Usut Dugaan Intervensi Presiden, Sejumlah Kalangan Dukung DPR Gunakan Hak Interpelasi
Selain menunjukkan DPR tetap menjalankan fungsi pengawasannya, penggunaan hak interpelasi untuk menguak dugaan intervensi Presiden di kasus KTP elektronik bisa membuat publik mengetahui situasi yang sebenarnya terjadi.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan mendorong DPR menggunakan hak interpelasi atau hak meminta keterangan pemerintah untuk mengungkap detail peristiwa dugaan intervensi Presiden Joko Widodo dalam penanganan kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. Pengusutan dugaan intervensi penting untuk mencegah bermunculannya prasangka di masyarakat.
Dugaan adanya intervensi Presiden Joko Widodo dalam penanganan kasus korupsi KTP elektronik ini muncul setelah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2015-2019, Agus Rahardjo, mengungkapkannya dalam acara Rosi di Kompas TV, Kamis (30/11/2023) malam. Tak lama, pernyataan Agus itu dibantah Istana Kepresidenan. Namun, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, kemudian membuka kemungkinan untuk menggunakan hak interpelasi agar persoalan ini tidak menjadi liar.
Akademisi dan peneliti hukum tata negara, Bivitri Susanti, di Jakarta, Minggu (3/12/2023), mendukung kemungkinan penggunaan hak interpelasi oleh anggota DPR untuk mememinta keterangan Presiden Jokowi. Hak interpelasi ini bisa menunjukkan bukti-bukti sejauh mana keterlibatan Presiden dalam kasus KTP elektronik dan upaya pelemahan KPK.
”Menurut saya bagus (hak interpelasi). Sebenarnya fungsi pengawasan DPR paling buruk setahun terakhir ini karena tidak pernah ada pengawasan kelembagaan. Jadi, kalau mau ada (hak interpelasi), itu bagus,” ujar Bivitri.
Baca juga: Istana Bantah Presiden Intervensi Kasus Korupsi KTP-el
Selain untuk menunjukkan DPR tetap menjalankan fungsi pengawasannya, penggunaan hak interpelasi akan membuat masyarakat mengetahui situasi yang sebenarnya terjadi di lembaga KPK.
”Sejak 2019, banyak informasi mengenai pelemahan KPK kemudian publik dibuat bingung dengan adanya isu Taliban. Harapan saya, dengan ada hak interpelasi, masyarakat jadi bisa melihat secara terang benderang bahwa pelemahan KPK memang sengaja dibuat. Apalagi dalam proses hak interpelasi akan ada banyak orang yang dipanggil, bukan cuma Presiden Joko Widodo sehingga kita bisa melihat dan menyimpulkan apa yang terjadi,” ujar Bivitri.
Tanpa hak interpelasi, nantinya hanya ada pertarungan antara Agus dan Presiden Jokowi. Apalagi, pihak Istana sudah membantah adanya pertemuan Agus dengan Presiden Jokowi.
”Ya, kalau mau dicek agenda presiden memang tidak ada. Dengan adanya hak interpelasi, kita bisa membuat kronologis kejadian hingga pada akhirnya membuktikan bahwa memang ada pelemahan KPK,” kata Bivitri.
Baca juga: Dugaan Intervensi Presiden di Kasus KTP-el, DPR Bisa Gulirkan Hak Interpelasi
Selama ini, hak interpelasi dan angket sudah sering digunakan. Namun, dalam periode kedua pemerintahan Jokowi, hak interpelasi ini tidak pernah dipakai sehingga fungsi pengawasan DPR tidak berjalan maksimal. ”Apabila hak interpelasi tidak dipakai untuk mengusut kasus KTP elektronik, hal yang dikhawatirkan adalah masyarakat jadi terpolarisasi antara kelompok yang mendukung Jokowi dan tidak mendukung Jokowi. Selain itu, muncul prasangka-prasangka di tengah masyarakat,” ujarnya.
Dengan adanya hak interpelasi, Bivitri berharap KPK dapat dikembalikan fungsinya seperti semua sebelum adanya upaya pelemahan KPK melalui revisi Undang-Undang KPK.
