Sidang Etik dan Tantangan Integritas Pegawai Rutan KPK
Satu per satu dugaan pungli di rutan KPK mengemuka. Pungli yang diketahui capai Rp 6,1 miliar ini terjadi sejak 2018.
Pertengahan Juli 2023, seusai mengikuti persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, seseorang menyelipkan uang Rp 5 juta ke kantong celana bekas Gubernur Papua Lukas Enembe. Lukas baru menyadarinya setelah kembali ke rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi ketika digeledah petugas rutan. Petugas rutan pun mengambil uang tersebut.
Keesokan harinya, Lukas menyampaikan peristiwa itu kepada kuasa hukumnya, Petrus Bala Pattyona. Seusai mengunjungi Lukas, Petrus menanyakan tentang uang Rp 5 juta tersebut kepada petugas rutan yang berjaga di meja kunjungan yang biasa digunakan untuk mengisi buku tamu. Petugas rutan tersebut membenarkan dan uang tersebut sudah diserahkan ke komandannya. Ia berjanji akan mengembalikannya. Namun, hingga Lukas meninggal pada 26 Desember 2023, uang itu tidak pernah dikembalikan.
Baca juga: Pungli di Rutan KPK, Bentuk Kegagalan KPK Awasi Sektor Kerja Rawan Korupsi
Pemberian nomor telepon
Petrus mengaku juga pernah diberikan nomor telepon oleh seorang petugas rutan KPK ketika mengunjungi Lukas bersama dengan keluarga Lukas pada pekan kedua Januari 2023. Adapun Lukas ditangkap pada 10 Januari 2023.
”Petugas lapas (rutan KPK) itu pernah memberikan nomor ke saya dan keluarga Lukas, tetapi kami tidak pernah menghubungi,” ujar Petrus saat dihubungi dari Jakarta, Senin (22/1/2024).
Petugas rutan KPK tersebut menuliskan nomornya di secarik kertas lalu diberikan kepada Petrus. Kepada Petrus, petugas rutan itu mengatakan bahwa apabila perlu sesuatu bisa menghubungi nomor yang diberikannya tersebut.
Akan tetapi, Petrus dan keluarga Lukas tidak pernah menghubungi nomor tersebut. Sebab, jaksa KPK langsung menghubunginya ketika membutuhkan pertolongan untuk membujuk Lukas agar mau makan atau ke rumah sakit. Menurut Petrus, hanya dia yang bisa memengaruhi Lukas saat merajuk. Selain itu, hak-hak normatif tahanan telah diperoleh.
Namun, keterangan Petrus itu dibantah oleh Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri. Dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (30/1/2024), ia menyampaikan, uang Rp 5 juta milik Lukas yang disita petugas rutan KPK sudah lama dikembalikan. "(Uang) diterima oleh adik Lukas Enembe," kata Ali.
Ia menjelaskan, ada dokumen berita acara pengembalian uang tersebut. KPK memastikan, proses penyitaan dan pengembalian uang tersebut sudah sesuai prosedur. Ali mengungkapkan, uang tersebut dikembalikan pada September 2023 atau sebelum Lukas meninggal dunia.
Berdasarkan berita acara pengembalian barang Lukas Enembe yang diterima Kompas, Staf Keamanan dan Ketertiban Rutan KPK Jatmiko telah menyerahkan uang Rp 5 juta dalam bentuk uang pecahan Rp 50.000 sebanyak 100 lembar kepada adik Lukas, Elius Enembe pada 18 September 2023.
Sidang etik
Kini, Dewan Pengawas KPK tengah menyidangkan dugaan pelanggaran etik terhadap 93 pegawai KPK yang diduga melakukan pungutan liar (pungli) dan gratifikasi terhadap tahanan yang mulai digelar pada Rabu (17/1/2024), di Jakarta. Total pungutan itu mencapai Rp 6,1 miliar.
Sidang etik terhadap 93 pegawai tersebut dibagi menjadi enam gelombang. Sebanyak 15 orang disatukan dalam satu berkas perkara. Tiga orang sisanya merupakan atasan pegawai. Mereka disidang secara terpisah. Para pegawai yang disidang tersebut, di antaranya kepala rutan, mantan kepala rutan, komandan regu, staf, sampai pengawal tahanan.
