Menjaga Langit RI Itu Cukup Rumit
Menjaga batas angkasa suatu bangsa tidak semudah yang disangka.
Dirgantara memiliki ruang yang terbatas. Dimensinya mencakup ruang udara dan antariksa. Wilayah kekuasaan udara membentang di atas lautan dan daratan. Keamanan udara suatu bangsa diyakini bakal menentukan kemampuan pertahanan negara, tak terkecuali untuk Indonesia.
Delimitasi batas vertikal ruang udara belum ada ketentuan yang pasti, tetapi berkisar 110-130 kilometer. Untuk Indonesia, ruang udara membentang sekitar 110 kilometer ke atas dari batas daratan dan laut teritorial. Wilayah di luar itu termasuk ruang udara bebas atau berada dalam yurisdiksi internasional.
Berada di tengah persilangan jalur, apalagi dengan memanasnya geopolitik, bisa dibayangkan dalam setahun berapa banyak pesawat mondar-mandir, dan sekian ratus di antaranya melakukan pelanggaran. Enam bulan pertama tahun 2019 terjadi pelanggaran 165 kali (Kompas.id, 25/2/2021).
Ruang udara ini yang harus dijaga seluruh bangsa Indonesia, termasuk TNI Angkatan Udara (AU) yang bertugas menegakkan kedaulatan negara. Secara spesifik, Komando Operasi Udara Nasional (Koopsudnas), yang kini berusia dua tahun, merupakan ujung tombak pelaksanaan tugas dari TNI AU, yaitu pertahanan udara.
Meski baru diresmikan pada 28 Januari 2022, Koopsudnas memiliki sejarah panjang dan melalui berbagai penyempurnaan. Berawal dari Sector Operation Centre (SOC) tahun 1958 untuk menumpas pemberontakan, kemudian menjadi Komando Gabungan Pertahanan Udara (Kohanudgab) pada 1961 untuk menjaga pusat pertahanan bagian timur, lalu bertransformasi jadi Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) pada 1962.
Telah dua tahun Koopsudnas diresmikan. Dengan itu pula Kohanudnas beserta Komando Operasi (Koop) Udara I, II, III, dan Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) berada dalam komando serta kendali Panglima Koopsudnas.
Panglima Koopsudnas Marsekal Madya Tedi Rizalihadi menjelaskan, integrasi antara Kohanudnas dan berbagai Koop Udara membangun kepastian kendali dan keterpaduan komando (unity of command). Semua alat utama sistem senjata (alutsista), seperti pesawat penindak, radar, pertahanan udara, pangkalan udara, hingga skuadron udara, terhubung dengan Koopsudnas.
”Unity of command bukan sekadar di atas atau intersep (udara), tetapi juga penanganan di bawah (darat) saat mendarat juga menjadi satu satuan komando,” ujarnya kepada Kompas di Markas Koopsudnas, Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Itu seringnya mereka lempeng-lempeng lurus-lurus saja tidak mau memutar, termasuk di daerah Natuna. Jadi, kerawanan orang (negara lain) memotong jalur tidak mau ikut aturan yang sudah ditetapkan Indonesia.
Dalam menjaga udara, Koopsudnas beroperasi 24 jam nonstop tiap hari. Luas wilayah yang perlu dipantau sebesar 7.539.693 kilometer persegi atau 23 kali luas Malaysia. Apalagi, ujung barat dan timur Indonesia memanjang sekitar 5.110 kilometer, hampir setara dengan panjang benua Eropa yang sekitar 5.300 kilometer.
Selain wilayah yang luas, letak geografi Indonesia juga cukup strategis sebagai jembatan dari Australia ke Asia dan sebaliknya. Kepulauan Natuna yang berada di utara dan dekat dengan Laut China Selatan turut menambah kompleksitas kerawanan penjagaan udara Tanah Air.
