Foto para korban pelanggaran HAM berat masa lalu terpampang dalam Aksi Kamisan ke-790 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (12/10/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Impunitas menjadi persoalan mendasar dalam penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu. Padahal, impunitas berdampak negatif terhadap korban dan keluarganya, bahkan berpengaruh terhadap demokrasi. Karena itu, dibutuhkan dukungan politik dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial.
Hingga saat ini, ada sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan. Di antaranya peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa, dan peristiwa 1965-1966.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro menjelaskan, impunitas merupakan terjadinya pelanggaran tanpa akuntabilitas, termasuk kegagalan dalam menghukum para pelaku dan pemulihan bagi korban.
”(Impunitas) timbul dari ketidakberbuatan negara untuk memenuhi kewajiban menyelidiki pelanggaran serta mengambil tindakan yang tepat terhadap para pelaku, khususnya di bidang peradilan, dengan cara memastikan mereka yang diduga bertanggung jawab diadili dan dihukum sebagaimana mestinya,” kata Atnike dalam kuliah umum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang digelar secara daring, Jumat (16/2/2024).
Baca juga: Aksi Kamisan, 17 Tahun Perjuangan Menuntut Keadilan
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro saat bersama para komisioner lainnya menggelar konferensi pers tentang Situasi Penegakan HAM pada Tahun 2023 di Indonesia, di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Atnike mengungkapkan, impunitas berdampak pada korban dan keluarga, yakni berlanjutnya stigma sosial dan trauma. Ada empat hak korban, yakni hak untuk tahu, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan hak untuk pencegahan keberulangan. Impunitas menyebabkan pengalaman korban di masa lalu direproduksi kembali.
Dampak lain dari impunitas adalah marginalisasi ekonomi dan politisasi kasus. Berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat menyebabkan stigma sosial, bahkan ada kebijakan diskriminatif. Mereka hidup dalam situasi ekonomi yang terpinggirkan dan sulit. Apalagi, korban sudah lanjut usia sehingga kemampuannya untuk pulih dari dampak sosial ekonomi sudah tidak bisa dilakukan lagi.
Dalam momentum politik, kata Atnike, sering kali terjadi politisasi terhadap kasus di masa lalu yang menimbulkan sentimen politik tertentu. Sebagai contoh, pada saat tahun politik tiba-tiba muncul berita tentang bangkitnya komunisme, separatisme, dan sebagainya.
Impunitas tidak hanya berdampak pada korban dan keluarga, tetapi juga dapat berdampak pada ruang kebebasan sipil, khususnya dalam menyampaikan pendapat ataupun ekspresi.
Terhadap demokrasi, impunitas menyebabkan stigma terhadap ekspresi politik kritis serta kriminalisasi atau persekusi terhadap korban dan pembela HAM. Ia mengungkapkan, terjadinya ketiadaan hak untuk tahu atau hak untuk tidak terulangnya suatu peristiwa.
Hal itu dapat dilihat dalam ekspresi politik kritis pada beberapa peristiwa yang dapat dengan mudah distigma dengan merujuk pada peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Misalnya, ketika ada aktivitas demonstrasi atau advokasi, lalu dituduh sebagai komunis.
”Impunitas tidak hanya berdampak pada korban dan keluarga, tetapi juga dapat berdampak pada ruang kebebasan sipil, khususnya dalam menyampaikan pendapat ataupun ekspresi,” kata Atnike.
Ia mengungkapkan beberapa tantangan dalam penanganan HAM berat melalui mekanisme yudisial. Salah satunya, perbedaan pandangan dan standar penyelidikan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Atnike menegaskan, dibutuhkan dukungan politik dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc.
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, dalam pengantarnya mengatakan, impunitas menjadi isu yang mendasar dalam masalah hukum hak asasi manusia dan penegakannya.
Tantangan penegakan hukum berelasi kuat dengan pertanggungjawaban yang tidak kunjung selesai. Begitu banyak kasus pelanggaran HAM yang ditangani Komnas HAM tidak mudah diproses penegakan hukumnya.
Bahkan, lanjut Herlambang, dalam fenomena Pemilu 2024, salah satu kandidat mempunyai catatan pelanggaran HAM. Kasusnya pun masih belum selesai. ”Problem impunitas itu ada di depan mata dan seakan pembiaran itu terus-menerus terjadi,” kata Herlambang.