Pemidanaan Kasus Pelanggaran UU ITE Masih Terus Terjadi
Pembahasan substansi revisi UU ITE di tingkat panitia kerja Komisi I DPR disebut sudah tuntas sebelum DPR memasuki masa reses pada 14 Juli lalu.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil mendorong agar revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang kini tengah berproses tidak menyisakan pasal-pasal bermasalah yang berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi warga. Sebab, hingga saat ini, pemidanaan kasus-kasus pelanggaran UU ITE masih terus berjalan. Sebagian di antaranya ditengarai tak sejalan dengan Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang semestinya menjadi rujukan dalam penggunaan sejumlah pasal karet.
Berdasarkan catatan Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Paku ITE), sejak Juli 2021 hingga Januari 2023, setidaknya ada empat kasus dugaan pelanggaran UU ITE yang dilaporkan ke penegak hukum.
Dari empat kasus tersebut, satu di antaranya berada dalam tahap penyelidikan, dua kasus dalam penyidikan, dan satu kasus sudah di persidangan.
Kasus terbaru yang terjadi pada Januari lalu menimpa Septia Dwi Pertiwi, seorang buruh di Jakarta yang dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik oleh atasannya karena berkeluh kesah di media sosial (medsos) ihwal pengalaman kerjanya.
Sebelumnya, Susi Ikhmah, warga Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik karena menyebarkan pengalamannya tertipu oleh penggadai mobil. Mobil yang ia terima ternyata milik tempat penyewaan, bukan milik penggadai yang berinteraksi dengan Susi.
Kasus lain juga menimpa Wahyu Dwi Nugroho, seorang pedagang di Kota Tangerang, Banten. Ia dilaporkan oleh anak dari pemimpin sebuah komunitas karena dianggap telah melakukan ujaran kebencian. Ujaran kebencian dimaksud terkait dengan unggahan konten di media sosial Wahyu yang mempertanyakan adanya spanduk larangan berjualan di sekitar lokasi usahanya. Spanduk itu mencantumkan nama komunitas yang salah satu anggotanya melaporkan Wahyu.
Ketua Paku ITE Muhammad Arsyad mengatakan, sejumlah kasus tersebut semestinya tidak ditindaklanjuti. Sebab, ia menengarai tidak satu pun dari kasus itu sejalan dengan rujukan yang ada dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi UU ITE. SKB yang ditandatangani oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara RI itu diterbitkan pada Juli 2021 di tengah kuatnya protes publik atas adanya pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE yang kerap menjadi alat kriminalisasi warga.
”Kasus-kasus tersebut tidak sesuai dengan SKB karena, pertama, yang dilaporkan adalah fakta. Kedua, terlapor adalah korban kejahatan dan sudah lebih dulu dilaporkan. Ketiga, tidak ada unsur kebencian (dalam aspirasi yang disampaikan para terlapor),” ujar Arsyad, dihubungi dari Jakarta, Senin (24/7/2023).
Ia mengatakan, hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan SKB UU ITE tidak bisa serta-merta menyelesaikan masalah. Akar masalah UU ITE adalah keberadaan pasal-pasal karet yang multitafsir. Oleh karena itu, ia mendesak agar revisi kedua UU ITE yang sekarang tengah dilakukan DPR dan pemerintah benar-benar menghilangkan pasal-pasal karet. Sebab, ada kecenderungan pasal-pasal tersebut masih ada.
”Dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) yang dibahas oleh pemerintah dan DPR saat ini cenderung menghidupkan pasal-pasal bermasalah yang sudah dihapus melalui KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) baru. Dan juga menciptakan pasal bermasalah baru, terkait perbuatan onar,” kata Arsyad.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar juga mengusulkan agar ada perbaikan rumusan mengenai pengaturan konten media sosial dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE. Perbaikan rumusan pengaturan konten itu diperlukan untuk memperjelas rujukan konten yang dianggap bermasalah, harus dibatasi penyebarannya, serta masuk kualifikasi pelanggaran hukum.
Badan pengawas medsos
Wahyudi menambahkan, rujukan mengenai pengaturan konten di medsos itu penting untuk dimasukkan ke dalam RUU ITE di tengah usulan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi untuk membentuk badan pengawas media sosial. Meski badan tersebut dijanjikan akan tetap bekerja dalam koridor demokrasi dan menjamin kebebasan berekspresi, gagasan membentuk badan pengawas itu dianggap tetap bermasalah.
Sebelumnya, Kementerian Kominfo juga sudah memiliki panel konten internet yang terbukti tidak berjalan efektif. Selama ini, Kementerian Kominfo pun aktif membatasi dan memblokir konten melalui mekanisme layanan pengaduan. Berkaca dari praktik yang sudah terjadi, pembatasan dan pemblokiran itu juga kerap dilakukan terhadap konten-konten yang wajar atau masuk kategori ekspresi yang sah.
Masih terbuka ruang
Anggota Panitia Kerja RUU ITE Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, mengatakan, pembahasan substansi RUU ITE di tingkat panja sudah tuntas sebelum DPR memasuki masa reses pada 14 Juli lalu. Pembahasan telah melalui diskusi panjang yang tidak hanya melibatkan DPR dan pemerintah, tetapi juga penegak hukum. Para penegak hukum dilibatkan untuk menyimulasikan penggunaan pasal-pasal yang tengah dirumuskan agar tidak ada lagi yang multitafsir.
”Kami juga sudah menyinkronkan pasal-pasal yang ada di RUU ITE dengan KUHP yang baru,” kata Hasanuddin.
Setelah pembahasan substansi, lanjutnya, RUU ITE akan dibahas di tim perumus dan tim sinkronisasi. Kendati demikian, DPR dan pemerintah tidak mematok target tertentu untuk segera menyelesaikan pembahasan lalu membawanya ke rapat paripurna untuk meminta persetujuan pengesahan menjadi UU.
Di tengah proses tersebut, kata Hasanuddin, pihaknya membuka ruang bagi publik untuk menyampaikan aspirasi. Tidak tertutup kemungkinan, masukan publik masih akan dipertimbangkan. ”Lebih baik datang langsung untuk menyampaikan aspirasi agar kami lebih mengerti yang dimaksud, dan bisa dipertimbangkan,” katanya.