Baca juga: Menjadi Angkatan Udara yang Disegani di Kawasan
Tidak bisa sendiri
Berbagai kerawanan dan tantangan geografis membuat TNI AU tidak bisa menjaga kedaulatan negara sendiri. Hubungan sipil-militer sangat dibutuhkan. Apalagi, kemampuan radar militer yang belum mampu menutup seluruh wilayah Indonesia.
”Tidak bisa berdiri sendiri, harus bekerja sama dengan Airnav, lalu Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri. Koordinasi untuk penjagaan dan penindakan butuh kecepatan dan ketepatan dalam mengambil keputusan,” ucap Tedi.
Ia mencontohkan penerbangan dari Australia menuju negara lain yang melewati Indonesia kerap menjadi kerawanan untuk pelanggaran. Ada juga penerbangan dari wilayah Kepulauan Andaman dan Nikobar yang berada di barat laut Indonesia.
Semua pesawat ingin terbang lurus mencapai tujuan. Padahal, Tanah Air memiliki batas udara dan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang berkelok-kelok dan wajib dipatuhi penerbangan negara lain.
”Itu seringnya mereka lempeng-lempeng lurus-lurus aja tidak mau memutar, termasuk di daerah Natuna. Jadi, kerawanan orang (negara lain) memotong jalur tidak mau ikut aturan yang sudah ditetapkan Indonesia,” ungkap Tedi.
Untuk itu, Koopsudnas tidak bisa sendiri dan perlu terhubung dengan Airnav serta kementerian lainnya untuk koordinasi penindakan. Misalnya, apabila ada pesawat yang akan melanggar aturan, TNI AU mengingatkan lewat bantuan Airnav dari sambungan radio ke pesawat tersebut.
Apakah (pesawat pelanggar) pengin efisiensi, apakah juga ancaman dengan bawa benda-benda ilegal, seperti senjata atau apa pun.
Saat penindakan pesawat pelanggar yang diberhentikan, Koopsudnas juga koordinasi dengan Kemenhub dan Kemenlu untuk memeriksa perizinan terbang. Aparat penegak hukum juga disiapkan di darat untuk kebutuhan interogasi dan pemeriksaan angkutan.
Dalam konteks tersebut, kata Tedi, perlakuan penindakan dilakukan setara baik untuk ancaman militer maupun tidak. ”Apakah (pesawat pelanggar) pengin efisiensi, apakah juga ancaman dengan bawa benda-benda ilegal, seperti senjata atau apa pun. Karena kami tidak tahu kondisinya, kami tetap tegakkan aturan. Kami cek semua apa aja isinya. Kami tidak mau kecolongan,” ujarnya.
Tidak selamanya menjaga angkasa RI berlangsung mulus. Negara lain masih ada yang menganggap enteng dan mencari celah kelemahan penjagaan udara Indonesia. Salah satunya adalah insiden Bawean yang memberi pengalaman berharga terhadap TNI AU.
Merujuk catatan Kompas, peristiwa itu terjadi pada 3 Juli 2003 saat armada tempur kapal induk bertenaga nuklir USS Carl Vinson bersama dua fregat dan satu kapal perusak milik Angkatan Laut Amerika Serikat berlayar dari Singapura menuju Australia. Mereka berlayar melewati Selat Karimata (ALKI I) lalu masuk ke Laut Jawa.
Saat melewati perairan Bawean, jet tempur supersonik bermesin ganda F-18 Hornet, F-18 milik AL AS melakukan latihan terbang dan bermanuver berbahaya bagi lalu lintas penerbangan sipil di ruang udara Indonesia.
Merespons hal tersebut, Indonesia menerjunkan dua pesawat tempur supersonik mesin tunggal F-16 Fighting Falcon dari Pangkalan Udara TNI AU Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur. F-16 TNI AU dan F-18 AL AS hampir terlibat pertempuran jarak dekat pesawat tempur (dogfight). Untungnya, itu tidak terjadi.
Tedi menjelaskan, peristiwa itu terjadi saat era Kohanudnas di bawah Mabes TNI dan Koop Udara di bawah Mabes TNI AU. Proses penindakan cenderung lama akibat lambatnya koordinasi dalam struktur militer. Pesawat penindak di bawah payung Koop Udara, sedangkan radar milik Kohanudnas.