Upaya penggunaan hak interpelasi oleh anggota DPR ini juga didukung oleh IM57+ Institute, organisasi gerakan antikorupsi yang didirikan dan beranggotakan sejumlah mantan pegawai KPK.
Ketua IM57+ Institute, M Praswad Nugraha, menilai, intervensi dalam penegakan hukum merupakan pelanggaran yang serius. Untuk itu, pihaknya sangat mendukung agar DPR maupun Agus membongkar praktek intervensi yang diduga dilakukan Presiden Jokowi atas kasus korupsi KTP elektronik secara tuntas dan komprehensif.
”Hal tersebut penting untuk mengungkap semua catatan atas pada kasus apa intervensi dilakukan sehingga semua menjadi terang benderang,” kata Praswad.
Praswad menambahkan, dugaan intervensi oleh Presiden Jokowi terkait kasus korupsi KTP elektronik sangat mungkin terjadi. Bisa jadi akibat intervensi itu yang membuat Agus ingin mengundurkan diri dari jabatan pimpinan KPK 2015-2019.
Di sisi lain, setelah dilakukan penyidikan dan penetapan tersangka dalam kasus korupsi itu, muncul adanya pelemahan terhadap KPK melalui revisi UU No 30/2002 tentang KPK yang disetujui oleh Presiden Jokowi. Hal tersebut didahului teror kepada penyidik yang menangani kasus terkait.
”Melalui segala intervensi dan hambatan, pada akhirnya kami berhasil menetapkan sebagai tersangka dan menahan (bekas Ketua DPR) Setya Novanto. Hal tersebut menunjukan bahwa Agus Rahardjo dan kami tetap berupaya tegak lurus terhadap proses penegakan hukum walaupun pada akhirnya disingkirkan,” ungkap Praswad.
Sikap sejumlah fraksi
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Ahmad Sahroni menegaskan, hingga kini, fraksinya, belum ada wacana menggunakan hak interpelasi untuk meminta penjelasan Presiden mengenai tuduhan yang disampaikan Agus.
Begitu pula anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Santoso. Ia enggan berspekulasi mengenai penggunaan hak interpelasi karena hal itu mesti dikomunikasikan terlebih dahulu dengan internal fraksinya.
Baca juga: Agus Rahardjo Akui Sempat Tak Ungkap Perintah Presiden Hentikan Penyidikan Setnov
Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis, menilai DPR bisa saja menggulirkan hak interpelasi untuk mengusut pengakuan Agus. Namun, itu kembali kepada komitmen DPR.
”Hak interpelasi itu, kan, memang hak DPR untuk menggulirkan itu. Tentu tergantung dari pihak DPR apakah akan menerima mosi untuk melakukan hak interpelasi itu,” katanya.
Ia sendiri mengaku terkejut dengan pengakuan Agus mengenai permintaan Presiden Jokowi itu. Menurut dia, hal ini sudah di luar nalarnya. ”Saya pribadi terkejut sekali mendengar apa yang dikatakan oleh mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, itu jauh di luar imajinasi liar saya sebagai aktivis antikorupsi,” ujarnya.
Tak heran, kata Todung, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia semakin merosot. Pada 2022, skor IPK Indonesia merosot menjadi 34 dari 2021 yang mencapai skor 38. Dengan skor itu, IPK Indonesia tergolong rendah di ASEAN.
Sementara itu,di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jumat (1/12/2023) malam, Ganjar mengaku tidak tahu seperti apa bentuk dugaan intervensi Presiden Jokowi terkait kasus korupsi KTP elektronik sebagaimana yang dimaksud Agus. Namun, menurut Ganjar, yang paling penting baginya adalah memastikan bahwa jika dia dan Mahfud MD terpilih nanti menjadi presiden dan wakil presiden, korupsi harus disikat habis.
”Cara memberantas korupsi yang bisa dilakukan dengan mencegah yaitu perbaikan sistem, kelembagaan, regulasi, dan komitmen serta integritas dari aktornya,” kata Ganjar.
