Tak Dapat Kewenangan Keluarkan Tap, MPR Nilai MK Tutup Pintu Darurat Negara
MPR menilai MK telah menutup pintu darurat konstitusi dengan menegaskan MPR tidak berwenang mengeluarkan Tap MPR.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Permusyawaratan Rakyat menilai Mahkamah Konstitusi sudah menutup pintu pembahasan kedaruratan bangsa dengan memperkuat ketentuan bahwa lembaga negara tersebut tidak berwenang mengeluarkan Ketetapan atau Tap yang bersifat mengatur keluar. Padahal, belum ada aturan yang mengatur solusi bagi problem konsititusi, politik, hingga hukum yang berpotensi muncul saat negara mengalami kekosongan kekuasaan.
MK telah menolak permohonan yang diajukan Partai Bulan Bintang (PBB) yang diwakili ketua umumnya, Yusril Ihza Mahendra, serta sekretaris jenderalnya, Afriansyah Noor. Mereka menyoal Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam penjelasan pasal yang mengatur Tap MPR berada di urutan kedua setelah UUD 1945 dalam hierarki peraturan perundang-undangan itu disebutkan bahwa yang dimaksud Tap MPR adalah Tap MPRS serta Pasal 2 dan 4 Tap MPR Nomor 1/MPR/2003.
PBB menganggap penjelasan pasal itu inkonstitusional karena seakan-akan menghalangi MPR mengeluarkan ketetapan. Padahal, dalam UU diatur Tap MPR merupakan salah satu peraturan perundang-undangan. Karena itu, PBB meminta MK membatalkan penjelasan pasal tersebut. Sebab, MPR sebagai representasi kedaulatan rakyat berkewajiban hukum mengambil keputusan untuk mengatasi keadaan darurat. Keputusan itu diterbitkan dalam bentuk ketetapan MPR.
PBB menganggap penjelasan pasal tersebut inkonstitusional karena seakan-akan menghalangi MPR mengeluarkan ketetapan, padahal disebutkan di UU Pembentukan PeraturanPerundang-undangan bahwa Tap MPR merupakan salah satu peraturan perundang-undangan.
Dalam penolakannya, MK menegaskan MPR tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan berlaku mengikat keluar.
Merespons hal tersebut, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyatakan, pihaknya menghargai dan mengapresiasi putusan MK yang menolak gugatan yang diajukan PBB. Namun, dengan adanya putusan itu, berarti MK sudah menutup ruang darurat konstitusi saat terjadi masalah-masalah seperti sengketa politik hingga hukum.
”Saya ingatkan bahwa itu artinya MK telah menutup kembali pintu darurat konstitusi Indonesia. Dengan demikian, jika suatu saat terjadi dispute (sengketa) konstitusi, dispute politik, dispute hukum, Indonesia tidak punya jalan keluar dalam memecahkan masalah konstitusi,” ujarnya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (17/1/2024).
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu juga menyinggung kondisi apabila pemilihan umum tidak berlangsung tepat waktu, misalnya, karena bencana alam berskala besar. Akibatnya, presiden dan wakil presiden tidak ada pada 20 Oktober 2024 serta anggota legislatif tidak ada pada 1 Oktober 2024.
Pasal 7 UUD 1945 mengatur Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin resmi dilantik pada 20 Oktober 2019. Artinya, masa jabatannya akan habis pada 20 Oktober 2024. Sementara anggota legislatif akan habis pada 1 Oktober 2024.
Tidak ada tata cara menggantikan jabatan-jabatan yang dihasilkan pemilu, maka terjadi kekosongan kekuasaan. Jadi, Indonesia tidak punya jalan keluar, tidak ada protokol kedaruratan untuk mengisi jabatan.
Dengan demikian, 1 Oktober dan 20 Oktober akan menjadi momentum berakhirnya masa jabatan kenegaraan, termasuk kabinet pemerintahan. Dalam skenario terburuk seperti bencana alam dan perang yang menyebabkan pemilu terpaksa berlangsung secara tidak sempurna, negara tidak memiliki solusi.
Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur pelaksana tugas kepresidenan yakni Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama (triumvirat) juga tidak bisa diterapkan lagi karena masa kepresidenan sudah berakhir.
”Tidak ada tata cara menggantikan jabatan-jabatan yang dihasilkan pemilu, maka terjadi kekosongan kekuasaan. Jadi, Indonesia tidak punya jalan keluar, tidak ada protokol kedaruratan untuk mengisi jabatan,” jelas Bambang Soesatyo.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Hasanuddin, Fajlurrahman Jurdi, menuturkan, kewenangan MPR untuk membuat ketetapan sudah tidak relevan mengingat kedudukannya sebagai joint session dari anggota DPR dan DPD. Hal yang diatur dalam konstitusi ini dinilai sudah cukup.
”Belakangan MPR memperjuangkan kembali kewenangannya untuk menetapkan ketetapan yang bersifat regeling supaya bisa mengatur keluar. Namun, urgensinya tidak ada,” katanya.
Dalam konteks kedaruratan, UUD 1945 sudah mengatur kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Artinya, semua sudah diantisipasi.
Apabila konstitusi ke depan mengatur wewenang MPR untuk menetapkan ketetapan, perlu ada rumusan dan status yang jelas. ”Bagaimana sifat dan status hukumnya, apakah regeling, beschikking, atau beleidsregels (kebijakan) saja?” katanya.