KPK Tetap Lanjutkan Penyidikan Perkara Eddy Hiariej
KPK tetap akan melanjutkan penyidikan perkara dugaan suap dan gratifikasi yang disangka melibatkan Eddy Hiariej.
Oleh
DEFRI WERDIONO, SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi akan kembali menetapkan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward OS Hiariej sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM yang sebelumnya menjeratnya. KPK tetap akan melanjutkan penyidikan perkara rasuah tersebut karena menganggap putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya terkait syarat formil penetapan tersangka.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri tidak membantah saat wartawan menanyakan apakah Eddy Hiariej akan kembali ditetapkan sebagai tersangka. Surat perintah penyidikan baru juga akan dikeluarkan. ”Secara teknis seperti itu (ditetapkan kembali sebagai tersangka),” ucapnya, Kamis (1/2/2024).
Pada Rabu (31/1/2024), hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan Edward. Hakim menetapkan bahwa langkah KPK selaku termohon menetapkan Edward sebagai tersangka tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ali menegaskan, KPK tetap akan melanjutkan penyidikan perkara dugaan suap dan gratifikasi yang diduga melibatkan Edward. Sebab, gugatam praperadilan di PN Jakarta Selatan hanya menguji syarat formil. Secara substansi, materi, dan dugaan perbuatan dari tersangka sama sekali belum pernah diuji pada pengadilan tindak pidana korupsi.
KPK juga telah membahas hasil praperadilan itu dalam forum yang dihadiri pimpinan, bagian penindakan, dan tim Biro Hukum. Dipastikan bahwa KPK tetap melanjutkan proses hukum dugaan korupsi di Kemenkumham tersebut.
KPK, menurut Ali, akan menyelesaikan proses-proses administrasi penyidikan yang sudah dibatalkan oleh PN Jakarta Selatan. ”Hakim lebih banyak menggunakan aturan-aturan umum di KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), baik dari pengertian penyelidikan maupun penyidikan. Sementara KPK mempunyai aturan khusus seseorang sebagai tersangka. Pasal 43 dan 44 (UU KPK) masalah penyelidikan. Di situ sudah berbicara soal alat bukti. Ini artinya satu langkah lebih maju dari ketentuan di KUHAP,” katanya.
Dorongan agar KPK kembali menetapkan Edward sebagai tersangka juga disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sebab, menurut ICW, berdasarkan putusan peradilan penyidikan yang dilakukan KPK dianggap masih berlaku.
KPK tetap akan melanjutkan penyidikan perkara dugaan suap dan gratifikasi yang disangka melibatkan Edward Hiariej. Sebab, gugatam praperadilan di PN Jakarta Selatan hanya menguji syarat formil.
Selain itu, KPK juga sudah menetapkan penyuap, yakni Helmut Hermawan, sebagai tersangka. ”Oleh sebab itu penting bagi KPK untuk melanjutkan penyidikan. Satu di antaranya dengan kembali atau segera menetapkan Edward sebagai tersangka,” ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana.
Menurut Kurnia, KPK telah melakukan prosedur yang benar saat menetapkan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi di Kemenkumham tersebut. Karena itu, KPK tinggal mengeluarkan keputusan administrasi berupa penetapan kembali tersangka kepada yang bersangkutan.
Hal ini pernah terjadi pada kasus Setya Novanto, bekas Ketua DPR yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek KTP elektronik. Menurut Kurnia, konstruksi kasus Novanto hampir sama dengan perkara Edward Hiariej. Saat itu, KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka dan melanjutkan proses hukum hingga ke pengadilan.
Janggal
ICW juga melihat putusan PN Jakarta Selatan janggal karena hakim tunggal gagal memahami proses penegakan hukum di KPK. Di KPK, dalam fase penyelidikan, yang tertuang dalam Pasal 44 UU KPK, sudah bicara soal pencarian bukti yang cukup. ”Artinya dalam fase penyelidikan sudah mencari dua alat bukti sehingga ketika diterbitkan sprindik (surat perintah penyidikan) dengan sendirinya ada penetapan tersangka,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Kurnia, logika hakim PN Jakarta Selatan bahwa penetapan tersangka baru bisa dilakukan setelah penyidikan tuntas tidak tertuang dalam undang-undang mana pun. Karena itu, penting bagi Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk melihat apakah putusan itu dihasilkan secara benar atau tidak.
Di tempat terpisah, mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, prosedur penetapkan tersangka oleh KPK tidak berubah sejak dulu. KPK dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka setelah mendapatkan informasi dan alat bukti yang didapat dalam penyelidikan.
Laode berharap KPK tetap melanjutkan penyidikan perkara dugaan suap dan gratifikasi di lingkungan Kemenkumham tersebut. KPK dapat kembali menetapkan Eddy sebagai tersangka.
Eksaminasi
Pengajar hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, berpandangan, putusan hakim tunggal PN Jakarta Selatan yang membatalkan penetapan tersangka Edward Hiariej perlu dieksaminasi. Sebab, sejumlah pertimbangan hakim Estiono dinilai janggal.
Selain itu, hakim Estiono juga dinilai gagal memahami kewenangan KPK yang diatur dalam UU KPK. Hakim, misalnya, mempersoalkan tentang pengumpulan alat bukti berdasarkan berita acara permintaan keterangan berdasarkan surat perintah penyelidikan, dan bukan surat perintah penyidikan.
”Padahal, di dalam UU KPK, proses pengumpulan alat bukti lazim dilakukan KPK saat proses penyelidikan. Maka itu, menyulitkan KPK yang memang dibekali business process spesifik dalam undang-undang,” kata Herdiansyah.
Meskipun demikian, ia menyarankan agar KPK merespons putusan tersebut secara cepat dan memastikan segera mengoreksi proses penetapan tersangka seperti dalam kacamata hakim. KPK juga harus memastikan materi perkara segera dibawa ke pengadilan. Sebab, praperadilan membuat perkara ini menjadi terinterupsi ke hal-hal teknis dan prosedural, bukan substansi perkara.
Ditanya apakah KPK harus mengubah prosedur tetap dalam penetapan tersangka setelah putusan praperadilan Edward, Herdiansyah mengaku hal tersebut tak perlu dilakukan. Yang dibutuhkan KPK hanyalah beradaptasi dengan dinamika putusan hakim. ”Karena mengubah prosedur tetap soal pengumpulan alat bukti di tahap penyelidikan berarti harus mengubah norma UU KPK. Jadi, KPK harus tetap berdasar pada undang-undang, Cuma perlu beradaptasi dengan strategi,” ujarnya.