Mereka disatukan dalam sidang yang sama berdasarkan pasal yang dituduhkan. Anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris, menyebut, salah satu pasal yang dituduhkan adalah penyalahgunaan wewenang.
”Dengan melakukan pungutan kepada tahanan, tahanan itu mendapat layanan lebih. Misalnya, HP (telepon genggam) untuk komunikasi itu contohnya. Bisa juga dalam bentuk cas (mengisi daya listrik) HP dan lain-lain,” ujar Syamsuddin.
Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, menjelaskan, tahanan dimintai uang Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per sekali mengisi daya listrik di telepon seluler (ponsel) dan powerbank. Untuk memasukkan ponsel, tahanan dimintai Rp 10 juta sampai Rp 20 juta. Tahanan juga harus membayar uang bulanan Rp 4 juta sampai Rp 5 juta selama menggunakan ponsel tersebut.
Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, menjelaskan, tahanan dimintai uang Rp 200.000 sampai dengan Rp 300.000 per sekali mengisi daya listrik di telepon selulernya danpowerbank.
Disebut lurah
Albertina mengungkapkan, sebagian besar pegawai yang disidang terlibat dalam persoalan penggunaan ponsel tersebut. Pegawai tahanan pura-pura tidak melihat tahanan yang menggunakan ponsel. Dalam proses pungli, ada penjaga rutan yang mengoordinasi. Mereka disebut lurah.
Mereka juga memperbolehkan makanan masuk ke ruang tahanan tidak pada waktunya. Bahkan, ada tahanan yang bisa memesan makanan dari luar secara daring dengan dibantu oleh petugas rutan untuk membawa makanan tersebut masuk ke ruang tahanan.
Sumber Kompas di internal KPK mengungkapkan, koordinator pungli itu diduga melibatkan Kepala Rutan KPK Ahmad Fauzi dan para komandan regu. Mereka merupakan pegawai Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjenpas Kemenkumham) yang ditugaskan di rutan KPK. Ahmad merupakan satu dari 93 pegawai yang disidang etik oleh Dewas KPK. Kompas sudah mengonfirmasi kepada Ahmad terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus pungli di Rutan KPK, tetapi tidak direspons.
Syamsuddin, anggota Dewas KPK, mengungkapkan, jabatan kepala rutan diisi oleh pegawai Kemenkumham karena rutan dikelola oleh Kemenkumham. Pegawai Kemenkumham yang ditugaskan di rutan KPK merupakan pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD). ”Jadi, dia insan KPK selama tugas di sini, makanya bisa dikenakan etik,” kata Syamsuddin.
Koordinator Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkumham Deddy Eduar Eka Saputra mengatakan, Ditjenpas menyerahkan sepenuhnya proses pemeriksaan dugaan pungutan liar di Rutan KPK kepada KPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pihaknya masih menunggu laporan secara resmi dari KPK terkait pegawai yang terbukti melakukan pungli.
”Ditjenpas akan menindak tegas pegawai yang terbukti melakukan pungli berdasarkan ketentuan yang berlaku,” kata Deddy.
Baca juga: Pungli di Rutan KPK, Tak Cukup Cuma Minta Maaf
Memeriksa 169 orang
Anggota Dewas KPK, Harjono, menambahkan, seluruh terlapor telah menerima uang. Terkait pungli dengan modus mengisi daya dan memasukkan ponsel, Harjono membenarkan peristiwa tersebut terungkap di persidangan. Namun, tidak semua terlibat karena ada bagian yang tidak berkontak langsung dengan tahanan.
Sebelum menyidangkan kasus ini, Dewas KPK telah memeriksa 169 orang yang terdiri dari pegawai KPK, tahanan, dan pihak lainnya. Dari jumlah itu, sebanyak 93 orang diduga melanggar etik berat. Mereka disangka menerima sejumlah uang dari tahanan yang ditahan di rumah tahanan KPK dan keluarga tahanan. Mereka diduga menerima Rp 1 juta hingga Rp 500 juta per orang.
Turut disidik
Selain etik, para pegawai tersebut juga bisa dijatuhi hukuman pidana. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut, kasus ini diproses secara etik dan penegakan hukum sebagai komitmen KPK untuk memastikan bahwa korupsi tidak menjalar ke KPK. Ghufron mengungkapkan bahwa kejadian ini sudah ada sejak 2018.
