logo Kompas.id
Politik & HukumKontestasi Pilpres dan Pileg...
Iklan

Kontestasi Pilpres dan Pileg Diharapkan Dorong Penguatan Otonomi Daerah

Kampanye pilpres menjadi kesempatan untuk mendorong penyelesaian masalah terkait otonomi daerah. Untuk itu perlu dukungan konkret dari semua pihak dalam meningkatkan daya saing daerah.

Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
· 3 menit baca
Baliho berisi aspirasi pembentukan daerah otonomi baru, yakni Provinsi Papua Utara terpasang di tepi jalan yang dilewati Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat mengunjungi Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua, Jumat (2/12/2022).
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO

Baliho berisi aspirasi pembentukan daerah otonomi baru, yakni Provinsi Papua Utara terpasang di tepi jalan yang dilewati Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat mengunjungi Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua, Jumat (2/12/2022).

JAKARTA, KOMPAS — Penarikan kewenangan daerah ke pemerintah pusat dan politisasi kebijakan menjadi dua fenomena besar yang semakin kuat sepanjang 2023. Kontestasi pemilihan presiden yang kini tengah berlangsung diharapkan memunculkan ide segar untuk memperkuat otonomi daerah.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, resentralisasi dan politisasi kebijakan yang terjadi baik di tingkat nasional maupun daerah telah memengaruhi tata kelola di daerah selama setahun terakhir, seperti perencanaan dan penyusunan anggaran. Fenomena resentralisasi tampak dari penjabat kepala daerah sepanjang 2022-2023 yang jumlahnya lebih dari separuh jumlah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

”Kalau kita melihat fenomena resistensi daerah terhadap kehadiran penjabat kepala daerah terjadi di sejumlah daerah. Ini menunjukkan bahwa memang proses (penunjukan penjabat kepala daerah) ini cukup bermasalah,” kata Herman dalam diskusi ”Tata Kelola Daerah Jelang Tahun Politik” yang diselenggarakan KPPOD secara daring, pada Jumat (22/12/2023).

Baca juga: Tata Kelola Pemerintahan di Papua Diperkuat

Persoalan penjabat

Menurut Herman, terdapat beberapa persoalan terkait penjabat kepala daerah. Pertama adalah mekanisme penunjukannya dinilai tidak partisipatif, tidak akuntabel dan tidak transparan. Berikutnya adalah persoalan kewenangan penjabat kepala daerah yang seharusnya tidak sama dengan pejabat definitif. Selain itu, terdapat juga persoalan pengawasan dan evaluasi terhadap penjabat kepala daerah yang bersifat satu arah, yakni dari penjabat kepala daerah ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tanpa melibatkan publik di daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman.
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman.

Resistensi terhadap penjabat kepala daerah, lanjut Herman, timbul kala penjabat tersebut mengeluarkan kebijakan yang kontroversial. Hal itu dinilai dapat mengganggu tata kelola di daerah, termasuk dapat mengganggu pelaksanaan kebijakan strategis yang telah diambil oleh pemerintah pusat, seperti tindak lanjut Undang-Undang Cipta Kerja dan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Selain fenomena resentralisasi, terdapat fenomena politisasi kebijakan. Menurut Herman, hal itu tampak dari proses revisi yang bernuansa transaksional dengan memanfaatkan momen politik, seperti wacana revisi UU tentang Desa. Padahal, tujuan dari revisi tersebut tampak hanya sekadar sebagai tukar guling kepentingan antara politisi di Senayan dan kepala desa beserta perangkat desa.

Persoalan lain yang juga menjadi momok adalah korupsi kepala daerah yang terus terjadi dan daya saing daerah yang berada pada tingkat sedang atau bahkan rendah.

Iklan

Persoalan lain yang juga menjadi momok adalah korupsi kepala daerah yang terus terjadi dan daya saing daerah yang berada pada tingkat sedang atau bahkan rendah. Daya saing rendah karena kemandirian fiskal yang rendah.

”Momen sekarang, saat kampanye pemilihan presiden dan pemilihan legislatif sebenarnya menjadi kesempatan untuk melakukan agenda setting untuk mendorong penyelesaian masalah terkait otonomi daerah ini,” kata Herman.

https://cdn-assetd.kompas.id/Q-CryXJAasnHCHhGd4v-9WZYTZ8=/1024x3783/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F28%2Fbb8ff5b1-2a89-4f97-a4df-89b0c6458b41_jpg.jpg

Rapor merah

Analis KPPOD Eduardo Edwin Ramda mengatakan, permasalahan penunjukan langsung penjabat kepala daerah tampak dari rilis Kemendagri tentang adanya 59 penjabat kepala daerah yang mendapat rapor merah terkait netralitas aparatur sipil negara (ASN). Sementara, posisi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sebagai pengawas dan pembina ASN menjadi tidak jelas setelah UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN disahkan.

Demikian juga RUU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, khususnya mengenai rencana penunjukan gubernur oleh presiden. Menurut Edwin, mekanisme penunjukan tersebut berpotensi menimbulkan perilaku koruptif. Sebab, mekanisme itu membuka peluang terjadinya jual-beli jabatan dan masuknya kepentingan politis.

Baca Juga: Kemendagri dan USAID Kerja Sama Membenahi Tata Kelola Pemda

”Isu soal penunjukan gubernur Jakarta yang tidak lagi dipilih rakyat ini memperkuat arus balik desentralisasi politik. Padahal, jelas pelaksanaan otonomi daerah harus menjunjung tinggi prinsip demokrasi,” ujar Edwin.

Oleh karena itu, lanjut Edwin, perubahan regulasi tersebut merupakan gejala arus balik desentralisasi yang harus dilawan. Sebab, jika itu dibiarkan terus terjadi, masyarakat yang akan dirugikan. Untuk mempertahankannya, diperlukan komitmen dan dukungan konkret dari semua pihak karena isu tersebut bukan hanya isu pemerintahan, tempat menyangkut masyarakat di dalamnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/Hl0LGNx1R1tzErT0l0G_8NQwOo4=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F30%2F6fe4bfb1-804b-4605-8cdb-9a56c0e41453_jpg.jpg

Pada kesempatan itu, peneliti KPPOD Sarah Nita Hasibuan mengatakan, terjadi ketimpangan daya saing daerah antara wilayah Indonesia timur, tengah dan barat. Dari kajian KPPOD, semakin tinggi kemandirian fiskal suatu daerah, semakin tinggi pula daya saing suatu daerah dan demikian pula sebaliknya.

Kemandirian fiskal daerah tergolong rendah karena pemerintah daerah belum berinovasi tentang penentuan tarif pajak dan retribusi di daerahnya.

Kemandirian fiskal daerah tergolong rendah karena pemerintah daerah belum berinovasi tentang penentuan tarif pajak dan retribusi di daerahnya. Di sisi lain, karakteristik tiap daerah juga turut memengaruhi kemandirian fiskal daerah.

Untuk meningkatkan kemandirian fiskal, menurut Sarah, pemda dituntut untuk membuat peta potensi daerah. Dengan demikian, ketika investor datang, pemda sudah siap dengan potensi daerahnya. ”Perlu pemberian insentif bagi masyarakat yang taat pajak dan juga mengoptimalkan kiprah BUMD dalam inovasi pembangunan daerah,” kata Sarah.

Editor:
MADINA NUSRAT
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000