Ia menilai, tanpa komitmen kuat dari para aktor, terutama penyelenggara negara, potensi keterlibatan korupsi pasti ada. Apalagi jika pemimpin tertingginya tidak memiliki komitmen antikorupsi, hal itu hanya akan menjadi janji-janji yang manis di mulut. Bersama Mahfud MD, ia memastikan bahwa komitmen antikorupsi itu akan dilaksanakan dengan serius. ”Insya Allah tidak terlalu sulit karena kita sama-sama sudah melakukan gerakan antikorupsi,” tegasnya.
Mampu mempertanggungjawabkan
Anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais, menyampaikan, ditengah hiruk-pikuk informasi, siapa pun pihak yang membuat pernyataan di muka umum harus mampu mempertanggungjawabkan semuanya. Artinya, jika Agus mempunyai data dan bukti yang kuat atas dugaan intervensi Jokowi pada kasus KTP elektronik, hal itu harus segera diungkap ke publik.
Kemudian, jika ternyata pernyataan Agus benar, bagi Ombudsman, ini sangat ironis. Artinya, ada ketidakpatuhan dan ketidakpatutan pemimpin negara sekelas Presiden terhadap UU. Apalagi, sebagaimana diketahui, pada saat itu KPK masih menuggunakan UU No 30/2002 yang mana KPK adalah lembaga independen.
”Kalau sampai kepala eksekutif, dalam hal ini Presiden, sampai memerintahkan penghentian kasus seperti disampaikan Agus, itu ada ketidakpatutan dan ketidakpatuhan terhadap UU. Karena UU mengikat pada siapa pun juga, apalagi Presiden sebagai kepala negara memberi teladan. Ini yang harus dibuka ke publik. Di tahun pemilu, semua bisa digoreng dan digoyang. Saya berharap, ini bisa di-clear-kan,” ujarnya
Seharusnya, kata Indraza, KPK bisa menjadi lembaga independen. Lembaga itu hanya bertanggung jawab kepada bangsa dan negara, tidak kepada siapa pun. Semua pihak pun harus bisa menghormati independensi lembaga itu.
”Kan, semua sudah ada kedudukan, posisi masing-masing, seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, lalu ada lembaga independen atau biasa disebut ekstra organ. Kok tiba-tiba ada yang mengintervensi? Kalau tidak, kenapa muncul statement(Agus) itu? Silakan, semua itu dibuktikan. Namun, kalau benar itu terjadi, sungguh sangat ironis. Ini tidak penghormatan kepada UU, tidak menghargai posisi masing-masing,” tegas Indraza.
Ketua Umum Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menilai, pernyataan Agus telah menyingkap dugaan kuat intervensi Presiden Jokowi atas penanganan kasus megakorupsi KTP elektronik yang menjerat Setya Novanto dan berbagai politisi dan pengusaha. Jika ini benar, patut diduga kuat Presiden Jokowi telah menghalang-halangi penegakan hukum (obstruction of justice) terhadap kasus tindak pidana korupsi.
Ia melanjutkan, tindakan Presiden Jokowi menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana serius. Menurut Pasal 21 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwaobstruction of justiceadalah tindakan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
”Ini merupakan tindakan penghinaan pada pengadilan karena menghambat penegakan hukum dan merusak citra lembaga penegak hukum,” ujar Isnur.
Publik mengetahui bahwa Setya Novanto telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berhubungan dengan kasus KTP elektronik yang merugikan negara sebesar Rp 2 triliun. Untuk itu, seiring dengan terbukanya kasus ini, KPK perlu segera melakukan penyidikan lebih lanjut terkait dengan dugaan keterlibatan Presiden Jokowi dalam korupsi KTP elektronik.
”Pengusutan tuntas kasus korupsi KTP elektronik, terlebih dengan temuan baru yang diduga melibatkan Presiden Jokowi. Melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana obstruction of justice, termasuk diduga melibatkan Presiden Jokowi,” ujar Isnur.