Tersangka kasus ini, lanjut Ghufron, sudah tersebar di beberapa tempat, tetapi ada yang masih di KPK. Itu yang membuat KPK harus berhati-hati untuk memproses perkara ini secara lengkap dan adil sesuai peran masing-masing.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Senin (22/1/2024), mengatakan, kasus ini sudah disetujui untuk naik ke penyidikan. Namun, ia belum bisa mengungkap jumlah tersangkanya. Sebab, penyidik KPK yang akan menentukan jumlah tersangka berdasarkan bobot peran masing-masing.
Saat dikonfirmasi terkait perkara ini sudah ada sejak 2018, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang mengatakan, ada beberapa pegawai KPK yang dipecat karena beberapa kasus seperti membawa alat pemanas makanan dan ponsel ke rutan. Selain itu, ada pegawai yang membiarkan tahanan berobat lalu jalan-jalan di luar. Saut menegaskan, pegawai yang terkait dengan kasus tersebut telah dihukum. Apabila ada kasus lain dengan pelaku yang berbeda, Saut tidak mengetahuinya.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menambahkan koordinator untuk kasus pungli itu tersebar di tiga rutan cabang KPK.
Adapun kasus pungli di Rutan KPK ini terungkap ketika Dewas sedang memproses kasus asusila yang dilakukan Mustarsidin, anggota Staf Cabang Rutan KPK terhadap istri tahanan dalam kasus jual beli jabatan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Berdasarkan putusan Dewas KPK yang diperoleh Kompas, korban dimintai uang Rp 72,5 juta oleh pihak rutan KPK dengan alasan untuk kelancaran tahanan di rutan.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menambahkan, koordinator untuk kasus pungli itu tersebar di tiga rutan cabang KPK, yakni rutan Gedung Merah Putih, rutan Gedung KPK Kavling C1 Jakarta Selatan (gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK), dan rutan Polisi Militer Komando Daerah Militer (Pomdam) Jaya, Guntur, Jakarta. ”Setidaknya tiga cabang rutan itu yang ada dugaan pemerasan terhadap para tahanan yang diduga oleh para oknum sipir atau penjaga tahanan,” kata Ali. Ia mengungkapkan, rekening yang digunakan untuk memeras tahanan bukan milik orang-orang yang ada di rutan cabang KPK.
Ali menegaskan, KPK akan menuntaskan kasus ini untuk menjaga marwah KPK. KPK akan menuntaskan kasus ini sendiri, baik dari sisi etik, pidana, maupun disiplin pegawai. KPK sudah memeriksa di Jakarta, Bekasi (Jawa Barat), Kalimantan Timur, dan beberapa tempat lainnya.
Ketua Majelis Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean (tengah) mengetuk palu putusan saat Sidang Putusan Etik terhadap bekas Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Anti Corruption Learning Center (ACLC) KPK, Jakarta, Rabu (27/12/2023). Dewan Pengawas KPK memutuskan bahwa Firli Bahuri terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran kode etik KPK dan dijatuhi sanksi etik berat. Sanksi etik berat yang dijatuhkan tersebut adalah diminta mengundurkan diri dari pimpinan KPK.
Selain itu, KPK juga akan fokus memperbaiki sistem pengelolaan di rutan yang menjadi bagian dari proses sistem peradilan pidana. Ali menegaskan, KPK akan mengevaluasi tata kelola rutan. Sebab, kecurangan ini terjadi karena ada kelemahan sistem.
Dihubungi secara terpisah, mantan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo mengungkapkan, ketika ia masih di KPK, pegawai yang diduga melakukan pungli langsung dipecat. Sebagai contoh, pada pertengahan Juli 2019, pegawai KPK yang menerima uang Rp 300.000 dari ajudan bekas Menteri Sosial Idrus Marham dipecat. Saat itu, Idrus menjadi tersangka suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.
Menurut Yudi, banyaknya pegawai KPK yang terlibat dalam kasus pungli dan menjadi komplotan telah merusak integritas, sistem, dan kebersihan KPK dari korupsi. Pegawai yang telah menerima uang dari tahan juga telah mengganggu penindakan yang dilakukan KPK dalam menangani kasus korupsi.
