Kontroversi di Medsos Sama dengan Keonaran?
MK diminta untuk membatasi definisi keonaran dengan kerusuhan fisik ataupun huru-hara dalam pasal berita bohong di Peraturan Hukum Pidana. Tanpa definisi yang jelas, pasal itu rentan digunakan secara sewenang-wenang.
Sebanyak 13 mahasiswa jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar pada akhir Desember 2023 mempersoalkan inkonstitusionalitas pasal-pasal berita bohong di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal berita bohong tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi yang menjamin hak warga akan kebebasan berekspresi, mengungkapkan pendapat, dan berkumpul.
Mahkamah Konstitusi diminta memperjelas delik ”berita bohong yang menyebabkan keonaran masyarakat” mengingat hingga saat ini definisi keonaran yang menjadi jantung di dalam pasal tersebut tidak jelas. Aparat penegak hukum cenderung meyakini kontroversi di dunia maya sebagai salah satu keonaran.
Para mahasiswa tersebut merasa hak konstitusionalnya untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh konstitusi terlanggar karena masih berlakunya Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Sebagai mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan sekaligus penggiat media sosial yang sering menuliskan dan menyebarkan kritik, saran, dan masukan terkait kebijakan pemerintah, para pemohon merasa terancam dengan keberadaan pasal tersebut.
Para mahasiswa tersebut merasa hak konstitusionalnya untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh konstitusi terlanggar karena masih berlakunya Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Adapun Pasal 14 Ayat (1) UU No 1/1946 mengatur, ”Barang siapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setingi-tingginya sepuluh tahun.”
Sementara Pasal 15 di undang-undang yang sama mengatur, ”Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya dua tahun.”
Kekhawatiran bakal menjadi korban penerapan kedua pasal tersebut semakin besar manakala sejumlah hakim dan jaksa menafsirkan ”kontroversi dan perdebatan di media sosial” sebagai sebuah keonaran, seperti yang diatur di dalam Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 15 UU No 1/1946. Hal itu setidaknya terlihat dalam putusan perkara 305/Pid.Sus/2021/PN.Mks dan 748/Pid.Sus/2021/PT.MKS. Dalam putusan itu, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara atas cuitan di Twitter, atau sekarang X, terkait Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai meresahkan.
”Jaksa dan hakim mengkategorikan perdebatan di media sosial sebagai bentuk keonaran. Hal yang dialami oleh terdakwa tersebut berpotensi dialami oleh para pemohon nantinya,” kata para pemohon dalam berkas permohonannya seperti dikutip pada Selasa (26/12/2023).
Baca Juga: HAM dan Antagonisme Media Sosial
Dihukum akibat kicauan
Dalam perkara 305/Pid.Sus/2021/PN.Mks, seorang ibu rumah tangga bernama Videlya Esmerella dihukum 8 bulan penjara atas kicauannya di Twitter terkait Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam cuitannya, Videlya melemparkan informasi tentang poin-poin dalam UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan cara omnibus law itu menyengsarakan dan membunuh rakyat.
Menurut dia, undang-undang tersebut menghilangkan uang pesangon, menghapus upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral provinsi (UMSP), menghitung upah buruh per jam, menghilangkan semua hak cuti karyawan tanpa kompensasi. Selain itu, menurut dia, undang-undang itu mengganti tenaga alih daya (outsourcing) dengan pegawai kontrak seumur hidup, serta meniadakan status karyawan tetap, dan lain-lain.
Dalam perkara Videlya itu, majelis hakim menilai bahwa Videlya terbukti menyebarkan berita bohong karena kicauan di akun Twitter-nya itu dapat dipatahkan nilai kebenarannya. Informasi tersebut dinilai majelis hakim dapat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat karena tema informasi yang dibagikan beririsan dengan masyarakat umum. Informasi menyesatkan tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan vertikal di antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Atas vonis pidana penjara tersebut, Videlya mengajukan banding. Namun, Pengadilan Tinggi Makassar menguatkan putusan tingkat pertama tersebut.
Dalam ketidakjelasan makna ’keonaran’ tersebut, Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 15 UU No 1/1946 dapat digunakan untuk menjerat siapa saja yang dianggap menyebarkan berita bohong tanpa memperhatikan fakta, bukti.
Definisi keonaran
Ke-13 mahasiswa yang sebagian merupakan pembuat konten (content creator) merasa terancam dengan model penafsiran aparat penegak hukum terhadap Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 15 UU No 1/1946 tersebut. Penafsiran semacam itu potensial melanggar hak warga atas kebebasan berekspresi ataupun mengeluarkan pendapat yang dijamin konstitusi.
”Pemohon merasa bahwa risiko tersebut sangat nyata dan wajar mengingat banyak kasus serupa yang telah terjadi di Indonesia, di mana para penyebar informasi dan pendapat yang bersifat kritis, konstruktif, dan edukatif dianggap sebagai pelaku tindak pidana menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat dan diancam dengan hukuman penjara yang berat,” demikian diungkapkan pemohon.
Risiko tersebut dinilai sebagai sesuatu yang sangat tidak adil dan tidak proporsional. Sebab, pasal yang diuji tidak memberikan definisi atau kriteria yang jelas mengenai apa yang dimaksud keonaran di kalangan rakyat. Hal ini menimbulkan penafsiran yang subyektif dan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum. Pasal tersebut juga tidak memberikan batasan atau standar mengenai tingkat kerugian atau kerusakan yang harus ditimbulkan oleh berita atau pemberitahuan bohong untuk dapat dikategorikan sebagai keonaran.
Dalam ketidakjelasan makna ”keonaran” tersebut, Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 15 No UU 1/1946 dapat digunakan untuk menjerat siapa saja yang dianggap menyebarkan berita bohong tanpa memperhatikan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada. Hal ini bisa merugikan kepentingan umum serta merugikan demokrasi dan negara hukum.
Pemohon dan masyarakat lainnya menjadi tidak dapat lagi mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah, serta menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Para pemohon menilai bahwa Pasal 14 Ayat (1) UU No 1/1946 tidak sesuai dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Selain tidak ada kriteria jelas terhadap unsur utama ”keonaran” di dalam delik berita bohong, pengaturan seperti itu juga dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi yang saat ini berkembang dengan pesat. Sebab, Pasal 14 UU No 1/1946 dibuat pada 1946, saat Indonesia baru saja merdeka dan masih menghadapi ancaman penjajah sehingga ada kepentingan untuk melindungi kebutuhan dan kedaulatan negara dari upaya yang mengganggu stabilitas dan keamanan nasional.
Namun, pasal tersebut dinilai sudah tak lagi sesuai dengan kondisi saat ini manakala masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, terutama media sosial. Dinamika perdebatan diruang publik yang merupakan bagian dari demokrasi dan partisipasi masyarakat tidak dipertimbangkan oleh pasal tersebut.
Baca Juga: Pemidanaan Kasus Pelanggaran UU ITE Masih Terus Terjadi
Dianggap melanggar UUD 1945
Mahkamah Konstitusi pun diminta untuk menyatakan Pasal 15 UU No 1/1946 melanggar Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak tiap orang untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya. Pasal tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara mendapatkan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; serta Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak tiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Dalam kaitannya dengan dalil-dalil tersebut, MK diminta untuk menyatakan Pasal 14 Ayat (1) UU No 1/1946 inkonstitusional sepanjang delik keonaran ”dimaknai sebagai huru-hara secara langsung atau kerusuhan fisik”.
Kini, para pemohon menanti MK menyidangkan perkara pengujian pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran tersebut.