Komisi Pemberantasan Korupsi berada di titik nadir. Lembaga yang seharusnya terdepan dalam pemberantasan korupsi kini pucuk pimpinannya justru terjerat dugaan korupsi. Lantas bagaimana memulihkan KPK?
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
Kepolisian Daerah Metro Jaya telah menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan KorupsiFirli Bahuri sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi terhadap bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Penyidik menyita sejumlah barang bukti, salah satunya dokumen penukaran valuta asing dalam pecahan mata uang Singapura dan dollar AS dengan nilai sekitar Rp 7 miliar.
Sudah empat kali Firli diperiksa oleh penyidik gabungan dari Polda Metro Jaya dan Badan Reserse Kriminal Polri. Dua kali dia diperiksa sebagai saksi dan dua kali diperiksa sebagai tersangka. Pada pemeriksaan terakhir, Firli mengaku tertekan bukan oleh penyidik, melainkan karena baru kali ini dia terjerat masalah hukum.
Tidak ditahannya Firli menimbulkan pertanyaan. Abraham Samad, Ketua KPK 2011-2015, berpandangan, polisi tampak berat untuk menahan Firli meski alat bukti sudah dikantongi. Secara kelembagaan, Abraham menilai, KPK pada periode 2019-2023 merupakan era pimpinan KPK terburuk selama KPK berdiri sejak 2002 silam.
”Kalau melihat ke belakang, ini adalah era pimpinan paling bobrok. Siapa harus bertanggung jawab? Pimpinan, karena setiap kelembagaan itu (perlu) ada keteladanan. Kalau pimpinan rampok semua, di bawah jadi rampok semua. Kalau komisionernya bagus, di bawah enggak akan macam-macam,” ujar Abraham Samad dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Kotak Pandora Kasus Firli Bahuri” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (6/12/2023) malam.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian KompasBudiman Tanuredjo tersebut, hadir Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Rumadi Ahmad; Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK 2019-2023 Yenti Garnasih; serta anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Johan Budi.
Penilaian Abraham bukan tanpa alasan. Menurut dia, selain penetapan Firli sebagai tersangka, sebelumnya terdapat Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang telah melanggar etik karena menerima tiket dan akomodasi dalam gelaran MotoGP Mandalika. Bahkan, menurut Abraham, tindakan tersebut sudah merupakan pidana. Kasus lainnya adalah peristiwa sejumlah pegawai KPK yang dibebastugaskan karena dugaan suap dan pemerasan di rumah tahanan KPK.
Terkait kasus yang menjerat Firli, menurut Abraham, perlakuan terhadap Firli dengan Syahrul berbeda. Syahrul ditahan oleh KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan polisi tidak menahan Firli. Abraham menduga ada sesuatu yang membuat polisi tidak segera menahan Firli meskipun dia mengaku tidak mengerti.
Terkait hal itu, Johan menilai, baik KPK maupun penyidik Polri memiliki dasar yang sama kuat. Penyidik Polda Metro Jaya memproses kasus itu berdasarkan laporan polisi, sementara KPK sudah memiliki bukti yang kuat sehingga menahan Syahrul. Sementara kasus yang menjerat Syahrul dan Firli memiliki keterkaitan.
”Di Polda Metro Jaya, apakah ada bukti yang masih dikumpulkan atau ada hal lain, saya tidak tahu. Tapi, dua institusi ini punya alasan yang sama kuat,” ujar Johan.
Menurut Yenti, kasus yang menjerat Syahrul dan Firli membingungkan. Sebab, Firli yang diduga memeras Syahrul malah mentersangkakan Syahrul selaku pihak yang diperas. Demikian pula dugaan pidana yang ditujukan kepada Firli juga tidak jelas, yakni pemerasan atau gratifikasi. Oleh karena itu, Yenti menilai, tidak ditahannya Firli terkait dengan belum cukupnya bukti untuk mendukung unsur yang disangkakan tersebut.
Penetapan Firli sebagai tersangka dan situasi KPK saat ini dinilai Rumadi sebagai situasi yang cukup berat di saat pemerintah tengah giat melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Meski demikian, menurut Rumadi, proses hukum terhadap Firli sekaligus menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi dilakukan tanpa pandang bulu.
”Kita tidak bisa menafikan bahwa sekarang situasinya sangat berat, kepercayaan publik terutama. Ini situasi yang memang harus kita hadapi,” ujar Rumadi.