Baca juga: Integritas KPK Mengeropos
Tiada keteladanan
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, mengatakan, terjadinya pungli di KPK merupakan sebuah ironi. Sebab, pungli terjadi di lembaga pemberantas korupsi sehingga menunjukkan adanya pengeroposan nilai integritas yang serius di KPK.
”Terjadi kerusakan merata. Tidak hanya dilakukan oleh para elite KPK seperti pimpinan yang terjadi pada (bekas Ketua KPK) Firli Bahuri dan (bekas Wakil Ketua KPK) Lili Pintauli Siregar. Ternyata juga sampai ke level pegawai di tingkat bawah,” kata Zaenur.
Adapun Firli diminta mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK setelah Dewas menjatuhkan sanksi berat karena terbukti bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku KPK. Salah satunya melakukan hubungan langsung ataupun tidak langsung terhadap pihak yang beperkara di KPK, yakni dengan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Sementara itu, Lili mengundurkan diri saat kasus dugaan pelanggaran etiknya sedang ditangani Dewas. Lili diduga menerima gratifikasi berupa akomodasi dan tiket menonton MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, dari sebuah perusahaan milik negara.
Menurut Zaenur, kejadian pegawai yang menerima uang dari Idrus Marham berbeda dengan persoalan yang saat ini terjadi. Publik saat itu melihat hanya kasuistik perorangan, sedangkan saat ini ada persoalan sistem kelembagaan yang tingkat keparahannya sudah tidak dapat ditoleransi lagi.
Menurut Zaenur, banyaknya pungli di rutan KPK disebabkan oleh tidak adanya keteladanan dari pimpinan. Pimpinan KPK telah menerjang nilai integritas yang selama ini dijunjung tinggi sehingga bawahannya berlaku lebih beringas. Mereka tidak punya standar nilai integritas yang tinggi.
Tidak adanya sistem pengawasan yang andal juga menyebabkan pegawai KPK bisa melakukan pungli. Ia menjelaskan, kejahatan terjadi bukan secara tiba-tiba. Kejahatan biasanya dimulai dari pelanggaran kecil yang dibiarkan dan tidak ada konsekuensi. Akibatnya, terjadi kejahatan yang semakin besar.
Zaenur menegaskan, mengeroposnya organisasi di KPK menyebabkan kepercayaan publik menjadi runtuh.
Zaenur menegaskan, mengeroposnya organisasi di KPK menyebabkan kepercayaan publik menjadi runtuh. Publik susah percaya kepada KPK karena mereka tidak menunjukkan keteladanan dalam menjunjung tinggi nilai integritas.
Ia menegaskan, mata uang utama perjuangan KPK adalah kejujuran. KPK memiliki slogan ”Berani Jujur Hebat” yang sangat bergantung pada nilai-nilai moral. Jika tidak ada praktik baik mengenai kejujuran di KPK, publik tidak akan percaya pada KPK. Dengan KPK tidak dipercaya publik, maka sulit bagi KPK untuk memberantas korupsi secara efektif, baik dari sisi penindakan maupun pencegahan.
Zaenur berharap, sidang etik yang dilakukan Dewas terhadap 93 pegawai tersebut dilakukan dengan standar yang tegas dan jelas. Ia meminta seluruh pegawai yang terlibat dipecat dan dilanjutkan ke proses pidana. Sebab, pemerasan dalam jabatan merupakan tindak pidana korupsi.
Selanjutnya, sistem di KPK perlu ditinjau hingga diperoleh kesimpulan penyebab persoalan ini terjadi. Hasil kesimpulan tersebut berujung pada rekomendasi yang harus dilaksanakan KPK.
Menurut Zaenur, tidak mudah membangun kembali KPK yang sudah hancur di berbagai sisi. KPK tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri sehingga dibutuhkan politik hukum dari negara untuk mengembalikan independensi KPK dengan mengubah kembali Undang-Undang KPK. Selain itu, internal KPK juga harus dibersihkan.
Catatan redaksi: Pada 30 Januari 2024, Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri memberi keterangan mengoreksi pernyataan kuasa hukum Lukas Enembe terkait pengembalian uang Rp 5 juta di kantong celana Lukas. Demikian perbaikan sudah kami lakukan.