas KPPS meninggal. Sebab, pada Pemilu 2024 masih ditemukan 74 anggota badan ad hoc yang meninggal.
Menanggapi permintaan tersebut, anggota KPU, Idham Holik, menyatakan pihaknya menghargai surat yang disampaikan dan segera memberikan jawaban. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU harus mengimplementasikan prinsip berkepastian hukum.
Untuk itu, KPU akan memedomani aturan keterbukaan informasi publik sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Penanganan Sirekap
Terkait dengan penanganan masalah Sirekap, KPU menemukan data anomali yang terdeteksi pada pemilihan presiden di 7.473 TPS dari total 606.249 TPS yang sudah masuk. KPU kemudian memperbaiki data tersebut sehingga data yang tidak sinkron kini hanya tersisa di 23 TPS atau 0,004 persen dari seluruh data yang masuk.
Untuk pemilihan legislatif anggota DPR, ditemukan data anomali di 12.009 TPS dari data di 606.249 TPS yang masuk. Adapun data yang tidak akurat di 11.912 TPS sudah disinkronisasi sehingga data tak sinkron tersisa 97 TPS atau 0,02 persen.
”Sinkronisasi data kadang menyebabkan suara parpol maupun calon anggota legislatif di Sirekap turun. Itu bukan karena dikurangi oleh KPU, tetapi sesuai dengan data riil di TPS yang sudah akurat,” kata anggota KPU, August Mellaz, kemarin.
Idham Holik mengemukakan, KPU berupaya maksimal untuk memberikan data yang akurat kepada pemilih. Meskipun Sirekap hanya menjadi alat bantu publikasi, keberadaannya tetap penting mengingat formulir C Hasil setiap TPS diunggah ke sistem tersebut. Peserta pemilu juga bisa membandingkan data dari saksi yang diperoleh di TPS dengan data formulir C Hasil di Sirekap.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengingatkan bahwa data yang dibagikan melalui Sirekap itu tidak akan menjadi dasar penetapan hasil. Sebab, sesuai ketentuan, penetapan hasil mengacu pada rekapitulasi manual berjenjang. ”Jadi, kalau ada yang menolak Sirekap, tidak ada masalah. Sirekap itu cuma alat bantu,” katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai, semakin turunnya data anomali menunjukkan Sirekap semakin akurat. Hal ini menunjukkan KPU bisa membenahi kesalahan data tanpa harus menutup Sirekap. Mitigasi yang dilakukan KPU dalam mengantisipasi masalah akurasi data sudah sesuai. ”Tidak ada alasan untuk menutup Sirekap sepanjang KPU mampu menampilkan data yang akurat,” ujarnya.