Memilih Firli
Di tengah polemik dugaan pemerasan yang diduga melibatkan Firli, Abraham mempertanyakan proses pemilihan Firli menjadi Ketua KPK. Sebab, meski secara intelektual memenuhi syarat, penilaian terhadap mereka mestinya tidak hanya berdasarkan hal itu.
Terlebih, menurut Abraham, KPK telah memberikan dokumen kepada Pansel Capim KPK 2019-2023 tentang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Abraham menyayangkan Firli tetap diloloskan sebagai calon pimpinan KPK meski ada dokumen tersebut sebagai bukti.
Kendati begitu, Yenti membantah Pansel Capim KPK 2019-2023 kecolongan dengan meloloskan Firli sebagai calon pimpinan KPK. Sebab, proses seleksi melalui berbagai tahapan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Firli lolos karena dinilai memenuhi semua prasyarat yang ditentukan. Terkait dokumen tentang Firli tersebut, lanjut Yenti, itu diberikan setelah proses seleksi selesai.
Yenti menuturkan, Pansel Capim KPK 2019-2023 yang beranggotakan sembilan orang merupakan perpanjangan tangan Presiden yang bertugas untuk menyeleksi dan memilih ratusan nama menjadi 20 nama dan kemudian dikerucutkan menjadi 10 nama. Pansel juga mendengarkan protes dan kritik masyarakat waktu itu yang menolak adanya polisi sebagai calon pimpinan KPK.
”Pada akhirnya kita menentukan 10 calon, ada (nama) Pak Firli di situ. Keadaannya (saat itu), kita tidak bicara berdua, tapi bersembilan, Presiden dan Mensesneg (Menteri Sekretaris Negara). Jadi, di antara itulah (yang memilih Firli),” tutur Yenti.
Di sisi lain, menurut Abraham, KPK bisa diperbaiki dengan kembali ke undang-undang KPK yang lama, alih-alih menyusun UU baru atau merevisi pasal demi pasal. Sebab, filosofi pembentukan KPK termuat di UU KPK yang lama, yakni dibentuk karena ketidakmampuan kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.
Sementara KPK masih dibutuhkan sampai saat ini karena penanganan kasus korupsi oleh kejaksaan dan kepolisian belum baik. Abraham juga menampik anggapan bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc yang bisa dibubarkan ketika kejaksaan dan kepolisian sudah bagus karena hal itu tidak ada di dalam UU KPK.
Hal senada diungkapkan Johan. Berdasarkan UU KPK yang lama, yakni UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK adalah lembaga dengan wewenang yang besar. Namun, UU No19/2019 tentang KPK membuat lembaga tersebut berada di rumpun eksekutif, tidak lagi lembaga independen.
Meskipun demikian, menurut Johan, terpuruknya KPK tidak semata-mata terjadi karena revisi UU tentang KPK yang menghasilkan UU No 19/2019 tentang KPK, tetapi karena tindakan atau kelakuan pegawai KPK. Ketika kelakuan pegawai KPK buruk, masyarakat menjadi tidak percaya kepada KPK sehingga lembaga itu menjadi terpuruk.
Untuk memperbaiki KPK secara kelembagaan, Johan menilai, UU tentang KPK perlu direvisi dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada KPK. ”Jadi mendesain ulang KPK. Intinya, KPK diperkuat, lembaganya dibongkar, kewenangan dibongkar dan diberi penguatan,” kata Johan.
Menurut Yenti, perbaikan KPK tidak bisa menunggu evaluasi, tetapi harus dilakukan saat ini. Salah satunya adalah dengan melakukan proses hukum jika KPK telah menemukan alat bukti terkait kasus dugaan korupsi, bukan menunda-nunda sebagaimana terjadi pada kasus yang menjerat Syahrul dan Firli. Di sisi lain, pemerintah diharapkan mengevaluasi secara sungguh-sungguh tentang fungsi dan kewenangan tiga lembaga penegak hukum, yakni KPK, kepolisian, dan kejaksaan.
Menurut Rumadi, Istana belum berpikir tentang revisi UU tentang KPK. Saat ini, pihaknya masih dalam tahap memastikan agar KPK di tangan pemimpin yang baru, yakni Nawawi Pomolango, untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Rumadi pun mengingatkan, penguatan pemberantasan korupsi juga memerlukan perangkat hukum lain, yakni UU tentang Perampasan Aset yang sampai saat ini masih mandek di DPR. Rumadi pun mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi merupakan tugas semua komponen bangsa, bukan hanya tugas rumpun eksekutif.