Pimpinan KPU Segera Bahas Penolakan PDI-P atas Sirekap
Hingga kini KPU tetap melanjutkan penggunaan Sirekap sebagai alat bantu rekapitulasi suara Pemilu 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum akan membahas penolakan penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap yang disampaikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P dalam rapat pleno pimpinan KPU. Selama belum ada keputusan lain, KPU tetap melanjutkan penggunaan Sirekap sebagai bagian dari penerapan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, mengatakan, KPU sudah menerima surat pernyataan penolakan penggunaan Sirekap yang disampaikan PDI-P. Surat dari partai politik peserta Pemilu 2024 itu nantinya akan dibahas dalam rapat pleno pimpinan KPU. Pihaknya belum bisa memberikan tanggapan mengenai penolakan yang disampaikan PDI-P.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
”Semalam, KPU telah menerima surat tersebut dalam format PDF yang dikirim oleh narahubung PDI-P melalui Whatsapp. Surat yang disampaikan partai politik peserta pemilu akan dibahas dalam forum rapat pleno pimpinan KPU,” katanya saat dihubungi pada Rabu (21/2/2024).
Menurut Idham, belum ada keputusan menanggapi penolakan penggunaan Sirekap oleh salah satu parpol peserta pemilu. Dengan demikian, penggunaan Sirekap sebagai sarana publikasi dan alat bantu rekapitulasi suara di berbagai tingkatan tetap dilanjutkan.
Baca juga: Rekapitulasi di Kecamatan Kembali Dilanjutkan, KPU Pastikan Selesai Sesuai Jadwal
Lebih jauh, menurut Idham, Sirekap merupakan aktualisasi dari prinsip keterbukaan dan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Melalui Sirekap, masyarakat dapat mengakses informasi mengenai perolehan suara di TPS. Selain itu, Sirekap juga menjadi media bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk menyampaikan akuntabilitas dan pertanggungjawabannya kepada publik.
”Sirekap menjadi alat kontrol untuk memastikan bahwa proses pemungutan suara sesuai dengan apa yang telah diatur dan mencegah terjadinya kecurangan pemilu,” tutur Idham.
Penolakan penggunaan Sirekap dari PDI-P tertuang dalam surat tertulis yang ditujukan kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Menurut PDI-P, Sirekap telah gagal menjadi alat bantu dalam proses rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di tingkat kecamatan. Masalah hasil penghitungan perolehan suara pada Sirekap bahkan diikuti dengan perintah dari KPU RI kepada KPU kabupaten/kota untuk menunda proses rekapitulasi di tingkat kecamatan pada 18-19 Februari 2024.
Oleh karena itu, PDI-P secara tegas menolak penggunaan Sirekap dalam proses rekapitulasi penghitungan perolehan suara hasil Pemilu 2024 di semua jenjang tingkatan pleno. PDI-P juga meminta audit forensik digital atas penggunaan Sirekap dan membuka hasil audit tersebut kepada masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban KPU dalam penyelenggaraan pemilu.
Baca juga: Timbulkan Kegaduhan, PDI-P dan Nasdem Minta KPU Hentikan Sirekap
Tak hanya PDI-P, Partai Amanat Nasional (PAN) juga menilai penggunaan Sirekap menimbulkan kegaduhan di publik. Sirekap, menurut Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno, bahkan menimbulkan kecurigaan di antara calon anggota legislatif dan partai politik peserta pemilu.
Menurut dia, setiap caleg dan parpol memiliki penghitungan sendiri yang diperoleh dari tempat pemungutan suara (TPS). Data yang dipegang itu terkadang tidak sesuai dengan data perolehan suara yang dipublikasikan di Sirekap. Jumlah perolehan suara caleg di Sirekap juga kadang naik-turun.
Tidak akuratnya data caleg dan parpol itu juga menimbulkan keresahan di antara para pendukung. Ada sebagian pendukung yang berpandangan bahwa data di Sirekap valid dan bisa dijadikan rujukan utama karena dikeluarkan oleh KPU. Padahal, Sirekap sejatinya hanya merupakan alat bantu untuk rekapitulasi suara. Sementara penetapan hasil pemilu tetap mengacu pada rekapitulasi manual berjenjang.
