Dewan Pengawas KPK Bawa Persoalan Firli Bahuri ke Persidangan Etik
Dewan Pengawas KPK dalam waktu dekat segera menyidangkan aduan dugaan pelanggaran etik dengan terlapor Firli Bahuri.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi memutuskan membawa aduan dugaan pelanggaran etik dengan terlapor Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri ke persidangan kode etik. Ada tiga dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli, di antaranya beberapa kali bertemu dan berkomunikasi dengan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Ketua Dewan Pengawas (Dewas) KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (8/12/2023), mengungkapkan, sejak Oktober 2023, Dewas sudah mengklarifikasi laporan masyarakat yang berhubungan dengan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli. Klarifikasi tersebut dilakukan terhadap 33 orang, termasuk kepada pelapor, Firli, ahli, serta saksi internal dan eksternal. Dewas berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya dalam proses klarifikasi tersebut.
”Dari hasil kesimpulan pemeriksaan pendahuluan yang kami lakukan terhadap semua orang yang sudah kami lakukan klarifikasi bahwa ada beberapa dugaan pelanggaran etik yang akan kami lanjutkan ke persidangan etik,” kata Tumpak.
Adapun pemeriksaan pendahuluan dibahas oleh Tumpak bersama dengan tiga anggota Dewas, yakni Albertina Ho, Syamsuddin Haris, dan Harjono. Hanya Indriyanto Seno Adji yang tidak ikut pemeriksaan pendahuluan karena pemeriksaan kesehatan di Singapura.
Tumpak menyebutkan, ada tiga dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli, yakni pertemuan dan komunikasi beberapa kali yang dilakukan Firli dengan Syahrul Yasin Limpo, harta kekayaan yang tidak dilaporkan secara benar dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), termasuk utangnya, dan terkait dengan penyewaan rumahdi Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sidang etik tersebut dilakukan karena Firli diduga melanggar Pasal 4 Ayat (2) Huruf a atau Pasal 4 Ayat (1) Huruf j dan Pasal 8 Ayat (e) Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK.
Tumpak menjelaskan, sidang etik akan dimulai pekan depan pada Kamis (14/12/2023) secara tertutup. Sidang akan dilakukan secara maraton dan diharapkan sudah selesai sebelum akhir tahun. Firli akan dipanggil untuk mengikuti persidangan. Hukuman paling berat yang bisa dijatuhkan oleh Dewas kepada Firli apabila terbukti melanggar etik adalah memintanya untuk mengundurkan diri.
Albertina Ho menambahkan, perkara Firli bersinggungan dengan kasus yang sedang diproses oleh Polda Metro Jaya. Dewas tidak akan masuk pada persoalan pidana seperti dugaan pemerasan dan gratifikasi.
”Ranah pidana itu biarlah Polda Metro Jaya yang memproses dan menyelesaikan. Kami cukup menyelesaikan dari sisi atau dari sudut pandang etiknya saja,” kata Albertina. Ia menjelaskan, hal tersebut bertujuan agar tidak berbenturan. Polda Metro Jaya dan Dewas KPK akan bekerja sesuai dengan kewenangan dan bidangnya.
Saat dimintai tanggapan terkait sidang etik Firli, Syahrul seusai diperiksa penyidik hanya mengatakan terima kasih. Ia justru menjelaskan terkait waktu penahanannya yang diperpanjang dan seusai diperiksa penyidik sesuai dengan prosedur yang ada di KPK.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, KPK masih bisa memberikan pendampingan kepada Firli untuk menjalani sidang etik dengan syarat harus diminta oleh yang bersangkutan. Sebab, Firli masih menjadi insan KPK meskipun telah nonaktif.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman yang menjadi salah satu pelapor dalam kasus dugaan pelanggaran etik Firli mengapresiasi Dewas yang memutuskan membawa kasus yang dilaporkannya ke persidangan.
Ia berharap sidang dilakukan dengan cepat dan bisa segera ada putusan. Boyamin berharap Firli diputus melanggar etik sesuai dengan laporannya. Putusan secara cepat tersebut dibutuhkan agar beban berat KPK berkurang dan bisa kembali bekerja dengan baik memberantas korupsi.
Adapun Boyamin melaporkan terkait penyewaan rumah di Jalan Kertanegara yang berkaitan dengan bergaya hidup mewah karena biaya sewanya mencapai Rp 650 juta per tahun, sedangkan penghasilan Firli sebanyak Rp 1,3 miliar. Biaya sewa rumah tersebut, menurut Boyamin, bisa mencapai Rp 750 juta setahun apabila ditambah dengan biaya pemeliharaan.
Padahal, kata Boyamin, KPK sudah memiliki ruang istirahat dengan fasilitas yang bagus seperti tempat tidur, kamar mandi, air panas, dan penyejuk udara. ”Jadi, sebenarnya cukup (di KPK) kalau alasannya untuk istirahat,” ujarnya.
Boyamin juga melaporkan Firli terkait ketidakpatuhannya dalam melaporkan LHKPN. Sebab, Firli tidak melaporkan pengurangan atau pembayaran uang untuk sewa rumah di LHKPN.
Menurut dia, dua laporan itu mudah dibuktikan dan dinyatakan melanggar kode etik. Harapannya, bergaya hidup mewah dan tidak lapor LHKPN tersebut dijatuhi sanksi yang lebih berat dari penggunaan helikopter untuk perjalanan pribadi yang hanya diberi sanksi ringan berupa teguran tertulis II. Boyamin berharap, Firli diberi sanksi teguran tertulis III atau diminta mengundurkan diri.