Hilangnya kewenangan MPR keluarkan ketetapan ini merupakan konsekuensi dari perubahan mendasar UUD 1945.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) dan berlaku mengikat keluar. Hilangnya kewenangan ini sebagai konsekuensi dari perubahan mendasar UUD 1945 yang memengaruhi sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya perubahan fungsi dan kewenangan MPR.
Meski diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK menolak permohonan yang diajukan Partai Bulan Bintang yang diwakili ketuanya, Yusril Ihza Mahendra, dan Sekretaris Jenderalnya, Afriansyah Noor, dalam sidang pembacaan putusan, Selasa (16/1/2024). Partai Bulan Bintang menyoal Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Seperti diketahui, UU No 12/2011 mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di dalam Pasal 7 Ayat (1). Ketetapan atau Tap MPR diletakkan pada urutan kedua setelah/di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang. Di bagian penjelasan pasalnya, disebutkan bahwa yang dimaksud ketetapan MPR adalah Tap MPRS dan Pasal 2 dan 4 Tap MPR Nomor 1/MPR/2003.
Partai Bulan Bintang menganggap penjelasan pasal tersebut inkonstitusional karena seakan-akan menghalangi MPR mengeluarkan ketetapan, padahal sudah disebutkan di UU PPP bahwa Tap MPR merupakan salah satu peraturan perundang-undangan.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menengok kembali amendemen konstitusi yang dilakukan sejak tahun 1999 hingga 2002. Sebelum amendemen, MPR memang memiliki kewenangan mengeluarkan ketetapan. Kewenangan itu tidak dapat dilepaskan dari kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amendemen) yang intinya kekuasaan negara tertinggi di tangan MPR. MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat sekaligus penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam kaitannya dengan itu, MPR memberi mandat kepada presiden untuk melaksanakan garis-garis besar daripada haluan negara dan keputusan-keputusan lainnya yang diterbitkan dalam bentuk Tap MPR.
Setelah amendemen, hal ini berubah. Pascareformasi, dilakukan penataan terhadap lembaga negara dengan mengedepankan prinsip supremasi konstitusi. MPR tak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan. Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan mengungkapkan, posisi Tap MPR dalam struktur hukum di Indonesia sebenarnya sudah dihilangkan di UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, UU No 12/2011 memunculkan kembali Tap MPR tersebut dalam hierarki peraturan perundangan-undangan di dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf b beserta penjelasannya.
Sebelum amendemen, MPR memang memiliki kewenangan mengeluarkan ketetapan. Kewenangan itu tidak dapat dilepaskan dari kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amendemen) yang intinya kekuasaan negara tertinggi di tangan MPR.
Ketidakpastian hukum
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, MK tidak dapat mengabulkan permohonan Partai Bulan Bintang. Sebab, apabila permohonan dikabulkan, justru memunculkan ketidakpastian hukum terhadap Ketetapan MPR mana yang dimaksud oleh Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No 12/2011.
”Tanpa penjelasan tersebut, MPR secara faktual akan tampak menjadi lembaga negara yang tidak sejajar dengan lembaga negara lainnya karena dapat mengeluarkan ketetapan yang tidak dapat diuji atau ditinjau oleh lembaga konstitusional lainnya,” kata Enny.
Tanpa penjelasan tersebut, MPR secara faktual akan tampak menjadi lembaga negara yang tidak sejajar dengan lembaga negara lainnya karena dapat mengeluarkan ketetapan yang tidak dapat diuji atau ditinjau oleh lembaga konstitusional lainnya.
Seperti diketahui, UUD 1945 telah mengatur bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji konstitusionalitas peraturan di bawah undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas norma undang-undang terhadap UUD 1945. Padahal, kedudukan ketetapan MPR berada di antara UUD 1945 dan undang-undang.
Selain itu, sistem peraturan perundang-undangan dan ketatanegaraan pascaamendemen konstitusi sudah meniadakan kewenangan MPR membentuk dan menerbitkan ketetapan. ”Oleh karena itu, MPR tidak dapat lagi membentuk ketetapan MPR yang bersifat mengatur (regelingen),” tegas Enny.
MK sama sekali tidak menyinggung alasan Partai Bulan Bintang meminta MK menyatakan MPR berwenang mengeluarkan ketetapan. Dalam permohonannya, Partai Bulan Bintang melontarkan pertanyaan apabila pemerintahan eksekutif lumpuh total, termasuk Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan (triumvirat) berhalangan, otoritas mana yang bisa menjawab/menyelamatkan keadaan bahaya tersebut. Partai Bulan Bintang pun meminta MK untuk menyatakan dalam situasi pemerintah lumpuh total, MPR bisa memberikan jalan keluar. Namun, pengandaian kondisi bahaya tersebut sama sekali tak disinggung dalam putusan MK.
Dalam dissenting opinion-nya, Saldi Isra pun tak menyinggung alasan pemerintahan lumpuh yang diandaikan Partai Bulan Bintang. Ia sebenarnya sepakat untuk menghapus Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No 12/2011. Ia juga berpendapat bahwa peletakan ketetapan MPR dalam hierarki perundang-undangan tidak tepat, apalagi diletakkan di atas undang-undang. Menurut dia, Ketetapan MPR seharusnya diletakkan sebagai ketentuan peralihan di dalam UU No 12/2011 atau diletakkan sejajar dengan undang-undang. Sebab, materi muatan yang terkandung di dalam Ketetapan MPR sebenarnya memiliki kandungan materi muatan yang diatur di dalam undang-undang.