”Kami minta agar KPU memberikan penjelasan dan sosialisasi sebaik-baiknya kepada masyarakat melalui berbagai media, tidak hanya konferensi pers. Termasuk menjelaskan kendala dan mitigasi yang sudah dilakukan KPU,” ujar Eddy.
Baca juga: Sirekap, Alat Bantu Pemilu yang Justru Timbulkan Kegaduhan
Terkait Sirekap, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah memberikan tiga saran perbaikan kepada KPU. Pertama, Bawaslu meminta KPU untuk lebih sigap memperbaiki kesalahan data Sirekap dan terus memantau secara berkelanjutan input data Sirekap. Sebab, foto formulir C Hasil dan hasil pembacaan Sirekap pada laman https://pemilu2024.kpu.go.id dapat diakses dan dibandingkan secara bersamaan.
Kedua, Bawaslu meminta KPU untuk menyampaikan kepada masyarakat secara terus-menerus bahwa Sirekap adalah alat bantu rekapitulasi hasil penghitungan suara, bukan dasar untuk menetapkan hasil rekapitulasi suara.
Data otentik yang digunakan untuk menentukan hasil pemilu adalah data rekapitulasi manual yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari tempat pemungutan suara (TPS), kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional oleh KPU RI.
Terakhir, Bawaslu meminta KPU untuk menghentikan terlebih dahulu penayangan informasi data perolehan suara melalui Sirekap. KPU dapat kembali menayangkan informasi data perolehan suara setelah Sirekap dapat membaca data yang tertera dalam formulir C.Hasil secara akurat.
Meski demikian, Bawaslu tetap meminta KPU untuk melanjutkan pemindaian formulir C.Hasil dan mengunggahnya ke laman https://pemilu2024.kpu.go.id. Dengan demikian, data yang ditampilkan di laman Sirekap hanya formulir C.Hasil tanpa rekapitulasi perolehan suara berbentuk diagram.
Baca juga: Rekapitulasi Suara di Kecamatan Dihentikan, Muncul Tudingan untuk Akali Suara
Manajer Hukum dan Advokasi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Romi Maulana mengingatkan, dalam menyelenggarakan pemilu, KPU harus melayani kepentingan masyarakat dan peserta pemilu, bukan kepentingan KPU semata. Namun, dalam beberapa hari terakhir muncul dorongan dari peserta pemilu ataupun sebagian publik untuk menutup Sirekap setelah muncul berbagai masalah.
”Ada kekhawatiran dari peserta pemilu dan masyarakat terhadap munculnya ruang kecurangan yang dapat terjadi dari penggunaan Sirekap. Apalagi, jika hal tersebut dijadikan patokan untuk penetapan peserta pemilu meskipun proses rekapitulasi secara berjenjang masih berlangsung,” ujarnya.
Menurut Romi, sejauh ini KPU masih terlihat defensif terhadap masalah penggunaan Sirekap dengan klaim data error yang dianggapnya memiliki presentasi yang kecil. Bahkan, KPU juga terkesan cuci tangan dengan menyalahkan KPPS yang telah bekerja keras atas kesalahan konversi dari sistem. KPU juga seolah melakukan tindakan yang mencurigakan terhadap penggunaan Sirekap dengan menunda rekapitulasi manual di beberapa daerah.
”Wajar jika masyarakat membangun kecurigaan dan pertanyaan kepada KPU karena ada dugaan upaya pengondisian hasil pemilu. Apalagi, rekapitulasi di tingkat kecamatan sangat rawan,” ucapnya.
Oleh karena itu, Romi berpandangan agar KPU menutup penggunaan Sirekap. Selain bermasalah, Sirekap juga tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Terlebih, jika hasil penetapan manual berjenjang berbeda dengan Sirekap, dikhawatirkan menimbulkan polemik di masyarakat. Sebab, akan ada pihak-pihak yang menjadikan Sirekap sebagai bahan klaim kemenangan meskipun hasilnya berbeda saat rekapitulasi manual berjenjang.