”Insiden Bawean ini lama ditangani, padahal itu sudah kami deteksi mulai dari Selat Sunda. Tapi, baru bisa beraksi pas sudah di ujung Pulau Jawa. Sebab, antara Kohanudnas dan Koop Udara itu masing-masing alutsistanya beda-beda, misalnya pesawat,” tuturnya.
Kondisinya membuat Panglima Komando Sektor yang di bawah Panglima Kohanudnas ingin meminta pesawat penindak perlu koordinasi ke Panglima TNI, lalu ke Kepala Staf TNI AU terus ke Panglima Koop Udara I, kemudian ke Komandan Lanud Iswahjudi. Apalagi, danlanudnya sedang berada di Medan, Sumatera Utara, dan tidak bisa dihubungi.
Baca juga: 13 Radar Militer Baru untuk Indonesia
Belajar dari peristiwa Bawean, seluruh pesawat penindak diletakkan di bawah kendali operasi (BKO) Kohanudnas. Namun, masih ada kelemahan, yakni apabila pesawat dipaksa mendarat (force down), tetap butuh pendekatan ke danlanud setempat. Saat ini, semua unsur menjadi satu di bawah Koopsudnas untuk memudahkan pengendalian.
Kemampuan deteksi
Menurut Tedi, beberapa wilayah Indonesia masih ada yang belum terjangkau dan terpantau dengan radar militer. Karena itu, sistem deteksi turut melibatkan radar milik sipil untuk membantunya. Secara spesifik, ada kekurangan atau blank space sebesar 20-30 persen wilayah yang belum terpantau radar militer. Dengan bantuan radar sipil, seluruh wilayah sudah dilingkupi.
Meskipun demikian, bagi TNI AU, radar militer ke depan harus bisa mencakup seluruh wilayah Indonesia. Sebab, saat perang tidak mungkin pesawat lawan akan menghidupkan transpondernya.
”Jadi, kami butuh radar militer yang bisa mendeteksi. Insya Allah bakal tertutup. Tempatnya sudah disurvei yang blank area itu. Kemudian step by step akan menutup kekosongan radar,” kata Tedi.
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, berpandangan, kemampuan Indonesia dalam menjaga kedaulatan wilayahnya masih sangat lemah. Pasalnya, berbagai pelanggaran laut dan udara kerap terjadi di kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) karena terbatasnya kemampuan ISR (intelligence, surveillance and reconnaissance).
Pencurian sumber daya alam hingga penyelundupan narkoba dan barang ilegal membuat negara merugi. Pengembangan kemampuan pertahanan udara perlu dilakukan untuk mengatasi keterbatasan radar yang tidak seluruhnya operasional.
Baca juga: TNI AU Modern dan Tangguh
”Untuk mengatasi kelemahan dalam pengawasan wilayah udara, perlu dilakukan pengembangan kemampuan pertahanan udara lewat pengawasan intelijen dan pemantauan udara,” katanya.
Dalam konteks tersebut, pesawat nirawak harus menjadi prioritas karena tingkat efektivitas dan efisiensi saat operasi. Dari aspek biaya lebih murah dari pesawat dan jangkauan cukup jauh. Artinya, pembangunan kesatuan unit pesawat nirawak penting dalam meningkatkan pengawasan wilayah udara.
Radar pada dasarnya sangat baik untuk pengawasan udara dan laut, khususnya kemampuan menjangkau jarak di luar ZEE. Walakin, akuisisi alutsista radar agak terhambat karena kemampuan anggaran negara yang terbatas.
Hingga kini, perbaikan dan penyempurnaan struktur militer terus dilakukan guna merespons kebutuhan zaman. Perlahan, tapi pasti, kebutuhan penjaga udara RI akan terpenuhi demi membentuk TNI AU yang disegani di kawasan.
Selamat ulang tahun kedua Koopsudnas TNI AU, ujung tombak penjaga langit Indonesia.